PENISTAAN al-Qur’an bukanlah perangai buruk musuh Islam yang baru muncul belakangan. Sejak awal Islam, kalangan Musyrik Makkah dan Munafik Madinah sudah paling awal menjadi duri dan musuh utama.
Jika kini ada yang menganggap bohong ajaran al-Qur’an, maka pendahulunya sudah memberi contoh, menista ayat suci al-Qur’an dengan sebutan bait-bait syair semata.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang mulia dituding sebagai penyair layaknya kegemaran masyarakat Arab.
Belum lagi pribadi Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw) juga diserang terus oleh mereka. Mulai dari sebutan tukang ramal, ahli nujum, pendusta, jago sihir hingga dianggap gila dan kehilangan akal.
Berbagai stempel negatif itu silih berganti tak henti disematkan oleh musuh-musuh Islam. Tak heran, hingga akhir zaman ini ada saja yang mengulang pernyataan-pernyataan rendahan tersebut.
Lihat saja, dengan mengusung ide kebebasan berpikir, sekelompok manusia berani menyatakan al-Qur’an sebagai produk budaya manusia (intaj tsaqafi).
Bahkan diusulkan mengkaji ulang atau studi kritis terhadap keabsahan ajaran dan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an. Mereka menganggap sebagian isi al-Qur’an sudah tak layak diterapkan di zaman modern.
Disebutkan, biasanya pikiran nyeleneh itu datang dari orang-orang yang hatinya tertutupi dengan limbah dosa dan noda hitam akibat bermaksiat kepada Allah.
Mereka tak senang dengan kebahagiaan manusia yang larut dalam kenikmatan berqur’an.
Sebaliknya mereka bahagia jika manusia itu jauh dari ajaran al-Qur’an.
Allah berfirman:
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (QS. Yasin [36]: 69-70).
Secara tegas ayat di atas menafikan sangkaan orang-orang musyrik yang menyatakan al-Qur’an itu sebagai kumpulan syair atau sajak semata.
Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) yang menurunkan al-Qur’an melalui perantara malaikat Jibril Alaihi as-Salam (As).
Sedang Rasulullah juga tidaklah mengucapkan sesuatu kecuali atas bimbingan wahyu dari Allah semata.
Olehnya segala tudingan dan hasutan itu jelas dusta, batil, dan hanya didorong oleh hawa nafsu. (Tafsir al-Maraghi, Ahmad Musthafa al-Maraghi).
Abdurrahman as-Sa’di menambahkan, untuk berinteraksi dan merasakan kenikmatan hidangan al-Qur’an dibutuhkan hati yang hidup.
Sebagaimana hati itu bisa bersih jika dicelup dengan al-Qur’an. Semakin orang itu mendekat dan memperbanyak bacaan al-Qur’an, kian bertambah pula ilmu dan iman yang dipunyai.
Sebaliknya jika ia menjauh dan tidak mengamalkan al-Qur’an, maka alamat hati itu jadi mengeras dan membatu nantinya.
Ibarat air hujan yang mengguyur, al-Qur’an berfungsi menghidupkan hati manusia.
Mufassir al-Qurthubi berkata, al-Qur’an juga disebut sebagai ruh. Sebab selain sebagai rahmat, al-Qur’an juga berfungsi menghidupkan jiwa di dalam jasad manusia.
Senada, Malik bin Dinar mengingatkan: Wahai ahlu al-Qur’an? Apa yang telah al-Qur’an tanam pada hati-hati kalian? Sesungguhnya al-Qur’an itu mampu menghidupkan hati layaknya hujan yang menyuburkan tanah yang tandus sekalipun. (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi).
Diterangkan, indikasi hati yang hidup terlihat dari seberapa pengaruh jiwa itu tercelup dengan al-Qur’an. Sebab jiwa dan pikiran manusia bisa tenang dengan mendengar bacaan al-Qur’an.
Bukan sekadar menikmati lantunan al-Qur’an, jiwa itu bahkan sanggup bergetar dan menyungkur luruh dengan bacaan al-Qur’an.
Siraman bacaan al-Qur’an yang diulang-ulang setiap hari, niscaya membuat hati menjadi hidup dan pikiran yang tercerahkan. Dampaknya segala urusan dunia termasuk akhirat menjadi lancar dan kokoh.
Sebab pemilik hati yang hidup itu adalah para visioner yang punya pandangan jauh ke depan. Strategi hidup yang dimiliki bukan hanya menjangkau urusan dunia, tapi setiap langkah dan pikirannya berorientasi kepada kehidupan Akhirat.
Alhasil, mari sejenak bertanya dalam diri. Sudahkah hari ini kita membaca al-Qur’an? Mari menikmati lantunannya sekaligus tak henti belajar membagusi bacaan al-Qur’an kita.
Nabi bersabda:
اقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا ِلأَصْحَابِهِ
Artinya: “Bacalah Al-Qur`ân, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafaat bagi orang yang membacanya.” [HR. Muslim]
Semoga kita dan keluarga kita, menjadi bagian dari keluarga al-Quran.*