Oleh: Abdullah al-Mustofa
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi walymu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Maaidah [5]: 57)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan “Janganlah kalian mengambil musuh-musuh kalian dan agama kalian – yaitu dari kalangan kaum Ahli Kitab dan kaum musyrik – sebagai waly kalian jika kalian orang-orang yang beriman kepada syariat Allah, karena mereka membuat agama kalian sebagai bahan ejekan dan permainan.”
Berdasarkan ayat di atas Ibnu Katsir dengan tegas dan gamblang menyebutkan satu faktor penyebab orang-orang beriman diharamkan menjadikan musuh-musuh agama dan umat Islam – yakni sebagian dari kaum kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan lainnya (baca: Siapakah yang Telah Kafir?) – sebagai waly (pelindung, penolong, pemimpin/penguasa, teman dekat, yang disetiai) bagi orang-orang beriman. (Baca: Al Wala’, Salah Satu Kunci Kejayaan Islam). Faktor penyebabnya adalah karena mereka menista dan mempermainkan agama Islam.
Ayat di atas dijelaskan lebih lanjut oleh ayat berikutnya yang menyebutkan salah satu obyek yang mereka nista dan permainkan. Obyeknya adalah seruan untuk mengerjakan shalat – yakni adzan – sebagaimana kisah-kisah pelecehan dan mempermainkan adzan yang dilakukan orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Nasrani dan kaum musyrik Arab di masa hidup Rasulullah Saw. (lihat Asbabunnuzul ayat ini).
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan apabila kamu menyeru untuk shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (QS. Al-Maaidah [5]: 58)
Bukan sekadar adzan yang mereka nista dan permainkan, tapi lebih dari itu yakni Allah, Rasul-Nya dan ayat-ayat Allah. (Baca: Orang Kafir Mengolok-Olok Al-Qur’an). QS. At-Taubah [9]: 65 dengan jelas menyebutkan hal ini.
Larangan menjadikan mereka sebagai waly yang disebutkan QS. Al-Maaidah [5]: 57 di atas diperkuat oleh QS. Al-Mumtahanah [60]: 1 yang juga dengan jelas menyebutkan larangan menjadikan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh umat Islam sebagai waly.
Habib Rizieq: ‘Pemimpin Kafir Jujur Lebih Baik daripada Pemimpin Muslim Korupsi Jargon Sesat
Ayat ini menyebutkan dua faktor penyebab larangan tersebut:
Pertama, karena mereka ingkar dan benci kepada kebenaran yang datang kepada dan dibawa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, yakni agama Islam. Kedua, karena mereka berbuat dzolim – bentuk kedzoliman yang disebut ayat ini adalah pengusiran – kepada Rosul dan kaum beriman hanya karena mereka beriman.
Adapun QS. Alu Imron [3]: 118 menyebutkan tiga faktor penyebab orang-orang beriman diharamkan menjadikan orang-orang munafiq (orang-orang yang pura-pura menjadi Muslim tapi sejatinya kafir) sebagai bithonah (sahabat). Haram menjadikan mereka sebagai sahabat berarti juga haram menjadikan mereka menjabat jabatan strategis seperti pemimpin.
Berikut penyebabnya: Pertama, karena mereka selalu menimpakan mudharat kepada orang-orang beriman. Kedua, karena mereka menyukai apa yang menyusahkan, mencelakakan dan memberatkan orang-orang beriman. Ketiga, karena mereka sangat marah dan benci kepada agama dan umat Islam. Rasa marah dan benci yang mereka pendam di hati mereka lebih besar dari pada yang mereka ekspresikan melalui ucapan dan tindakan.
Sepuluh ayat (yaitu ke-41 hingga ke-50) yang sangat berdekatan dengan satu ayat yang telah dinista dan dipermainkan oleh seorang pejabat kafir di negeri ini (yakni QS. Al-Maaidah: 51) menyebutkan bahwa kaum kafir dari kalangan kaum Yahudi dan Nasrani tidak berhukum kepada (memutuskan perkara berdasarkan) kitab suci mereka, tapi hawa nafsu mereka. Karena ulah mereka ini kedua kaum ini selain disebut Allah Ta’ala sebagai orang kafir juga dzolim dan fasiq.
