SANG pemecah belah persatuan. Sang peleceh agama. Orang gila. Tukang sihir.
Itulah sederet stigma buruk, yang dilekatkan oleh musuh-musuh Islam kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dulu. Awal-awal mendakwahkan Islam di jazirah Arab. Makkah.
Dengan kekuasaan yang dimiliki kafir Quraisy, mereka mencoba menyebarkan isu-isu negatif, terkait dakwah Nabi.
Medianya adalah lisan. Ungkapan-ungkapan berunsur sarkartis terus digaungkan.
Tapi nyatanya, takdir Allah berkata lain. Mereka berkeinginan memadamkan cahaya Allah.
Allah justru berkehendak untuk menyempurnakan cahaya-Nya. Jadilah Islam menguasai jazirah Arab itu. Dengan damai.
Peristiwa ini digambarkan Allah melalui firman-Nya.
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8)
Dan ternyata, setelah berkuasa, apa yang menjadi tuduhan terhadap Islam tidaklah benar.
Islam justru menghormati agama lain. Melarang mencaci-maki para sesembahan orang-orang itu.
Tidak ada penindasan. Tidak ada larangan untuk beribadah. Semua bebas melakukan ritual peribadatan.
Tapi tetap, tidak mengubah prinsip Islam; bahwa Islam agama haq. Dan yang lain batil.
Tidak ada kompromi akidah. ‘Agamamu agamamu. Agamaku agamaku.’ Toh semua berjalan dengan baik. Penuh harmoni. Sampai akhirnya, musuh-musuh Allah itu pulalah yang membuat pengkhianatan.
Sejarah terus bergulir. Itu kata para sejarawan. Hanya waktu dan pelakunya saja yang berbeda.
Kini, harus diakui kaum Muslimin tengah berada pada posisi di bawah. Seperti awal mula kemunculannya.
Bukan Islamnya yang salah. Tapi pemeluknya sendiri. Ada persoalan mendasar dalam beragama.
Seperti kata Syeikh Muhammad Abduh: “Al Islamu mahjubun bil muslimin” (kemuliaan Islam ditutupi oleh perilaku oknum orang Islam itu sendiri).
Buah dari ini, pun sama persis dengan awal Islam datang dahulu. Mendapat bully-an. Disudut-sudutkan. Dikambing-kambinghitamkan. Disalah-salahkan.
Maka muncullah gerakan-gerakan, yang sepintas terasa bijak. Sebab diksi yang dipakai “menjaga persatuan”.
Tapi bila ditilik lebih dalam, intinya sama dengan para musuh Islam terdahulu; hendak memadamkan cahaya Islam.
Bagaimana tidak. Orang Islam hendak didikte untuk tidak berbicara tentang kitab sucinya. Hatta di tempat ibadahnya sendiri. Depan umatnya sendiri.
Ajaran Islam hendak dilokalisir. Dilarang bicara tentang ekonomi. Tidak boleh berbicara tentang kepemimpinan.
Persis seperti kata M. Natsir, Pahlawan Nasional;
“Islam beribadah, akan dibiarkan, Islam berekonomi, akan diawasi, Islam berpolitik, akan dicabut seakar-akarnya”.
Perkembangan kekinian ternyata lebih parah. Tidak lagi soal ekonomi atau kepemimpinan yang hendak di-delete dari dakwah Islam. Ibadah dan aqidah pun nampaknya hendak diberangus.
Generasi Muslim ingin dijauhkan dari kegiatan-kegiatan keagamaan.
Lihatlah, berapa banyak isu dikembangkan, bahwa “masjid-masjid sarang radikalisme dan terorisme”. Bahkan, al-Qur’an pun dijadikan barang bukti tindakan brutal itu.
Paling mutakhir. Perkara aqidah pun hendak dipersoalkan. Seakan tidak boleh lagi kaum Muslimin; menyatakan Islam adalah agama haq. Yang lain batil.
Di hadapan kaum Muslimin. Bahkan di tempat ibadah kaum Muslimin sendiri. Masjid.
Sungguh sangat aneh. Hal seperti ini hendak diperkarakan. Orang beriman tidak boleh menyebarkan keimanannya pada kaumnya. Bukan untuk umum. Apalagi mereka yang beda agama.
Di sisi lain. Mereka bebas mengajarkan kitab mereka. Di tempat ibadah mereka. Tanpa ada gangguan dari kaum Muslimin.
Jangan Dibalas
Sungguh situasi macam ini, sejatinya telah digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan telah diberi pula petunjuk, agar tidak tergelincir;
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi).
Menghadapi situasi ini. Jangan galau. Jangan pindah haluan. Tetaplah berpegang teguh kepada ajaran Islam yang murni.
Belajarlah terus kepada para ulama yang teguh terhadap agama ini. Karena menghadapi situasi seperti ini, bekal ilmu yang lurus sangat penting. Sehingga mantaplah keyakinan. Karena dilandasi oleh ilmu.
Ikuti petuah ulama lurus itu. Sebagaimana para Sahabat, bersandar kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallamk etika menghadapi zaman ‘pengasingan’. Karena hakekat para ulama adalah para pewaris Nabi.
“Ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR At-Tirmidzi.*
Khairul Hibri | Guru ngaji di Panceng, Gresik