Hidayatullah.com | TAHUN 2017 Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang “Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial”. Sementara pemerintah sudah lebih dulu meluncurkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang “Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)” serta perubahannya, yaitu UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE.
Namun, keberadaan aturan-aturan di atas tak cukup untuk membendung luapan komentar-komentar serta penyebaran ulang mengenai berita-berita tersebut. Pendidikan agama, khususnya tentang akhlak, sangatlah penting guna membina pemahaman serta perilaku masyarakat dan mengatasi persoalan ini.
Masih banyak yang belum mengetahui bahwa meskipun berita yang dipergunjingkan itu adalah fakta dan benar, tetapi dalam pandangan Islam, hal yang disebut sebagai ghibah dan tergolong ke dalam penyakit hati itu ialah ibarat memakan daging mayat saudara sendiri (Lihat Surat al-Hujurat 49: 12). Ibnu Abbas Ra. berkata bahwa memakan bangkai busuk itu haram dan menjijikan, demikian juga ghibah, sama-sama haram, menjijikan dan buruk bagi diri seseorang (Dikutip oleh Imam al-Qurthubi pada tafsirnya tentang Surat al-Hujurat 12 dalam al-Jami li Ahkam al-Qur’an, jilid 19, [Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2006], hal. 403).
وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ
“…dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik.” (Surat al-Hujurat 49: 12).
Ulama sepakat bahwa ghibah termasuk ke dalam dosa besar (Lihat: Imam al-Qurthubi, ibid., hal. 405), maka watak dan kelakuan tersebut perlu dijauhi. Bahkan, mendengarkannya pun diharamkan dan si pendengar wajib meninggalkan percakapan itu serta mengingkarinya walaupun hanya mampu dalam hati (Lihat: Imam an-Nawawi, al-Adzkar, [Beirut & Damaskus: Maktabah Dar al-Bayan, 2007], hal. 391 dan 394).
Namun, dalam kondisi tertentu, ada beberapa jenis ghibah yg diperbolehkan. Misalnya, (1) Mengadukan kezhaliman seseorang kepada pihak yang berwenang; (2) Mencari bantuan atau pertolongan kepada yang memiliki autoritas untuk menghilangkan kemungkaran; (3) Saat meminta fatwa dan menceritakan masalahnya agar mendapat solusi; (4) Memperingatkan kaum Muslim agar terhindar dari keburukan seseorang dan menasihati mereka, contohnya melaporkan pejabat yang tidak amanah; (5) Menyebutkan orang yang melakukan dosanya secara terang-terangan seperti minum khamr, merampas harta orang, dan lainnya; (6) Menyebutkan ciri atau julukan seseorang agar mudah dikenali, misalnya “si fulan yang buta matanya” dan semacamnya (Lihat: Imam an-Nawawi, ibid., hal. 392-393).
Mentang-mentang dibolehkan, bukan berarti dibenarkan untuk mengolok-olok, mencela, menghujat, menertawakan, nyinyir, menjuluki dengan gelaran-gelaran yang konyol dan melontarkan makian kasar terhadap orang yang berbuat salah dan mempunyai aib tersebut. Allah Swt. berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Surat al-Hujurat 49:11).
Ghibah dilarang justru karena kehormatan saudara seiman itu wajib dijaga saat mereka sedang tak bersama dengan kita (Lihat: Imam Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 28, [Beirut: Dar al-Fikr, 1981], hal. 134). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap Muslim atas Muslim lainnya haram (terjaga) harta, kehormatan dan darahnya. Merupakan suatu keburukan bila seseorang menghina saudaranya yang Muslim.” (HR. Abu Dawud).
Karena itu, dalam menyampaikan kabar dari jenis-jenis ghibah yang diperbolehkan itu, niat, maksud, tujuan serta caranya mesti baik, jangan dijadikan ajang untuk mengumbar hawa nafsu dan amarah yang tidak pada tempatnya. Tidak perlu membubuhi caption, komentar maupun istilah-istilah peyoratif, menghina, menertawakan dan semacamnya. Allah Swt. memperingatkan:
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ.
“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (Surat al-Humazah 104: 1).
Bila niat dakwah, maka ada aturannya; Allah Swt. dalam Surat an-Nahl ayat 125 memerintahkan untuk amar makruf nahi mungkar secara hikmah (bijak), menasihati dalam kebaikan dengan menggunakan adab yang benar dan membantah secara ilmiah serta sehat. Yang lebih penting daripada itu, kita harus mengukur diri. Ulama menyatakan bahwa tugas dakwah khusus bagi orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuan saja, baik dalam perkara yang diperbincangkannya, adab dan akhlak, maupun dalam ilmu dakwah itu sendiri.
Sedangkan orang-orang yang jahil tentang ilmu-ilmu tersebut dan tak memiliki autoritas tidaklah terkena perintah dakwah karena mereka cenderung dekat dengan kebathilan dan malah menyeru kepada kemungkaran serta mencegah kebaikan. Jadi, bila hendak berdakwah, syaratnya harus dengan ilmu ataupun kemampuan (Lihat Imam Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 8, hal. 182.; Syaikh Wahbah az-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, jilid 2, [Damaskus: Dar al-Fikr, 2009], hal. 353-354, 355 dan 357). Kalau tidak, maka akan menimbulkan kerusakan.
Tanpa kapasitas dan hanya bermodalkan dalih menegakkan kebenaran serta mencegah keburukan, maka kualitas dirinya itu tercermin pada perilakunya yang hanya bisa meledek serta melecehkan orang yang melakukan kesalahan dan kezhaliman. Tanpa disadari, sikap yang demikian adalah merupakan sebuah kesombongan juga ketertipuan karena ia merendahkan saudaranya dan merasa aman dari dosa yang dilakukan oleh orang yang ditertawakannya itu.
Imam al-Ghazali rahimahullah berkata bahwa orang yang memiliki maksud yang benar, tetapi cara atau prosedur yang ditempuhnya keliru, maka ia termasuk dungu/pandir. Sebaliknya, langkah dan kaidah sudah benar, namun tujuannya salah adalah merupakan kegilaan atau kesesatan (Lihat: Ihya’ Ulum al-Din, jilid 5, [Jeddah: Dar al-Minhaj, 2011], hal. 195). Keduanya bukanlah merupakan adab dan akhlak yang mulia alias biadab dan zhalim. Sekalipun kita membenci seseorang, Allah Swt. telah memerintahkan untuk tetap berbuat adil:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Surat al-Maidah 5: 8).
Sebelum mencemooh dan menertawakan orang yang berbuat salah, hendaknya kita berkaca pada diri sendiri yang juga sebenarnya dipenuhi oleh aib dan kesilapan. Tiada pula jaminan di masa mendatang bahwa kita bakal lolos tak terjerumus kepada dosa yang sama dari orang yang kita caci dan ghibahi itu. Bagaimana kalau kita ditempatkan pada posisi orang tersebut, pastikah selamat?*/Muhamad Ridwan, alumnus PAAP UNPAD, Ma’had al-Imarat dan STAIPI Bandung