SAAT kita melakukan perjalanan menuju suatu tempat, maka kita memerlukan petunjuk untuk sampai pada satu kota tertentu. Sebagai contoh, kita akan berkunjung ke kota A. Maka kita harus menggunakan tranportasi kereta dan melewati route atau tampat-tempat lainnya, kemudian menggunakan jasa angkutan umum agar nantinya sampai pada tempat tujuan. Pekan berikutnya, kita akan berkunjung ke kota B. Karena tujuan berbeda dengan kota A, transportasi dan route yang dilalui pun berbeda. Untuk sampai pada kota B, kita hanya perlu menggunakan mobil dan menempuhnya dengan beberapa jam saja.
Ilustrasi tersebut menggambarkan bagaimana keadaan kita saat menempuh perjalanan panjang menuju akhirat. Surga dan neraka telah disiapkan oleh Allah. Jika surga adalah tempat yang kita dambakan, maka kita harus mencari pentujuk agar sampai pada tempat terindah itu. Dari mana kita mendapat petunjuk tersebut? Tentunya dari Al-Qur’an dan sunnah. Untuk menuju surga, Allah telah menunjukkan route-rote yang harus dilalui. Akan tetapi ketika kita tidak melalui jalan yang telah ditunjukkan Allah, maka kita telah menempuh jalan yang salah, yang berujung pada neraka.
Allah berfirman dalam surah Al-Balad: 8-10: “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir? Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.”
Sayyid Quthb dalam manfsirkan ayat tersebut menuturkan bahwa Allah memberikan potensi-potensi khusus untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan, kebenaran dan kebathilan. An-Najd adalah jalan yang mendaki. Allah berkehendak memberinya kemampuan untuk menempuh jalan-jalan mana yang dikehendakinya. Dan juga potensi tersebut dapat memudahkannya untuk menjalankan fungsi dan perannya di bumi ini.
Allah menyediakan surga dan neraka sebagai balasan dari amalan manusia selama hidup di dunia. Neraka adalah tempat yang sangat menyengsarakan bagi manusia yang selalu berbuat kemungkaran dan tidak taat pada perintah Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mushlih, Allah menyediakan surga dan seluruh keindahan di dalamnya sebagai ganjaran bagi mereka.
Di dalam Al-Qur’an dan sunnah, Allah menjelaskan larangan dan perintah-Nya. Allah menjelaskan mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dikerjakan. Ayat-ayat Allah juga menjelaskan hal-hal apa saja yang akan menjerumuskan kita dan apa saja yang memberikan manfaat kepada kita.
Untuk sampai pada surga Allah, manusia memerlukan petunjuk, jalan dan sarana amalan apa saja untuk sampai pada surga. Petunjuk tersebut tidak sulit dicari ketika kita dapat menggunakan pemberian Allah dengan baik. Semua petunjuk tersebut sudah Allah sebutkan dalam Al-Qur’an dan teladan Rasulullah dalam sunnahnya. Jika kita memiliki potensi yang baik dalam mentadabburi ayat-ayat Allah, sudah tentu kita mengetahui jalan mana saja untuk menuju surga.
Rasulullah bersabda: “Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.”
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berupaya maksimal terhadap nikmat dan karunia yang diberikan oleh-Nya. Karena pemberian tersebut yang akan mengantarkan kita pada jalan kebenaran. Panca indera yang diberikan oleh Allah harus digunakan untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Karena di akhirat nanti Allah akan meminta pertanggung jawaban dari indera yang kita miliki. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-A’raf: 179
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya akan Kami isi nerakan jahannan banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. Kedatangan azab Allah kepada orang-orang yang mendustakan ayat- ayat-Nya dengan cara istidraj .” [QS: Al-A’raf: 179]
Selain itu, pemberian Allah yang juga harus dimanfaatkan untuk mencari kebenaran adalah akal. Akal yang ada pada manusia memiliki potensi besar dalam menemukan petunjuk Allah agar sampai pada surga yang dijanjikan Allah. Akal, apabila dididik dengan baik, maka ia akan mengahasilkan ilmu yang akan menghindarkan seseorang dari jalan kesesatan.
Akal merupakan karunia agung yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada bani Adam. Ia adalah pembeda antara manusia dan hewan, dengannya mereka dapat terus berinovasi dan membangun peradaban, dan dengannya mereka dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal mereka.
Secara harfiah, ‘aql berarti al-imsak ‘menahan’, al-ribath ‘ikatan’, al-nahy ‘melarang’. Orang yang berakal (al-aqil) adalah orang yang mengekang dirinya dan menolak keinginan hawa nafsunya.
Menurut Abdul Fattah Jalal, kata ‘aql dalam Al-Qur’an tidak berbentuk isim (kata benda) melainkan terdiri dari fi’il (kata kerja). Ini dapat dijadikan petunjuk penting bahwa akal bukan sekedar benda atau sel hidup, yang lebih penting dari itu adalah akal untuk bekerja dan berpikir. Sebagai kata kerja, ‘aqala dengan segala akar katanya terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 49 tempat.
Allah berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاء فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخِّرِ بَيْنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) dan Dia tebarkan di dalamnya segala jenis hewan, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi orang-orang yang mengerti.” [QS: Al-Baqarah: 164]
Demikian pentingnya kedudukan akal dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu Allah selalu memuji hamba-Nya yang berpikir dan menggunakan akal dengan baik. Begitu juga sebaliknya, Allah sangat mencela terhadap orang yang menyalah gunakan akal atau lebih memenangkan hawa nafsu dari pada akal pikirannya.
