Oleh: Dr. H. Jeje Zaenudin
KELUARGA sebagai inti dari bangunan masyarakat sepatutnya menjadi perhatian serius dalam gerakan pembangunan masyarakat dan negara yang kuat. Kualitas dan ketahanan keluarga menjadi modal utama bagi kualitas dan ketahanan masyarakat dan negara, demikian pula sebaliknya lemahnya kualitas dan ketahanan keluarga menjadi faktor dominan bagi kelemahan masyarakat dan negara.
Bagi bangsa Indonesia makna pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang mencakup semua dimensi kehidupan untuk mencapai cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, lahir dan batin, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Kualitas hidup tidak mungkin hanya diukur dan ditentukan oleh faktor kemakmuran materi semata, tetapi juga sangat ditentukan oleh nilai moral spiritual. Dalam konteks ini keyakinan terhadap ajaran agama yang dipeluk masyarakat dan pemahaman serta pengamalannya secara benar dan tepat menjadi faktor penting dalam mengarahkan kehidupan berkualitas dalam makna yang sempurna meliputi lahir dan batin.
Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya memeluk Islam, peran ajaran Islam dalam memberi pijakan perumusan nilai-nilai kehidupan keluarga dan masyarakat tidak dapat diabaikan. Sehingga menjadi suatu keniscayaan agar gerakan pembanguan keluarga dan masyarakat Indonesia dapat mencapai tujuannya secara lebih cepat dan sempurna, di antaranya sosialisasi dan realisasinya melalui pendekatan keagamaan secara benar dan tepat pula. Dengan mengikuti paradigma keagamaan dan sekaligus mengarahkannya secara positif dan aktif terhadap gerakan pembanguan keluarga Indonesia, diharapkan terjadi keserasian dan keharmonisan antara gerakan keagamaan dengan gerakan pembangunan nasional dan terantisipasinya gerakan pemikiran dan praktek keagamaan yang justru kontra produktif dengan pembangunan bangsa.
Perhatian Islam terhadap pembangunan kualitas dan ketahanan keluarga sangatlah besar. Ada sekitar 70 ayat dalam Al-Quran yang berkaitan dengan masalah keluarga (Abdul Wahhab Khalaf, tt: 6). Dari mulai masalah siapa yang halal dan haram dikawini, hukum dan cara pertunangan, cara akad perkawinan, hukum dan benda maskawin, hak dan kewajiban suami istri, hak dan kewajiban anak, hukum dan macam perceraian, masa iddah, rujuk, hingga pembagian warisan.
Di antara yang sangat penting untuk dicatat adalah peringatan Al-Quran tentang kewajiban menjaga keluarga dari terjerumus kepada kehancuran hidup dunia dan akhirat (Al Tahrim: 6); kewajiban mempersiapkan anak-cucu sebagai generasi pelanjut agar jangan ditinggalkan dalam keadaan lemah (An Nisa: 4): hingga Islam menawarkan konsep keluarga SAMARA (Sakinah, Mawaddah, Wa rahmah) yang diambil dari surat AR Rum ayat ke 21.
Konsep “samara” yang bersifat terbatas kepada pasangan suami istri dilengkapi dengan konsep yang lebih luas yaitu pada tataran keluarga dan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Al-Quran menawarkan konsep kehidupan yang paripurna, berkualitas lahir dan batin, dengan cara membangun pola kehidupan yang serba positif dan penuh dengan amal saleh yang disebut ungkapan hayatan thayyiba atau kehidupan yang serba baik (16 : 97).
Sebagai agama yang membawa misi perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, Islam menempuh cara perubahan yang bersifat gradual. Dari perubahan mental spiritual kepada perubahan perilaku dan gaya hidup yang pada akhirnya membangun kebudayaan dan peradaban di bawah bimbingan wahyu. Yaitu dengan menanamkan nilai-nilai tauhid yang sebaik-baiknya dalam jiwa individu dan keluarga untuk kemudian pada akhirnya menjadi nilai-nilai yang hidup pada masyarakat secara luas.
Ketika Al-Quran berbicara pendidikan nilai dalam keluarga, maka ia menempuh gaya bercerita dengan memilih Lukmanulhakim sebagai pribadi seorang ayah yang bijak untuk menjadi teladan bagi keluarga mukmin, maka nasihat yang pertama disebutkan Al-Quran adalah perintah bersyukur dan penanaman tauhid (Lukman: 12-16), atau kisah Nabi Zakariya yang dengan gaya puitis memelas dan merintih dalam doanya memohon kepada Allah untuk diberi keturunan yang melanjutkan kepemimpinannya (Maryam: 1-6)
Dalam tataran masyarakat, Nabi Muhammad membangun masyarakat Islam di Madinah dengan nilai-nilai dasarnya yang telah diletakan dalam keluarga. Sejarah Tasyri’ Islam (pembentukan hukum syariat) menunjukan bahwa ayat-ayat yang membimbing ketahanan dan kekuatan keluarga banyak diturunkan lebih dulu daripada ayat-ayat tentang sanksi hukuman cambuk bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, qisas bagi pembunuh dan hukum pembagian waris.
Ketika Islam menyebar dan dipeluk berbagai bangsa, nilai-nilai Islam dalam keluarga itu pula yang paling duluan diajarkan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Muslim. Tidak terkecuali ketika Islam masuk ke dan dipeluk penduduk Nusantara. Di antara nilai-nilai ajaran Islam yang penting dalam membangun keluarga dan masyarakat adalah:
Pertama. Nilai sakralitas perkawinan.
Perkawinan bagi masyarakat Indonesia adalah suci dan perwujudan ibadah. Sebab itu perkawinan dilangsungkan dengan cara yang sakral dan rangkaian penuh ritual. Perkawinan dalam Islam dimaksudkan melaksanakan perintah Allah (Hilman Hadikusuma, 2007: 23). Sejalan dengan filosofi perkawinan menurut Al-Quran sebagai ikatan perjanjian yang kokoh dan sakral antara seorang suami dengan istrinya, bukan sekedar kontrak sosial yang mengabsahkan hubungan biologis semata. Sehingga perkawinan berdimensi ibadah sebagai pelaksanaan syariat agama dimana mengamalkannya harus diniatkan meneladani para nabi dan mengharap pahala. Al-Quran menyebut ikrar perkawinan dengan ‘aqd al nikâh, dan disifati dengan mîtsaqan ghalîzhan (An Nisa: 21 ).* (BERSAMBUNG)
Penulis iInisiator MIUMI, Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Pesatuan Islam (PERSIS)