MENGAPA kejahatan, ketidakamanan dan kerusakan sosial begitu mudah terjadi? Satu di antara faktor dominan mungkin karena adab bertetangga yang mulai ditinggalkan oleh sebagian besar kaum Muslimin.
Konsep hidup perkotaan sejauh ini telah menggerus nilai-nilai luhur dan penting dalam kehidupan sosial, yakni mengenal dan bersinergi dalam kebaikan bersama tetangga, sehingga kerapkali sering terjadi tindak kejahatan, terutama kepada anak-anak begitu mudah terjadi karena satu dengan lain keluarga tidak ada silaturrahmi bahkan saling tidak mengenal. Akibatnya gotong royong yang merupakan manivestasi ajaran Islam seakan memudar dalam kehidupan nyata masyarakat.
Suasana tersebut tentu sangat berbeda dengan masyarakat pedesaan, yang tidak saja saling mengenal, tetapi anak dari tetangga yang sudah lama tidak kembali ke kampung halamannya pun mereka masih saling ingat, membicarakan dan tentu saja berharap kebaikan bagi mereka yang meninggalkan kampung halaman sukses di perantauan.
Wajar jika di desa (meski mungkin kini sudah tidak semua desa) kontrol sosial berjalan dengan cukup baik. Sebab saling mengenal dengan tetangga akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk ikut serta saling melindungi. Dan, keakraban di antara mereka begitu kental terasa.
Namun kini tinggal kepada kesadaran dan gaya hidup setiap Muslim. Meski pun di kota, jika memang adab bertetangga dihidupkan, bukan mustahil ketahanan sosial, terutama keamanan bagi anak-anak yang sering menjadi sasaran pelaku kejahatan dan predator seks benar-benar dapat dilindungi.
Sebab, keluarga yang baik tidak menjamin kebaikan selama lingkungan tidak benar-benar aman dan kondusif. Jadi umat Islam tidak saja butuh menguatkan keluarga, tetapi juga sekaligus sangat butuh dengan kebaikan lingkungan yang bisa dimulai dengan adab bertetangga guna terciptanya ketahanan sosial.
Oleh karena itu termasuk perkara penting dan mendesak bagi setiap Muslim, dimanapun berada kembali memahami kedudukan tetangga dan menghidupkan adab-adab bertetangga. Selain memberikan ketenangan hati karena telah menghidupkan sunnah, secara langsung hal ini akan menguatkan lingkungan kita hidup dalam kebaikan demi kebaikan, serta aman dari ancaman predator sek dan kejahatan anak.
Dalam Islam, tetangga itu harus dimuliakan.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya.” (HR. Bukhari).
Memuliakan di sini bisa dipahami dengan tidak cuek terhadap tetangga. Memberi perhatian semampu diri, sehingga tetangga merasa nyaman dan aman hidup bersama kita. Dan, tentu saja, semoga hal itu mendorong tetangga kita semakin dekat dengan Allah Ta’ala.
Dalam hal ini kita bisa beajar dari Ulama Salaf Hasan Al-Bashri. Beliau rela menahan diri tidak menggugat tetangganya yang beragama Yahudi yang setiap hari, rumah beliau terkena pembuangan air dapur rumah tetangganya.
Kala Hasan Al-Bashri sakit, tetangga Yahudi itu pun menjenguk dan kaget dengan bau tidak sedap yang menyeruak masuk ke dalam rumah beliau. Sontak Yahudi itu bertanya, “Ini bau apa?” Hasan Al-Bashri menjawab, “Air dari rumahmu.”
“Kenapa tidak bilang, sudah berapa lama ini terjadi?”
Hasan Al-Bashri pun menjawab ringan, “Sudah 11 tahun.”
Mendengar jawaban tersebut, Yahudi itu malu dan segera sadar akan kekeliruannya dan kemudian menyatakan diri masuk agama Islam.
Dari kisah ini dapat dipahami bahwa memuliakan tetangga termasuk kepada yang non Muslim dan sebisa mungkin menghindari bermasalah dengan tetangga. Bersabar dengan keburukannya adalah jalan pintas mendapat kebaikan dan keridhoan-Nya.
Meski hal ini tidak mudah, setidaknya spirit penting ini jangan pernah padam dari dada kita sebagai Muslim. Terlebih, jika tetangga kita adalah saudara seiman. Tentu lebih layak untuk dimuliakan dengan cara yang lebih baik.
Kemudian, berbuat baik kepada tetangga juga menjadi perintah yang dirangkaikan dengan amanat menjalankan ibadah dengan suci murni hanya kepada-Nya.
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An Nisa [4]: 36).
Mengamalkan adab bertetangga ini tidak saja akan menumbuhkan rasa kasih sayang dengan sesama, tetapi juga menguatkan sistem sosial. Bisa dibayangkan jika satu keluarga ke empat penjuru mata angin dengan jumlah 40 rumah alias tetangga saling mengenal, maka pelaku kejahatan mana yang berani berbuat buruk lalu menciderai anak-anak kita?
Penculikan anak, pergaulan yang salah dapat dicegah jika kehidupan bertetangga berjalan sebagaimana ajaran Islam. Mari kembalikan nafas ajaran Islam dalam keseharian bersama tetangga. Karena di dalamnya ada banyak sekali manfaat dunia-akhirat.
Untuk itu, tidak mengherankan jika adab bertetangga ini dilanggar, justru akan menimbulkan banyak kerugian, sekalipun diri termasuk orang yang komitmen beribadah dan beramal sholeh.
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya).” (HR. Bukhari Muslim).
Hal ini dipertegas dalam hadits yang lain.
يا رسول الله! إن فلانة تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في النار
“Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka.” (HR. Al Hakim).
Neraka itu mungkin bermakna dua, satu berupa kerugian, kerusakan dan ketidakbahagiaan di dunia. Dan, kedua tentu neraka dalam pengertian aslinya. Tentu kita berlindung kepada Allah dari termasuk orang yang masuk neraka karena abai terhadap tetangga. Semoga Allah mampukan hati dan diri kita hidup bertetangga dengan ajaran sunnah Rasulullah. Wallahu a’lam.*