Dalam Al-Qur’an mengapa Allah tidak mengatakan Afala ta’kilun (mengapa kamu tidak makan?) atau Afala tasyrobun (mengapa kamu tidak minum). Akan tetapi, firman Allah menyebutkan La’allakun ta’qilun (agar kalian mengerti), Afalaa ta’qilun (maka tidakkah kamu mengerti?), La’allakum tatafakkarun (agar kalian berfikir), adalah salah satu pesan tersirat agar manusia menggunakan akalnya dengan baik sehingga ia memiliki ilmu untunk sampai pada kebenaran.
Orang yang berakal akan dapat mengendalikan hawa nafsu yang hanya akan menimbulkan kehancuran bagi dirinya. Oleh karena itu, sudah semestinya akal menjadi pengendali nafsu, yang selalu mengawasi kesalahan dan kelalaiannya, menahan serangannya dan menghindari tipu muslihatnya.
Dengan akal yang dianugerahi Allah, maka manusia dapat mengetahui hakikat dari segala sesuatu, dapat membedakan mana yang baik (hasanah) dan mana yang buruk (sayyi’ah), mana yang benar (shawab) dan mana yang salah (khata’), mana cahaya (an-nur) dan mana kegelapan (adz-dhulumat).
Meski demikian, tidak sedikit orang cerdas dan berilmu yang memiliki potensi akal yang baik namun mereka lebih memilih berlari dari kebenaran demi mengikuti hawa nafsunya. Kelompok ini adalah mereka yang selalu mencari pembenaran bukan kebenaran. Mereka lah yang selalu memutar balikkan dan mempermainkan firman Allah dengan mengungkapkan yang haram dalam Al-Qur’an menjadi perkara yang halal untuk dilakukan, yang halal menurut Allah menjadi perkara yang haram menurut mereka. Gejala inilah yang disebut oleh Dr Syamsuddin Arif sebagai “kanker epistemologis.”
Dalam bidang kedokteran, penyakit kanker adalah hal yang berbahaya dalam tubuh manusia. Namun kanker epistemologis tidak kalah bahaya dengan penyakit kanker sesungguhnya. Karena bahaya dari penyakit ini bisa mencemari akal pikiran. Syamsuddin Arif mengatakan bahwa kanker epistemologis telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada gilirannya menggerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran.
Pengidap dari penyakit kanker epistemologis memiliki ciri-ciri berikut:
Pertama, bersikap skeptis terhadap segala hal.
Ia senantiasa meragukan kebenaran. Mereka adalah kelompok orang yang tidak mau menerima kebenaran. Meski dijejali dengan dalil-dalil yang menunjukkan bukti kekuasaan Allah, mereka tetap berpaling dari kebenaran tersebut. Hal itu terjadi karena mereka telah menyalahgunakan akal dan karena hati mereka telah tertutup dalam menerima kebenaran.
Kedua, bersikap relativisme. Jika skeptis selalu meragukan kebenaran, kamu relativisme mengklaim bahwa tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini. Kebenaran hanyalah milik Tuhan. Mereka beranggapan bahwa apa yang benar menurut kita maka belum tentu benar menurut orang lain. Semua orang berhak menyampaikan kebenaran menurut versinya, akan tetapi ia tidak boleh menyalahkan pendapat orang lain.
Konsep relativisme juga sejalan dengan pluralisme yang menanamkan keyakinan bahwa Islam bukanlah agama yang paling benar. Kebenaran juga dimiliki agama lain selain Islam. Sehingga konsekuensinya adalah dibenarkannya pernikahan antar agama, merayakan hari raya agama lain dan sebagainya.
Dampak yang dilahirkan dari konsep ini adalah hermeneutika yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah produk sejarah manusia, sehingga penafsiran terhadapnya bersifat relatif, setiap orang berhak menafsirak Al-Qur’an, dan tidak ada yang berhak mengklaim benar di dalamnya, dan ajaran-ajaran yang dikandungnya harus dirombak agar sesuai dengan zaman.
Apabila konsep relativisme ini digunakan dalam pendidikan, maka tentu kita tidak bisa membayangkan kehancuran yang terjadi. Sebagai contoh, ketika anak murid harus menjawab ujian dengan multiple choice. Maka seorang guru tidak boleh menyalahkan jawaban yang dipilih si murid dalam ujian tersebut, meskipun jawaban tersebut berbeda dengan pilihan guru. Seorang guru harus menggangap benar apa yang menjadi pilihan murid dalam menjawab soal. Karena guru tidak berhak mengklaim kebenaran menurut dirinya. Merujuk kepada konsep relativisme, bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan.
Jika demikian, untuk apa Allah memberikan kita akal, tetapi kita tidak bisa menggunakannya dalam menentukan mana yang salah atau mana yang benar. Oleh karena itu, kewajiban kita adalah memanfaatkan apa yang telah diberikan Allah dengan tidak meninggalkan Al-Qur’an dan sunnah. Karena di akhirat kelak akan timbul penyesalan bagi orang-orang yang tidak menggunakan akalnya dengan baik.
Allah berfirman:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) nescaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Q.S. Al-Mulk : 10)
Ayat ini menerangkan tentang penyesalan para penghuni neraka yang tidak mau mendengar dan menggunakan akal ketika hidup di dunia. Kedudukan akal sangat tinggi dan karena mampu memelihara manusia dari api neraka.*/Arsyis Musyahadah, Mahasiswa Pascasarjana UIKA Bogor