Hilangnya peran dan kepemimpinan ayah dan pendidikan keluarga pada masa kini juga menjadi penyebab munculnya kaum LGBT
Hidayatullah.com | ADALAH Luqman, seorang ayah yang namanya menjadi salah satu surat dalam Al-Quran. Ia adalah salah satu manusia, bukan nabi yang diabadikan Al-Quran mengajarkan ketauhidan pada anaknya, agar jangan sekali-kali ia mempersekutukan Allah dengan apapun karena jika mempersekutukan Allah maka itu adalah kezhaliman besar yang dilakukan anaknya.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS: Luqman: 13).
Luqman, namanya menjadi begitu istimewa dalam Al-Quran karena memahamkan pada seluruh hamba Allah yang lelaki bahwa di tangan mereka lah pilar pendidikan itu akan diarahkan. Ia juga mengajarkan hal-hal strategis dalam pendidikan anak-anak mereka selanjutnya akan ditentukan.
Luqman memberikan nasihat indah pada anaknya agar selalu berbakti pada orang tua, terutama kepada Ibunda. Tentu nasihat khusus ini juga ditujukan pada para calon ayah yang telah menikah agar bakti mereka pada sang Ibunda tidak hilang begitu saja karena bakti pada Ibunda merupakan penentu kunci surga mereka.
Luqman pula yang pertama kali memberikan keteladanan pada anaknya bagaimana adab Islam dalam berjalan dan berbicara. Agar anaknya berjalan dengan tenang dan tidak penuh kesombongan kemudian tidak meninggikan suaranya kala ia berbicara.
وَٱقْصِدْ فِى مَشْيِكَ وَٱغْضُضْ مِن صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلْأَصْوَٰتِ لَصَوْتُ ٱلْحَمِيرِ
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS: Luqman: 19).
Begitu pentingnya ayah dalam mendidik keluarganya, hingga Allah menyebutkan dalam surat an-Nisa bahwa lelaki adalah qawwam (pemimpin) bagi istrinya pula. Ia tidak hanya memberikan pendidikan, namun juga memberikan pengayoman, perlindungan dan menjadi benteng paling pertama jika keluarganya mengalami serangan.
Banyak Muslimah yang sukses menjadi ilmuwan dan cendekiawan pada masanya tidak terlepas karena peran orang tua, khususnya oleh para ayahnya. Sebut saja diantaranya perawat Muslimah pertama dalam Islam Rufaydah Al Aslamiyah, Mariam Ijliya al Asturlabi hingga arsitek Muslimah pertama yang mendirikan kampus di Maroko, Fatimah Al Fihri.
Sang Muslimah pertama pembuat Star Finder bernama Astrolabe atau yang kini kita kenal dengan teknologi Global Positioning System (GPS), Mariam Ijliya Al Asturlabi, pada masa hidupnya diajari oleh sang ayah dan ikut merancang Astrolabe pula pada masa kepemimpinan Raja Saif Al-Dawlah di Kota Aleppo, Suriah.
Ayah Mariam pula yang berhasil meyakinkan para Muslimah di seluruh dunia kini bahwa tanpa melupakan fitrahnya sebagai perempuan, Muslimah pun bisa menjadi ilmuwan dan cendekiawan. Sementara pada masa lainnya, Kristen dengan ajarannya pada waktu itu menyebut perempuan sebagai pendosa, penyebab Nabi Adam ‘Alayhissalam turun dari surga, hingga yang paling parah ialah menyebut perempuan sebagai temannya setan.
Parahnya, dari tangan para ayah pula lah, para perempuan Barat tidak pernah diberikan kesempatan untuk merasakan dan mengenyam pendidikan, tidak pernah diberi hak ekonomi dengan memiliki harta sendiri sekali pun ia sudah menikah, sungguh kezhaliman luar biasa hingga tidak heran pada akhirnya melahirkan feminisme atau bahwa antara laki-laki dan perempuan harus sama.
Hilangnya peran dan kepemimpinan ayah dalam rumah pada masa kini juga menjadi penyebab munculnya kaum LGBT. Banyak dari mereka (kaumhomo) yang sebenarnya merindukan kasih sayang para ayah hingga akhirnya mereka harus mencari sosok ayah di luar sana, sosok lelaki yang bisa mengayomi dan melindungi mereka, sesuatu yang belum pernah mereka dapatkan pada masa kecilnya.
Lemahnya peran ayah pula yang bisa menjadi salah satu penyebab lahirnya demoralisasi. Muhammad Akram Nadwi dalam bukunya al-Muhaddithat; The Women Scholars In Islam mencatat secara spesifik bagaimana para ulama mendidik anak-anak mereka tanpa harus melempar tanggungjawab tersebut pada istri mereka.
Tercatat dalam sejarah Islam, nama Abu Bakar Ahmad bin Kamil bin Khalaf bin Syajarah al-Baghdadi yang senantiasa memantau pendidikan putrinya, Amat as-Salam (Ummu al-Fath) di sela-sela kesibukannya sebagai hakim pada masa itu. Diriwayatkan oleh al-‘Atiqi, hafalan hadits Amat as-Salam selalu dicatat oleh sang ayah.
Kemudian sebagaimana dikutip dari muslimahzone.com ada Syaikhul Islam Abu Abbas Ahmad bin Abdillah al-Maghribi al-Fasi (560 H) juga tercatat mengajari putrinya tujuh cara baca al-Qur’an, serta buku-buku hadits seperti Bukhari dan Muslim.
Walaupun ada yang mengatakan bahwa ia terlalu sibuk dengan dakwahnya, sehingga tidak pernah punya waktu untuk putrinya, namun Imam al-Dhahabi telah membantah hal ini, ia menyampaikan sulit dipercaya jika ada ulama yang berperilaku demikian karena “perbuatan seperti ini merupakan keburukan yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah ﷺ. Sang teladan bagi umat manusia ini biasa menggendong cucunya bahkan ketika sedang shalat.”
Tidak hanya itu, pakar pendidikan Islam Ibnu Sahnun meriwayatkan, Hakim Isa bin Miskin selalu memanggil dua putrinya setelah shalat Ashar untuk mengajari mereka al-Qur’an dan ilmu pengetahuan lainnya.
Demikian pula dengan Asad bin al-Furat, panglima perang yang menaklukkan kota Sisily, ternyata juga mendidik sendiri putrinya. Nama lain yang juga tercatat mendidik langsung anak-anak mereka dalam sejarah Islam ialah Syaikh al-Qurra, Abu Dawud Sulayman bin Abi Qasim al-Andalusi (496H) dan Imam ‘Ala al-din al-Samarqandi (539H).
Oleh karenanya sejak dini, penting sekali bagi para orang tua yang mempunyai anak lelaki agar menanamkan sikap kepemimpinan pada mereka kelak, tentunya sikap kepemimpinan yang adil (mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya), melindungi, mengayomi, menjaga, mendidik dan memperbaiki dengan penuh ketegasan dan kasih sayang.
Begitu pula bagi para anak lelaki, penting sekali sedari dini menyadari dan mengetahui peran dan tanggungjawabnya sebagai seorang ayah nanti. Bahwa ia tidak hanya sekedar mencari nafkah semata, namun juga mendidik istri dan anak-anaknya kelak sebagaimana telah Allah sampaikan dalam surat Luqman dan surat an-Nisa. */Sarah