SATU bukti manusia tak kuasa secara mutlak dalam hidup ini adalah hadirnya musibah dalam perjalanan hidup setiap manusia. Namun demikian, sebagian besar orang masih menjadikan tolok ukur akal dalam menimbang dan menentukan segala sesuatu termasuk musibah, sehingga alih-alih ingat dan kembali kepada Allah, sebagian malah semakin jauh dari ketentuan Islam.
Ketika anak secara mendadak terjatuh, luka bagian kepala dan mengucurkan darah segar begitu banyak yang membuat siapapun yang melihatnya akan shock, sebagian orang tua langsung menghardik buah hatinya. “Ya Allah, kenapa sampai seperti ini, kamu kok gak hati-hati, kan tadi sudah mama bilangin, jangan main di situ.” Padahal, musibah terjadi tanpa ada satu pun manusia akan ada yang mengetahui.
Dalam kata yang lain, tak ada gunanya menyalahkan apa dan siapapun kala musibah menimpa. Cukup kembalikan kepada Allah dengan mengucapkan “Innalillahi wainna ilayhi roji’un” sebagaimana Allah tegaskan di dalam Surah Al-Baqarah ayat 156.
Dari segi bahasa, “musibah” atau dalam dialek Arab diucapkan dengan mushabah dan mashubah, berarti “peristiwa yang dibenci yang menimpa manusia.”
Al-Qurthubi berkata, musibah sebagai semua peristiwa yang menyakiti kaum beriman. Dalam kehidupan keseharian, musibah mencakup bencana dan segala hal yang membawa kerugian dan kejelekan dalam pandangan manusia.
Dan, sebagai tempat ujian sementara, dunia tidak bisa bebas dari yang namanya musibah. Abu Al-Faraj Ibn Al-Jauzi mengatakan, “Seandainya dunia bukan medan musibah, di dalamnya tidak akan tersebar penyakit dan nestapa, takkan pernah ada kepedihan yang menimpa para Nabi dan orang-orang pilihan.”
Namun demikian, tidak berarti kehidupan dunia harus dihadapi dengan penesalan, kesedihan apalagi keputusasaan. Semua peristiwa datang dari dan diciptakan oleh Allah Ta’ala.
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid [57]: 22).
Artinya, sesuatu yang menimpa kehidupan umat manusia, terutama musibah hakikatnya telah Allah tentukan. Dan, karena itu harus disikapi dengan sabar dan lapang dada. Jangan ada ungkapan yang semakin menjerumuskan diri pada kehinaan dan kemurkaan Allah Ta’ala.
Tentu saja, sikap yang harus diusahakan adalah sabar dan lapang dada. Sayyidina Ali berkata, “Jika engkau bersabar, takdir akan tetap berlaku bagimu, dan engkau akan mendapatkan pahala. Jika engkau berkeluh kesah, takdir jug aakan tetap berlaku bagimu, dan engkau akan mendapatkan dosa.”
Lantas, apa yang harus kita lakukan saat mendapat musibah dalam kehidupan?
Pertama, Segera ambil tindakan disertai muhasabah
Kala diri ditimpa musibah, katakanlah terkilir, terluka, sakit atau apapun, maka bersegeralah mengambil tindakan pengobatan baik dengan mendatangi tempat berobat maupun ahli pengobatan. Hal ini penting karena bagian dari syariat Islam, berikhtiar menemukan solusi.
Misalnya, ketika secara tiba-tiba kaki anak atau kaki diri sendiri terkena kenalpot motor. Jangan buang momentum dengan penyesalan atau ungkapan negatif dengan menyalahkan siapapun, tapi segera dikompres dingin supaya panasnya tidak meresap ke dalam. Setelah dikompres, kemudian perawatan lukanya harus dicuci bersih tiap hari setelah itu keringkan, kemudian kasih salep untuk luka bakar. Ini jauh lebih efektif, luka tertangani, lisan terjaga dan lebih baik semua dilakukan diiringi memperbanyak doa.
Jadi, jangan sampai ada tindakan yang salah, apalagi dengan mengomel sampai akhirnya luka tidak segera ditangani, hati menjadi jengkel dan momentum menjadi berkurang bahkan hilang untuk segera melakukan penanganan yang semestinya.
Setelah penanganan usai dilakukan, barulah muhasabah, bagaimana musibah itu bisa terjadi. Oh…mungkin tadi terburu-buru, tidak fokus dan kurang hati-hati, sehingga ke depan bisa lebih hati-hati, sehingga ikhtiar menghindari kejadian buruk bisa diupayakan sedini mungkin.
Kedua, Tetap Positif Thingking
Sekalipun musibah adalah hal yang dibenci oleh manusia, dalam Islam musibah tak semata nestapa, ia juga kemuliaan yang amat dibutuhkan setiap insan beriman.
“Apabila Allah menginginkan kebaikan-kebaikan hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghenndaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (HR. Tirmidzi)
Oleh karena itu, jangan pernah berprasangka buruk kepada Allah dengan musibah apapun yang dialami. Rasulullah bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian itu mati, kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim).
Ketiga, Jangan mengeluh dan mencela Musibah
Sebagai insan beriman, kita dituntun oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menyikapi musibah secara bijaksana, yakni dengan memandang hal tersebut secara proporsional. Sebab, musibah kadang menjadi pilihan Allah untuk mempercepat penempaan diri menjadi insan kamil, sekalipun sudah pasti di dunia ini no body is perfect.
Terlebih di balik musibah ada banyak kebaikan langsung dari Allah, seperti pengampunan dosa dan kebaikan-kebaikan lainnya.
“Tidak ada musibah yang menimpa umat Islam hingga sekecil duri menusuknya, melainkan Allah Azza wa Jalla akan menghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Tidak ada yang menimpa seorang Muslim dari kepenatan, sakit yang menahun, kebimbangan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, atau hanya tertusuk duri, kecuali dengan itu Allah hapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari).
“Janganlah engkau mencela penyakit demam, karena ia akan menghapuskan kesalahan-kesalahan anak Adam sebagaimana alat pandai besi itu dapat menghilangkan karat besi.” (HR. Muslim).
Subahanalloh, demikianlah Islam menjelaskan hikmah dari musibah, derita yang mendatangkan keberkahan dari sisi-Nya. Semoga Allah kuatkan diri kita dalam menghadapi musibah apapun, sehingga kita senantiasa mendapatkan rahmat dan ridho-Nya.*