Oleh: Dr. Yon Nofiar
USAHA ilmiah untuk mempelajari perilaku manusia telah dimulai sejak didirikannya laboratorium psikologi oleh Wundt pada tahun 1879 lalu, namun sampai sekarang psikologi modern masih belum bisa menyibak misteri jiwa dan hakikat perilaku hidup manusia.
Pengagungan kepada science telah menghambat akal untuk dapat menerima kebenaran, pendapat yang tidak bisa diuji empiris haruslah ditolak kebenarannya, padahal bisa saja akal yang belum mampu mengolah data-data empiriknya, atau data-data empiriknya yang tidak mau menampakkan dirinya. Kekakuan cara pandang empirik ini telah melahirkan banyak aliran dalam psikologi, seperti Strukturalisme, Fungsionalisme, Behaviorisme, Psikoanalisa, Psikologi Gestalt, Psikologi kognitif, Psikologi Humanistik, dan Psikologi Transpersonal. Namun, tetap saja hakikat jiwa dan perilaku belum terjawab.
Dahulu ilmu psikologi hanya mempelajari jiwa, namun karena jiwa itu tidak pernah bisa dibawa ke dalam ruang laboratorium maka mereka bergeser kepada ilmu perilaku, dengan anggapan perilaku lebih mudah diamati (observable), kemudian perilaku saja ternyata juga tidak cukup lalu ditambahkan proses mental yang melatar belakangi perilaku, namun hal itu juga tidak tuntas, ditambahkan lagi unsur spiritual, yaitu sesuatu yang bersifat tidak bisa diamati oleh mata namun diyakini ada dan mempengaruhi perilaku seseorang. Sekarang yang menjadi persoalan adalah spiritual yang mana? Jika spiritual itu adalah suara hati maka tentu saja ini salah besar. Siapa yang menjamin bahwa suara hati seseorang itu benar, bagaimana jika ternyata bahwa suara hatinya itu adalah suara setan yang bersemayam di dalam hatinya, jadi ini adalah pendapat yang sesat dan menyesatkan.
Usaha psikologi barat untuk membongkar rahasia ruh adalah usaha yang sia-sia, ruh adalah masalah ghaib yang tidak bisa ditangkap indera manusia, ruh hanya bisa diungkap dengan keyakinan dan keimanan. Allah yang telah menciptakan manusia berfirman;
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan jika mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu urusan Rabb-ku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan kecuali sedikit.” (QS. Al-Isra [17]: 85)
Artinya ruh itu adalah rahasia ‘kekuasaan’ Allah yang mana Allah tidak mau memberikannya kepada manusia. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam selaku utusan-Nya bersabda:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah memberitahukan bahwa hati memainkan peran sentral dari semua perilaku seseorang, dengan kata lain hati adalah pusat kendali (Master of Control) dari semua perilaku manusia, jika pusat kendalinya rusak maka semua fungsi tubuh akan rusak, jika pusat kendalinya bagus maka semua fungsi tubuh akan berjalan dengan baik dan normal.
Sering orang berkata; saya jatuh hati, sakit hati, hatinya gundah gulana, lagi tidak enak hati, dll yang semuanya merefleksikan kondisi tingkah laku seseorang. Artinya kondisi hati seseorang mempengaruhi perilaku seseorang. Hati inilah dalam bahasa Arab disebut dengan qalbu.
Penelitian tentang fungsi dan pengaruh hati saat ini berkembang pesat mengiringi majunya teknologi heart transplantation. Menterjemahkan kata heart menjadi hati sebenarnya kurang tepat, karena heart itu sebenarnya berarti jantung, buktinya orang yang meninggal disebabkan serangan jantung dan bukan serangan hati, namun dalam sehari-hari heart disebut dengan hati.
Penelitian Prof. Gary Schwartz dkk (dari University of Hawaii, USA) menunjukkan bahwa SEMUA pasien yang telah melakukan heart transplantation melaporkan bahwa mereka mengalami perubahan psikologis dan kepribadian termasuk ke-iman-annya mengikuti perilaku dan kepribadian pendonornya.
Koran Washington Post pada tangal 11/8/2007 memuat laporan tentang Peter Houghton yang sukes melakukan operasi pencangkokan jantung buatan. Dia berkata, “Perasaan saya telah berubah, saya tidak mampu mengetahui apa yang saya benci dan apa yang saya cinta, bahkan saya tidak punya rasa apapun kepada cucu-cucu saya.”
Pergantian jantung telah merubah emosi dan perasaan seseorang.
Dr J. Andrew Armour dari USA memastikan adanya sebuah otak yang sangat rumit di dalam jantung (heart-brain). Terdapat lebih dari 40.000 neuron yang bekerja dengan presisi yang sangat tinggi untuk mengendalikan detak Jantung, memproduksi hormon dan menyimpan informasi. Selanjutnya informasi ini dikirim ke otak. Informasi ini memegang peranan vital dalam kesadaran dan pemahaman.
Al-Quran memuat lebih dari 100 kata-kata qalbu dengan pengertian yang beragam, yang dapat dikelompokan kedalam 3 fungsi, yaitu (1) sebagai tempat dan tumbuhnya iman (spiritual quotient), (2) tempat pengaturan emosi (emotional quotient) dan (3) tempat kecerdasan seseorang (intelligence quotient). Menganalisis perilaku dengan mengacu kepada hati inilah yang disebut dengan pengelolaan perilaku berbasis kepada hati.
Semua perilaku baik dan produktif berawal dari qalbu yang bersih dan suci, semua perilaku buruk dan non-produktif berawal dari qalbu yang buruk.
Qalbu Quotient adalah alat bantu indikator untuk mengetahui kondisi qalbu seseorang, sehingga dapat diprediksi arah perilakunya. Qalbu yang bersih dan suci akan menghasilkan 7 ciri perilaku unggul, yaitu (1) Percaya Diri, (2) Memiliki Rasa Malu, (3) Jujur, (4) Lemah Lembut, (5) Menjaga Diri, (6) Pemurah, dan (7) Mandiri. Tiap individu harus berusaha untuk menjaga dan membersihkan hatinya agar bisa menjadi seorang pribadi yang unggul dan mulia. Sebaliknya, qalbu yang sakit dan mati akan memunculkan perilaku non-produktif yang berlawanan 7 perilaku produktif di atas. Membersihkan dan menjaga qalbu adalah kunci dari terjadinya perubahan menuju pribadi dengan perilaku yang unggul dan bermental mulia.*
Penulis adalah Islamic Psychologist