DALAM salah satu ceramahnya, Syaikh Salman Al-‘Audah memberi kita nasehat:
“Di antara cara Allah menyadarkan suatu bangsa dan menjauhkan mereka dari hukuman-Nya adalah dengan membinasakan tetangga-tetangga mereka (yakni, yang zalim) agar mereka mengambil ‘ibrah darinya, sebagaimana firman Allah:
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَىٰ وَصَرَّفْنَا الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الأحقاف: ٢٧)
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertaubat).” (Qs al-Ahqaf: 27)
Perhatikanlah umat-umat, negara-negara, dan bangsa-bangsa yang telah dihancurkan Allah. Periksalah penyebab kehancuran mereka dan jauhilah. Orang bahagia adalah orang yang bisa memetik nasihat dari pengalaman orang lain. Oleh karenanya sebagian orang shalih pernah berdoa:
اللّٰهُمَّ لَا تَجْعَلْنَا عِبْرَةً لِغَيْرِنَا
“Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kami sebagai ‘ibroh (pelajaran) bagi orang selain kami.”
Sebab, sebagaimana Allah membinasakan umat-umat lain agar kita bisa memetik ‘ibroh darinya, maka tidak tertutup kemungkinan bila Allah membinasakan kita agar orang lain bisa mengambil ‘ibroh dari nasib kita itu. Sungguh tidak ada penyambung di antara Allah dan makhluk-Nya kecuali takwa.
Inilah salah satu persoalan yang dengannya Allah masih menjauhkan kita dari kehancuran itu, sampai saat ini. Sebab kita tahu bahwa beberapa waktu belakangan ini negeri kita masih terpelihara dari malapetaka berskala luas dan nestapa yang menyentuh segenap penjurunya; sementara pada saat bersamaan bangsa-bangsa lain di sekeliling kita telah “disambar” (oleh bencana). Setiap hari kita pun mendengar berita-berita pilu.” (Dipetik dari: Duruus li asy-Syaikh Salman al-‘Audah, transkrip ceramah ke-193 berjudul: Mashiirul Mutrofiin {akhir kesudahan orang-orang yang berlebihan})
***
Renungkanlah! Kita adalah generasi ke sekian Bani Adam. Kita juga bukan umat dan komunitas pertama yang hidup di Nusantara ini. Negara kita juga bukan satu-satunya yang pernah eksis di kawasan ini. Dulu ada Sriwijaya yang kebesarannya terdengar sampai ke China. Pernah ada pula Majapahit yang menjadi ‘super power’ di zamannya. Setelah itu ada lagi kerajaan-kerajaan hebat: Aceh, Malaka, Demak, Mataram, Makassar, Ternate, Tidore, dan banyak lagi lainnya.
Kemana mereka semua?
Kita hanya mengenal sisa-sisanya di museum dan buku-buku sejarah. Kemegahan mereka mungkin membuat kita bangga, tapi tidak ada lagi peluang untuk menghidupkannya seperti sediakala.
***
Tariklah kisah ini ke ruang lebih khusus. Tidak sedikit ormas, partai, pesantren, sekolah, universitas, toko, pabrik, perusahaan, dan lain-lain yang pernah digdaya di zamannya. Namun, kini nyaris tidak ada lagi yang mengingat kiprahnya dan mendengar namanya. Semua terbenam dan lenyap. Sisa-sisa kebesaran yang mereka miliki kemudian menjadi pelajaran bagi orang-orang di belakangnya.
Mereka punah secara tragis. Seperti kapal Titanic yang — konon pemiliknya sesumbar secara jumawa — bahwa “Tuhan pun tidak akan bisa menenggelamkannya”. Tapi, semua orang tahu bagaimana kapal pesiar mewah itu karam justru pada pelayaran pertamanya.
***
Kita sadar bahwa terbit dan terbenam adalah sunnah kehidupan. Tidak ada yang abadi selain Allah. Namun, jika pun kita harus lenyap suatu saat nanti, pastikan kita menjadi uswah (teladan) bagi orang lain, bukan ‘ibroh (pelajaran) bagi mereka.
Para Nabi adalah model manusia “uswah” itu. Mereka manusia yang sama seperti kita, yang tidak bisa melawan sifat fana dalam dirinya. Namun, kehadiran mereka menginspirasi, dan ketika mereka pergi keteladanannya abadi. Uswah adalah pelajaran positif dan contoh menuju kebaikan-kebaikan.
Tapi kita juga mendengar nama musuh-musuh mereka. Ada Namrud, Fir’aun, Haman, Qarun, Abu Lahab, dan masih banyak lagi. Kita juga sering membaca kisah-kisah kehancuran kaum-kaum nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Luth, dan seterusnya. Kita pun mendapat pelajaran dari pembangkangan serta kedurjanaan mereka, yang berakhir tragis. Kaum-kaum dan orang-orang itu adalah sosok ‘ibroh bagi kita. ‘Ibroh merupakan hikmah di balik kebinasaan dan malapetaka yang dialami orang lain.
***
Jadikan dirimu uswah! Jadikan keluargamu uswah! Demikian pula masjidmu, pesantrenmu, desamu, sekolahmu, tokomu, perusahaanmu, media massamu, software ciptaanmu, dan semua yang terkait denganmu. Pastikan orang lain terinspirasi dan mencontoh kebaikan-kebaikan yang kau tampilkan di sana. Dengan inilah engkau akan melipatgandakan amal sholih, sebab siapa yang memulai suatu kebajikan lalu dicontoh orang lain, maka engkau akan diberkahi dengan pahalanya selain pahala amalmu sendiri.
Namun, berupayalah agar tidak menjadi ‘ibroh bagi siapa pun. Mohonlah kepada Allah agar menjauhkanmu darinya. Sebab, jika ini terjadi, berarti engkau telah melakukan suatu kesalahan yang dengannya Allah menjatuhkan musibah dan hukuman. Orang lain akan mengambil pelajaran dari kesalahanmu dan selamat dari “lubang” yang sama. Mereka beruntung karena dosamu, sementara engkau sendiri terpuruk dalam nestapa karenanya.
Sungguh, tidak pernah ada jaminan NKRI ini akan abadi. Demikian pula perusahaan, pesantren, sekolah, bank, klub sepakbola, parpol, ormas, dan apa pun yang hari ini engkau banggakan dengan fanatik. Bertakwalah kepada Allah, sebelum murka-Nya turun dan menggiringmu menuju jurang ‘ibroh bagi pihak lain. Turuti perintah-Nya, jauhi larangan-Nya. Merunduklah di hadapan-Nya dengan setulus hati. Jangan coba-coba menantang-Nya.
Jangan pongah, sebab kuasamu terbatas, sementara Dzat yang kausombongi itu tak tersentuh kelelahan maupun kelemahan. Apakah menurutmu Dzat yang dulu telah meluluh-lantakkan Sodom dan Gomorrah tidak sanggup melakukannya sekali lagi di sini? Apa engkau pikir Dzat yang membenamkan Qarun dan menenggelamkan Fir’aun sudah pensiun, sehingga para penguasa para zhalim dan hartawan-hartawan tengik itu pasti aman dari pembalasan-Nya? Jangan mimpi!
Dengarkanlah! Ancamannya masih tertera jelas dalam Kitab Suci-Nya, tidak pernah direvisi maupun dicabut.
أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ (٩٧) أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ (٩٨) أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (٩٩) {سورة الأعراف}
“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? (*) Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS Al-A’raf: 97-99)
Selamatkan dirimu, sebelum terlambat! Wallahu a’lam.*/Alimin Muhtar