Oleh: Zahirul Haq
Hidayatullah.com | MEMBUNUH tercatat dalam sejarah sama tuanya dengan peradaban manusia. Ingat kisah Qabil yang membunuh saudaranya, Habil karena terbakar rasa dengki.
Di bawah sedikit adalah upaya melenyapkan ‘jejak’ orang seperti dialami oleh Nabi Yusuf, saat masih kecil dibuang ke sumur, lalu oleh komplotan saudaranya di hadapan sang ayah dibawakan barang bukti palsu berupa baju Yusuf yang tercabik dan berlumuran darah. Zakaria, Yahya dan Isa tak luput dari upaya pembunuhan karena tuduhan makar oleh pihak penguasa. Muhammad putera Abdullah pun hendak dibunuh di malam hijrah. Itulah sejarah profetik kerasulan. Pengusung kebenaran harus siap diancam bunuh.
Pembunuhan demi pembunuhan terjadi di muka bumi. Saling membunuh dilakukan untuk merebut wilayah kekuasaan. Perang antar suku terkadang berkobar karena persoalan sepele atau kehormatan diri yang dihina.
Pada masa jahiliyah, sebelum Islam kembali ditegakkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, dengan mudahnya darah ditumpahkan yang kemudian berbalas dengan pembunuhan serupa.
Jauh sebelumnya, peradaban Romawi kuno mengenal adu tarung para gladiator di sebuah kolosium. Mereka saling membunuh untuk menunjukan siapa yang berhak menyandang pria terkuat. Inilah hiburan berdarah tontonan para pembesar. Mereka pun terhibur saat manusia dipaksa untuk melawan dan menaklukan binatang buas. Tertawa lebar melihat mayat bergelimpangan dan amis darah. Edan.
Pembunuhan makin marak seiring semangat imperialisme untuk memperluas wilayah jajahan dan kerakusan untuk mengeruk kekayaan alam. Prancis dan Belanda juaranya.
Ketika perang dunia telah berakhir pun, ambisi politik dan ideologi pun tak memadamkan aksi penindasan hingga tega membantai manusia lain. Dari rejim Hitler hingga Pol Pot dan tragedi Bosnia. Karena, iblis beserta pasukannya akan selalu membisiki manusia untuk berbuat jahat terhadap manusia lainnya.
Namun, fitrah manusia sesungguhnya ingin hidup damai. Nyawa manusia begitu sangat berharga. Tak boleh setitik darah pun menetes tanpa alasan yang haq. Karena, membunuh seorang manusia sama saja telah membunuh seluruh manusia. Membunuh itu telah merampas hak hidup dan menodai nilai-nilai kemanusiaan. Begitulah ketetapan dalam Al Quran (Al Maidah ayat 32).
Konon, di negara demokrasi cita-cita untuk melindungi jiwa manusia itu akan terwujud. Karena, negara menjamin hak hidup warganya. Aspirasi warga pun terakomodir dengan baik dalam sistem politik. Semuanya diatur dalam konstitusi yang menjadi kesepakatan bersama. Negara demokrasi adalah negara hukum yang menerapkan keadilan dan kesetaraan bagi warganya.
Pemimpin dipilih oleh rakyat dalam pemilu berdasarkan suara mayoritas. Yang kalah pun tetap dibiarkan untuk memainkan perannya sebagai kelompok oposisi yang kritis, yang dilindungi konstitusi. Perbedaan aspirasi politik adalah biasa dalam negara demokrasi. Semuanya berhak hidup dalam semangat toleransi.
Namun, sayangnya demokrasi sudah dibajak dimulai dari kotak suara. Karena, banyak pemimpin yang tidak siap bergandengan tangan dengan lawan politiknya. Mereka tidak taat dengan aturan main yang demokratis, memilih jalan kekerasan untuk membungkam resistensi. Bahkan, berusaha membatasi kebebasan sipil, termasuk media.
Semua kejahatan untuk melemahkan demokrasi kemudian dilegalisasi dengan berbagai peraturan. Maka, demokrasi pun sesungguhnya secara perlahan tengah menemui ajalnya.
Aparat keamanan bukan lagi alat negara untuk melayani rakyat mendapatkan keamanannya. Tapi, mereka menjadi alat penguasa untuk mengamankan kekuasaannya dan membatasi gerak kebebasan sipil.
Suara yang kritis sengaja dibungkam dengan alasan ketaatan terhadap hukum. Katanya, jika kebebasan dibiarkan, kepentingan bangsa dan negara akan terganggu. Akhirnya rakyat dikorbankan.
Pembunuhan extra yudisial di era demokrasi ini rasanya saya tak percaya kita hidup di era demokratis. Rasanya kita sudah kembali ke jaman batu. Jika yang bersenjata, polisi atau tentara, berpolitik maka negara melangkah ke arah otoritarianisme.
Abad 21, era keterbukaan informasi publik, bangga disebut negara demokrasi muslim terbesar dunia, pilkada serentak nekad diadakan di tengah pandemi Covid19, seolah iya negara demokrasi, tapi praktek hukum diwarnai tindakan penghilangan nyawa tanpa hak, apa masih pantas negara ini disebut negara demokrasi konstitusional yang melindungi setiap warga negaranya?
Semoga kita dapat menghayati hadis Nabi Muhammad ﷺ ini:
عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: “من أعان على قتل مؤمن بشطر كلمة لقي الله عز وجل مكتوباً بين عينيه آيس من رحمة الله.” وهذا الحديث رواه ابن ماجه والبيهقي في سننه وأبو يعلى في مسنده،
Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda, “Barang siapa membantu orang lain membunuh seorang mukmin meski dengan setengah kalimat maka ia menghadap Allah tertulis di antara kedua matanya: putus asa dari rahmat Allah” (HR. Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan Abu Ya’la)
عن حذيفة بن اليمان قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “أهل الجور وأعوانهم في النار” (أخرجه الحاكم في المستدرك وقال هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه)
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman RA ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang-orang zalim dan para pendukungnya di dalam Neraka” (HR: Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak). Wallahu a’lam.*
Penulis peminat masalah sosial dan agama