CINTA itu laksana tanaman. Ia harus dirawat. Agar tumbuh subur dari hari ke hari. Apalagi, ketika hama mencoba menyerang. Harus bersegera mencari obatnya. Pun demikian pupuknya. Agar sehat lagi kuat.
Dalam biduk rumah tangga, tidak sedikit aneka macam hama, mencoba menyerang.
Datangnya dari berbagai macam arah. Tak terkecuali dari masing-masing pasangan.
Umpama; mulai merasa tidak ada kecocokan. Menemukan reka-ragam sifat/perilaku yang kurang dikenani dari pasangan. Dan seterusnya.
Bila ini tak dicoba ‘diobati’, sudah barang tentu akan layu dan matilah cinta itu.
Muncullah riak-riak. Yang bukan mustahil, pada endingnya berakhir dengan karamnya bahtera rumah tangga.
Aduhai. Ngeri sekali akibatnya. Dan itulah fenomena yang kita saksikan pada figur negeri ini. Khususnya dunia keartisan.
Namun, bukan mustahil, itu akan menimpa keluarga kita, bila tidak diantisipasi. Na’udzubillah.
Untuk mengerai persoalan ini, maka kita harus tahu dulu penyebab utama tumbuhnya ‘hama’ cinta ini.
Hemat penulis ada dua biangnya. Pertama; kuatnya menuntut pemberian hak masing-masing.
Dan yang kedua; adanya salah titik fokus dalam menilai pasangan. Berpusat kepada kekurangan pasangan.
Karena demikian persoalannya, maka sebagai langkah pengobatannya, lakukan dua hal pula.
Pertama; enyahkan keinginan untuk mendapatkan hak. Tapi berusahalah untuk masing-masing diri menunaikan kewajiban terhadap pasangan semaksimal mungkin. Dengan demikian, tidak akan ada yang saling menuntut satu sama lain. Yang ada adalah berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi pasangan.
Itulah teladan yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Misal, betapa beliau tidak marah-marah, ketika pulang rumah, tidak didapati makanan di meja makan.
Untuk membesarkan dan menghibur hati sang istri, beliau bertutur; “Aku tengah berpuasa hari ini.”
Lapanglah hati sang istri. Tidak diselimuti oleh rasa bersalah, karena tidak mampu memberikan pelayanan terbaik bagi sang suami tercinta. Menghidangkan makanan.
Selanjutnya, untuk solusi yang kedua; cobalah melatih diri untuk mengganti pusat penilaian. Tidak lagi pada kelemahan pasangan. Tapi pada kelebihan lain yang dimiliki.
Itulah yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab. Beliau bersabar menghadapi istrinya yang acap ‘memarahi’nya, karena beliau menyadari akan besarnya andil sang istri dalam urusan rumah tangga.
Istrilah yang memasakkan, mengurus kebersihan rumah, mencuci baju, dan juga mendidik anak-anak, tatkala beliau keluar rumah. Pekerjaan yang tidak ringan.
Coba ingat-ingat. Apa yang terjadi di rumah, ketika istri tengah sakit. Bukankah suami kalang kabut mengurusi segala sesuatunya.
Soal makan. Soal rumah. Baju kotor. Urusan anak. Dan seterusnya. Semuanya menyita waktu dan pikiran. Yang tidak sedikit para suami ‘tumbang’ mengatasinya.
Demikian pula para istri. Cobalah perhatikan para suami itu dalam bekerja. Peras keringat. Banting tulang. Tersengat matahari. Itu semua untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang menjadi kewajibannya.
Bila masing-masing mampu mengalihkan titik penilaian, pada masing-masing kelebihan dari pasangan, maka insya Allah benih cinta akan mampu tumbuh kembang dengan baik.
Dan ini pula yang dituntunkan dalam al-Qur’an.
“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 237).* Khairul Hibri