Oleh: Shalih Hasyim
SETIAP anak yang dilahirkan dalam rumah tangga yang tenteram dan disempurnakan dengan rasa cinta dan kasih sayang, kelak setelah ia dewasa akan menjadi manusia yang berjiwa besar, dapat menyayangi dirinya sendiri, keluarga, dan lingkungan sosialnya.
Sebaliknya, bila dia masa kecilnya tidak menemukan kasih sayang, hanya menjumpai kekejaman, kegelisahan, maka setelah dewasa akan menjadi manusia yang berjiwa kerdil. Ia akan menjadi pribadi yang mudah membalas dendam dengan lingkungan sekitarnya.
Berbagai kasus kenakalan remaja belakangan ini menunjukkan betapa risaknnya anak yang lahir dari kelauarga yang kacau.
Sesungguhnya Islam sangat memperhatikan persoalan keluarga. Karena kebahagiaan keluarga, berefek pada kebahagiaan penduduk dunia secara keseluruhan. Dan wanita sebagai makhluk istimewa untuk mewujudkan “Rumahku, Surgaku”, diberi berkat oleh Allah Subhanahu Wata’ala, tentusaja dengan bantuan suami yang bertakwa.
Artinya, rumah akan menjadi surga atau neraka tergantung peran yang dimainkan pasangan. Karena, tugas ini sangat berat, maka Islam mewajibkan keduanya berperan satu sama lain. Suami untuk memberi nafkah, dan menjadi pemimpin di dalam keluarga dan istri dituntut shalihah karena berfungsi sebagai madrasah (sekolah) bagi anak-anak mereka.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا
حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An Nisa (4) : 34).
Keluarga yang melahirkan keturunan yang shalih dan shalihah Keluarga adalah batu bata perjuangan. Generasi dari keturunan rumah tangga yang rabbi radhiyya (diridhai Allah) adalah mereka-mereka yang hukma shabiyya (kecil-kecil paham kitab suci), keturunannya bisa menjadi qurratu a’yun (sedap dipandang mata), muqimush sholah (penegak shalat). Dan merekalah ansarullah (penolong agama Allah).
Oleh karena itu, untuk melahirkan generasi di atas, haruslah dimulai dari mencari jodoh yang baik. Dan Allah Subhanahu Wata’ala sudah memiliki pengalaman yang banyak dalam menjodohkan milyaran manusia, sejak zaman Nabi Adam sampai hari ini.
Oleh karena itu kita harus memandang bahwa jodoh adalah kiriman, titipan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Adapun pihak-pihak yang memproses terjadinya pertemuan adalah asbab (mediator), bukanlah penentu. Sudah tentu, kehadiran jodoh harus kita rawat dengan baik. Dan hasil perawatan kita, kita laporkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
اَيُّهَا النَّاسُ فَا تَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَاِنَّكُمْ اَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْكُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ , اِنَّ لَكُمْ عَلىَ نِسَائِكُمْ حَقًّا , وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَاِنَّهُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ , لاَ يَمْلِكُنَّ ِلاَنْفُسِهِنَّ شَيْئًا وَلَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً
“Wahai manusia, takutlah kepada Allah akan urusan wanita. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka sebagai isteri dengan amanat Allah. Kami halalkan kehormatan mereka dengan kalimah Allah. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas isterimu, dan isterimu pun mempunyai hak atasmu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap isteri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memilih apa-apa untuk dirinya, dan kamu pun tidak memilih apa-apa dari diri mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuat aniaya terhadap mereka.” (HR. Muslim dan Turmudzi).
Islam adalah dinul fitrah (agama fitrah), yang mengatur kehidupan di dunia ini sesuai dengan fitrah kejadian manusia itu sendiri. Kalau kejadian manusia itu sendiri berasal dari pertemuan dua sel spermatozoa (nuthfah) dan ovum, kemudian memperbanyak diri menjadi sebuah makhluk yang bernama manusia sempurna. Sempurna dengan susunan jasmaninya, dan sempurna pula struktur ruhaninya.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tin (95) : 4).
Setelah dibuat sempurna, lalu Allah memuliakan manusia dengan caraNya.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS: Al Isra (17) : 70).
Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan. Maka, berdasarkan fitrah itu pula Islam mengatur kehidupan manusia di dunia ini dimulai dari unit yang terkecil dalam sebuah komunitas, yaitu: rumah tangga. Rumah tangga dalam pengertian Islam adalah “maskan”, tempat terwujudnya suasana tenteram (sakinah) dan disempurnakan dengan kehangatan cinta (mawaddah) dan kesejukan rahmah (kasih sayang).
“
Pilar Rumah Tangga
Karena itu, seharusnya dasar yang dijadikan dalam memimpin rumah tangga adalah al-Mu’asyarah bil Ma’ruf (mempergauli keluarga dengan baik) dan bermusyawarah. Al-Ma’ruf di sini mencakup baik dalam niat, baik dalam tutur kata, baik dalam bersikap, dan baik dalam segala aspek yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Sebagaimana ungkapa Aisyah terhadap suami dan pemimpinnya itu: Kaana kullu amrihi ‘ajaban (sesungguhnya segala urusannya menakjubkan).
Anjuran mempergauli isteri dengan baik dan bermusyawarah, terdapat pada dua ayat berikut.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS: An Nisa (4) : 19).
Dalam melaksanakan tugas yang berat dalam kerutanggan, suami dan isteri dituntut untuk saling ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), tarahum (saling menyayangi), ta’awun (saling bersinergi), takaful (saling menanggung). Karena keduanya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Ibarat tumbu, menemukan tutupnya. Sebelum nikah agama seseorang hanya separo, disempurnakan setengahnya dengan menikah.
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al Baqarah (2) : 187).
Dalam bermusyawarah, tidaklah berarti setiap apa yang diputuskan itu mengandung kebenaran yang bersifat mutlak. Karena hal yang dimusyawarahkan biasanya adalah persoalan tehnis, bukan prinsip. Oleh karena itu, suami dan isteri wajib menjadikan takwa sebagai sendi/pilar/tiang utama dalam berlabuh di bahtera rumah tangga. Terpeliharanya nilai-nilai ketakwaan itu diserahkan penerapaannya kepada pemimpin rumah tangga, suami.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS: At Tahrim (66) : 6).
Oleh karena itu, suasana sakinah, mawaddah, wa rahmah dan amanah (tanggung jawab) tidak hanya dibutuhkan pasangan Muslim, namun juga suasana yang sangat dibutuhkan oleh anak-keturunan mereka. Sesungguhnya suasana itulah yang sangat dibutuhkan oleh bayi yang lahir, sebagai buah dari pernikahan.
Pengalaman empiris manusia telah berkali-kali mengajarkan bahwa anak yang dilahirkan di dunia ini dari kondisi yang miskin kasih sayang akan memiliki kepribadian yang labil/rapuh. Tidak berdaya menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Bukankah anak yang tangguh/kuat kepribadiannya adalah investasi yang paling berharga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan bukankah anak-anak yang seperti itu yang justru langka kita temukan pada saat ini?
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah