Hidayatullah.com—Kita yang sering kita mengucapkan tanpa sengaja, seolah-olah hidup tidak jelas juntrungan.Padahal, hadirnya saya, Anda dan kita semua di suatu tempat bukanlah sebuah kebetulan.
Ini pula yang menjadi keyakinan saya setiap kali mengunjungi Masjidil Haram. Berjalan di antara tiang tiangnya yang megah, bersandar di salah satu pojok, berjalan dan berlari dari Safa dan Marwah, thawaf-mengelilingi 7 kali putaran Baitullah, hingga berebut untuk sekedar menumpahkan tangis di depan multazam dan puncaknya diberi kesempatan mencium Hajar Aswad.
Itu bukan sebuah kebetulan! Bahwa setiap detik berlalu, Allah Azzawajalla menghendaki ada di mana kita saat itu, sedang apa, bertemu siapa. Tentu hal ini jangan menjadi alasan ketika berbuat maksiat menjadi sebuah justifikasi bahwa semua terjadi atas kehendakNYA.
Tidak ada perbuatan mungkar yang diperintahkan oleh Allah. Tapi hukum dan ketentuanNYA akan berlaku saat syarat dan kondisi dipenuhi sesuai apa yang telah digariskanNYA.
Apa yang dialami Ali Al Awadhi di tahun 1941 adalah bagian dari kehendakNYA yang berlaku khusus. Dan termasuk kejadian yang sangat unik dan tidak pernah terjadi lagi sesudahnya.
Pria asal Bahrain itu menjadi terkenal setelah sebuah kamera menangkapnya melakukan tawaf (mengelilingi Ka’bah), saat banjir menyebabkan Ka’bah dikepung air.
Gambar-gambar dokumen 77 tahun yang lalu yang pernah dimuat Koran Arab menunjukkan ketinggian air lebih dari satu meter, di depan Maqam Ibrahim.
Dikabarkan, ketika itu Kota Makkah mengalami hujan deras berhari-hari dan terus menerus tiada henti. Toko-toko, kendaraan, binatang ternak, hingga manusia tersapu banjir. Di sekitar Baitullah adalah dataran yang paling rendah maka wajar jika air hujan mengalir dan Masjidil Haram kebanjiran.
Tempat Sa’i hingga setinggi dada. Baitullah sendiri terendam hingga ketinggian air mencapai 6 kaki. Semua menyingkir dan mencari tempat perlindungan. Lalu di sinilah kekhususan kisah Al Awadhi yang melegenda.
Saat itu usianya masih remaja dan masih berstatus sebagai pelajar. Al Awadhi sendiri saat itu rakyatnya dikenal sebagai nelayan. Kemampuan berenang Al Awadhi tidak diragukan. Saat Masjidil Haram banjir dan tergenang air hujan, Al Awadhi yang berhajat hendak tawaf tidak pantang mundur.
Al Awadhi memulai thawafnya bukan dengan berjalan atau berlari tapi berenang. Beberapa kawannya mencoba mengikuti tapi semuanya tidak mampu menyelesaikan thawaf seperti AL Awadhi hingga sempurna 7 putaran thawaf dengan berenang di kedalaman air 6 kaki.
Sungguh pun demikian, Al Awadhi sebenarnya takut melanjutkan thawaf karena para polisi keamanan melarangnya. Apalagi dengan ancaman senjata. Al Awadhi juga sempat dicurigai hendak mencuri batu hajar Aswad.
Qadarullah, Awadhi akhirnya satu-satunya jamaah yang thawaf sambil berenang dalam sejarah hingga hari ini. Ini menjadi sesuatu yang teramat istimewa.
Bayangkan, jika setiap hari ribuan kaki mengelilingi Baitullah maka pada hari itu hanya Al Awadhi yang diperkenankan Allah thawaf mengelilingi Baitullah, sendirian. Seolah hari itu adalah spesial baginya dan bagi umat Islam lainnya sepanjang zaman.
Pemandangan thawaf dengan berenang adalah bentuk ibadah yang sangat langka. Dalam sejarah, Makah telah banyak mengalami banjir besar, tetapi menurut sejarawan, tidak pernah ada kasus seseorang jamaah mau-maunya berenang, kecuali kasus Al Awadhi.
“Saya adalah seorang pelajar di Makkah pada saat ketika kota suci itu menyaksikan hujan lebat selama hampir satu minggu tanpa henti sepanjang siang dan malam, mengakibatkan banjir bandang menyapu semua bagian kota suci. Saya melihat beberapa orang, kendaraan dan hewan hanyut oleh banjir bandang dan beberapa rumah dan toko tergenang, ” ujar Al Awadhi mengatakan kepada televisi Al-Rai Kuwait pada 2013.
“Saya memiliki perasaan sukacita dan ketakutan yang bercampur saat mengelilingi Ka’bah. “Saya mengalami sukacita memiliki kesempatan besar untuk melakukan ibadah dengan cara yang unik di sisi lain perasaan ketakutan bahwa polisi mungkin menembak saya dari senapannya karena tidak menaati dia, tetapi kemudian saya menemukan bahwa tidak ada peluru di pistolnya,” ujarnya dikutip Tribune.PK.
Al-Quran mengatakan;
ى يُدَبِّرُ الأَمْرَ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لَعَلَّكُم بِلِقَاء رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ
“..Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” [QS: Ar Rad: 2]
Dalam surat lain Allah Subhanahu Wata’ala juga mengatakan;
أَتَى أَمْرُ اللّهِ فَلاَ تَسْتَعْجِلُوهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu minta agar disegerakan datangnya.” [QS: An Nahl:1]
Apa yang menjadi buah tafakur soal cerita ini adalah bukan siapa Al Awadhi , darimana asalnya, umur berapa, gaya apa berenangnya. Bukan itu. Toh ia sudah meninggal pada tahun 2015 lalu.
Fokus dari kejadian ini adalah, semakin kuat menghadapi ujian, istiqamah pada ketaatan, lurusnya niat serta berani mengambil resiko tentu akan membuahkan hasil bahwa kita adalah hamba Nya yang terpilih. Seperti Al Awadhi. Sebab hidup bukanlah sebuah kebetulan.*/Bang Jay (MakkahBackpaker)