Mereka sendiri tidak senang berhukum kepada kitab suci mereka sendiri, apatah lagi ketika mereka mendapati umat Islam berhukum kepada Al-Qur’an. QS. Al-Baqoroh [2]: 120 menyebutkan ketidaksenangan mereka kepada umat Islam ketika mereka mendapati umat Islam memegang teguh petunjuk yang hakiki dan benar yakni petunjuk Allah (agama Islam). Ayat ini menyebutkan mereka bukan sekadar tidak senang kepada umat Islam tapi lebih dari itu yakni mengajak umat Islam mengikuti agama mereka yang mereka klaim sebagai petunjuk. Ketidaksenangan dan ajakan mereka ini adalah faktor penyebab dilarangnya orang-orang beriman menjadikan mereka sebagai waly.
Konteks kekinian Indonesia dan upaya kita
Mengingat penting dan strategisnya peran pemimpin dalam memastikan – yang bisa disebutkan di sini – empat hal berikut ini:
Pertama, berlakunya syari’at Islam dalam tataran individu, keluarga dan masyarakat; Kedua, tegaknya amar ma’ruf nahy munkar;
Ketiga, hidupnya syi’ar dan simbol Islam;
Keempat, terpenuhinya hak-hak umat Islam (terutama para ulama’, da’i dan aktivis) yang telah dijamin oleh negara, termasuk di dalamnya – yang penting untuk disebutkan di sini – adalah hak menjalankan ajaran agama, menyampaikan pendapat dan mendapatkan jaminan keamanan (baca: Janji Allah dan “Generasi Al-Maidah”),
maka kita (semua elemen umat Islam Indonesia) wajib melakukan berbagai upaya secara maksimal, kontinyu dan serius agar kita dalam lingkup lokal dan nasional berhasil dipimpin oleh para pemimpin Muslim yang sholeh, beriman dan bertaqwa.
Upaya-upaya yang bisa kita lakukan di antaranya adalah mendukung (antara lain dengan dana), mencetak melalui pendidikan, memunculkan, serta memilih para pemimpin Muslim yang sholeh, beriman dan bertaqwa.
Istilah Pemimpin Kafir yang Jujur Lebih Baik adalah Propaganda Berbahaya
Kita jangan takut dan ragu memilih para pemimpin Muslim karena tindakan itu: Pertama, dalam rangka menjalankan hukum Allah (lihat QS. 5: 48 dan 49) sebagai tanda atau bukti keimanan; Kedua, sebagai upaya agar tidak lepas dari pertolongan Allah Ta’ala (lihat QS. 3: 28); Ketiga, sebagai bagian dari pengamalan Pancasila terutama Sila Pertama. Karena bagian dari pengamalan Pancasila maka hal itu tidak melanggar UUD 1945, Pancasila, serta undang-undang lainnya yang berlaku di Indonesia. Selain itu juga tidak menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dan tidak anti ke-Bhineka Tunggal Ika-an.
Semoga dengan segala usaha kita tersebut Allah Ta’ala akan memilihkan bagi kita para pemimpin yang mempuyai karakteristik yang disebutkan di dalam QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 73 dan QS. As-Sajdah [32]: 24. Para pemimpin yang berkarakteristik demikian tentu tidak mengajak kita masuk ke dalam neraka (lihat QS. 28: 41).
Selain itu para pemimpin yang berkarakteristik demikian dapat dipastikan tidak mendzolimi kita sebagaimana para pemimpin – baik kafir maupun Muslim – yang mendzolimi – dengan segala bentuk kedzoliman – para ulama’, da’i, aktivis dan saudara-saudara seiman kita lainnya – hanya dikarenakan mereka Muslim dan menjalankan ajaran agamanya – yang tinggal di Palestina, Suriah, China, Myanmar, Thailand, Prancis, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam bishshowab.*
Penulis anggota Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUM) Jawa Timur