Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil
DI SELA menunggu jadwal keberangkatan pesawat menuju Banjarmasin, Kalimantan Selatan, saya bertemu dengan seorang TKW asal Ngawi yang duduk di deretan kursi yang sama.
Karena sebelumnya istri saya sudah sempat mengobrol dengan dia, saya pun juga tidak mau kalah, saya ikut terlibat pembicaraan dengan “pahlawan devisa” satu ini.
“Ibu ini mau ke mana ?” “Mau ke Singapura, Pak. Saya kerja di sana.” “Oh, kerja di Singapura. Berarti harus bisa bahasa Inggris dong ?” “Iya betul, kalau g bisa, g bakal diberi izin kerja di sana. Saya di sana kerjanya ngasuh orangtua,” katanya dengan suara datar.
Setelahnya, saya bertanya kembali, “Bagaimana perlakuan majikan di sana? Apa ada TKI yang mengalami perlakuan tidak mengenakkan, seperti disiksa dan sebagainya?” Dia mengatakan dengan polosnya, “Alhamdulilah, kalau di sana relatif sepi dari perlakuan yang tidak menyenangkan. Tapi tinggal dan kerja di sana, harus disiplin. Tak boleh tidur siang. Kalau misalnya majikan datang jam berapapun harus menyiapkan makan biarpun jam 1 dini hari.”
Penuturannya kali ini membuat saya kaget, bagaimana seorang pekerja yang mempunyai hak beristirahat, tapi harus bangun sebelum waktunya.
“Lho, memangnya g ada kontrak kerja, kok sampek larut malam tetap kerja terus?” “Ya ada si, tapi memang begitu kondisi di sana. Mau gimana lagi. Selain itu, jangan coba-coba curi waktu. Kalau misalnya ada pembantu yang curi waktu dengan tidur siang, wah bisa dihukum oleh sang majikan. Tapi hukummnya g berat kok, paling g dikasih makan satu hari.” Kalimat terakhir ini membuat saya lebih terperanjat, “….paling tidak dikasih makan satu hari.” Ibu ini masih menggunakan kata “paling” yang seakan tidak jadi masalah karena kesalahan terletak pada diri pembantunya sendiri.
Meski bukan ibu ini yang mengalaminya sendiri, tapi melihat ketabahannya lewat cerita dan pengalaman yang ia sampaikan, membuat saya menghela nafas panjang. Kok masih begitu sabarnya dengan mengatakan “paling hanya tidak diberi makan satu hari.” Pertanyaan lain di otak saya pun bermunculan, ‘bukankah dengan tidak memberi makan sudah termasuk kezaliman dan bantuk sikap yang tidak berperikemanusiaan plus melanggar Hak Asasi Manusia?’ tapi saya tahan untuk tidak mengungkapkannya.
Islam mengajarkan kepada tiap majikan untuk memberi upah seorang pekerja sebelum keringatnya kering yang memberi ilustrai bahwa menghargai keringat orang bekerja merupakan sebuah kelaziman. Miris sekali, hanya mencuri waktu untuk istirahat sejenak saja, seorang pembatu “diembargo” makan.
Tirulah Nabi
Setelah berbincang dan diakhiri dengan kata “paling”nya ibu tadi, ingatan saya tertuju pada biografi seorang sahabat yang sekaligus menjadi pelayan Nabi bernama Sayidina Anas bin Malik.
Diterangkan dalam biografinya, Anas mengabdi sebagai pelayan Nabi tidak kurang dari dua puluh tahun lamanya. Anas menuturkan pengalamannya, “Tidak pernah Nabi menegur aku kenapa aku tidak melakukan ini dan itu atau menegur aku karena meninggalkan pekerjaan yang ini dan itu.”
Masih dalam penuturan kesaksiannya pula, Anas berkata, “Aku melayani Nabi selama dua puluh dan selama itu aku tidak pernah dihardik oleh beliau, tidak pernah mengalami pemukulan meski sekali, dan tidak pernah bermuka masam kepadaku.” Kesaksian Anas ini merupakan lambang keramahtamahan seorang majikan kepada pembantunya sekaligus memberikan pelajaran penting kepada setiap majikan, khususnya majikan Muslim, agar berhati-hati dalam memperkerjakan pembantunya.Mencemoohnya saja sudah tergolong perbuatan tercela apalagi sampai pada taraf menyiksa, menghantam, menyiram dengan air panas, menyeterika, tidak memberi makan, seperti yang acap dialami oleh “pahlawan devisa” dari Tanah Air selama ini.
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menurunkan sebuah riwayat dari Sayidina Abu Mas`ud Al-Badriy. Abu Mas`ud mempunyai pengalaman soal pembantu. Suatu kali, ia pernah menyambuk budaknya dengan cemeti karena suatu pelanggaran. Setelah menyambuk, beliau mendengar ada suara yang berbunyi, “Ketahuilah wahai Aba Mas`ud, bahwa Allah lebih mampu melakukan apa yang telah engkau lakukan tadi kepada pelayanmu.” Ternyata suara itu muncul dari lisan Rasulullah Shalallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Sejak mendengar teguran Rasul, Abu Mas`ud tidak pernah lagi memukul budaknya. Dalam sebuah riwayat yang lain, Abu Mas`ud berkata, “Wahai Rasulullah, dia (si budak) kumerdekakan karena Allah.” Maka Rasul berkata, “Seandainya engkau tidak memerdekakannya, niscaya api neraka akan menyentuh dan menghanguskan dirimu.” (HR. Muslim)
Memukul seorang Muslim apalagi Muslimah, meski “derajatnya” sebagai pembantu atau budak, tidak mendapat tempat dalam Islam.
Artinya, Islam begitu menghormati sosok pelayan yang melayani kebutuhan sang majikan: membersihkan rumah, mencuci pakaian, menjaga anak-anak, menjaga rumah, dan sebagainya. Tentu, tidaklah pantas memperlakukannya dengan tidak senonoh.
Penuturan ibu TKI seperti tersebut di atas patut pula untuk dibandingkan dengan pengalaman lainnya tentang seseorang di masa rasul yang pernah bertanya kepada beliau, “Berapa kali kami harus memaafkan pembantu yang bekerja pada kami?” Rasul diam sejenak lalu mengatakan, “Maafkanlah pembantumu sebanyak tujuh puluh kali setiap harinya.” * (BERSAMBUNG)
Penulis pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang. Pengasuh Grup Qolbun Salim. Tulisan pernah dimuat di Majalah Cahaya Nabawiy