Oleh: Ali Akbar bin Agil
SEORANG teman pernah mengajukan sebuah pertanyaan via SMS kepada saya tentang hari sial dalam pernikahan. Dia bertanya tentang hal itu karena ada saudaranya yang akan menikah, lalu bertanya kepada ‘orang pintar’ yang menguasai ilmu penanggalan jawa atau penanggalan weton.
Kata orang pintar tadi, jangan menikah pada tanggal itu karena tidak cocok dengan tanggal kelahiran mempelai, itu hari sial, hari buruk yang kalau tetap dilangsungkan akan membawa malapateka.
Persoalan di atas sering muncul. Ketika anda akan membuka toko anda harus menunggu ‘hari baik’. Ketika anda akan pindah rumah, anda mesti mencari ‘hari baik’. Persepsi hari baik dan hari buruk membentuk keyakinan bahwa di antara hari, tanggal, dan bulan, di dalamnya ada kesialan, kecelakaan, dan kebinasaan.
Pada dasarnya, semua tanggal dan hari baik selama kita isi dengan kebaikan. Akan tetapi, ada hari-hari yang dipandang baik dengan amalan-amalan yang baik pula. Misalnya, hari Jumat dengan shalat jumatnya. Bulan Ramadhan dengan puasanya dan pahala yang berlipat ganda.
Tanggal 9 Dzulhijjah dengan puasa Arafah yang berisi pengampunan dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Ada lagi puasa pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan puasa Asyura dengan penghapusan dosa setahun penuh, dan masih banyak lagi.
Itulah hari-hari baik dalam Islam. kebaikannya ada pada nilai khusus yang disebut pahala dengan amalan-amalan yang baik pula. Jika hari-hari baik itu tidak digunakan untuk melakukan kebaikan-kebaikan, nilai kebaikan itu menjadi tidak ada.
Misalnya, melangsungkan pernikahan pada tanggal 10 Muharram maka kegiatan itu tidak bernilai ibadah seperti orang yang beribadah puasa Muharram. Mungkin hanya melahirkan optimisme untuk mendapatkan kebaikan dari Allah. Dan ini pun sah-sah saja.
Menurut Islam, semua bulan dan hari itu baik, masing-masing mempunyai sejarah, keistimewaan dan peristiwa sendiri-sendiri. Jika bulan dan hari tertentu mempunyai sisi nilai keutamaan yang lebih, bukan berarti bulan dan hari yang lain merupakan bulan atau hari yang buruk. Jika ada kejadian tragis atau peristiwa yang memilukan dalam sebuah bulan atau hari, itu bukan berarti bulan dan hari atau tanggal tersebut merupakan bulan, hari, dan tanggal musibah atau yang penuh kesialan. Namun kita harus pandai-pandai mencari hikmah di balik peristiwa itu, dan amaliah apa yang harus dilakukan sehingga terhindar dan selamat dari berbagai musibah.
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam Fatawa Al-Hadistiyyah pernah ditanya tentang bagaimana status adanya hari nahas yang oleh sebagian orang dipercaya sehingga mereka berpaling dari hari itu atau menghindarkan suatu pekerjaannya karena dianggap hari itu penuh kesialan.
Beliau menjawab bahwa jika ada orang mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sedangkan jika ada riwayat, lanjut beliau, yang menyebutkan tentang hari yang harus dihindari karena mengandung kesialan, maka riwayat tersebut adalah batil, tidak benar, mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelas, untuk itu jauhilah riwayat seperti ini.
Adanya penentuan tanggal weton yang dihubungkan dengan nasib dan masa depan seseorang adalah klenik yang biasa dilakukan oleh para dukun.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW. bersabda yang artinya : “Barangsiapa mendatangi seorang dukun dan dia percaya dengan apa yang dikatakannya maka dia telah kufur dengan apa yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW.”
Oleh karena itu, kita tidak perlu risau dan gelisah dengan penanggalan weton yang acap memberikan tekanan pada diri seseorang bahkan mempercayainya adanya hari sial jika tetap dilakukan sesuatu di dalamnya. Jodoh, hidup, mati, rezeki, dan sebagainya adalah wewenang kekuasaan Allah. Tidak ada seorangpun yang dapat menetukan siapa jodohnya, di mana ia akan mati dan hidup, berapa rezekinya, atau mampu menentukan hari-hari tertentu sebagai hari sial.
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ
فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Allah SWT berfirman: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidaklah jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh ).” (Qs. Al-An`am : 59)
Tetaplah yakin seyakin-yakinnya bahwa apa pun yang terjadi adalah atas kehendak Allah semata. Jangan terpengaruh ramalan dan othak-athik-gathuknya ‘orang sepuh’ atau ‘orang pinter’ mana pun baik Jawa, Sunda Batak, Belanda, Amerika, dan seterusnya.*
Penulis staf pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang- Jawa timur