Hidayatullah.com–Komite Urusan Publik ‘Israel’ Amerika (AIPAC), lobi Yahudi paling berpengaruh di Amerika, mengumumkan bahwa mereka tidak menentang kesepakatan penjualan senjata senilai 23 miliar AS Dolar Presiden Trump dengan Uni Emirat Arab, yang oleh pemimpin AS itu sebut sebagai mitra penting dalam melawan teroris. Pemerintahan Trump menyetujui kesepakatan itu, yang termasuk pembelian jet tempu F-35 dan drone bersenjata, pada awal bulan lalu menyusul perjanjian normalisasi UEA antara Emirates dan ‘Israel’.
Dilansir Middle East Monitor (MEE) pada Kamis (10/12/2020), juru bicara AIPAC Marshall Wittman mengatakan kepada Jewish Telegraphic Agency (JTA), “Kami tidak menentang penjualan senjata yang diusulkan ke UEA, mengingat kesepakatan damai yang dicapai antara ‘Israel’ dan UEA serta kesepakatan yang dicapai antara AS dan ‘Israel’ untuk memastikan bahwa Qualitative Military Edge (QME) ‘Israel’ tidak akan terpengaruh oleh penjualan tersebut.”
Jawaban Marshall untuk JTA datang setelah salah satu kelompok paling pro-’Israel’ di AS, Institut Yahudi untuk Keamanan Nasional Amerika, juga mendukung penjualan tersebut. Kesepakatan senjata dengan UEA mencakup produk-produk dari General Atomics, Lockheed Martin Corp dan Raytheon Technologies Corp; lebih dari 14.000 bom dan amunisi; dan penjualan drone AS terbesar kedua ke satu negara.
Namun, para kritikus mengatakan bahwa pemerintah, yang terburu-buru untuk mendorong kesepakatan karena menjadi perantara perjanjian normalisasi, memberikan terlalu sedikit informasi, tidak terkecuali tentang efek pada keseimbangan kekuatan di Timur Tengah. Mereka juga menanyakan pengamanan apa yang ada untuk memastikan bahwa senjata tidak jatuh ke tangan yang salah.
Banyak anggota parlemen AS khawatir tentang apakah UEA akan menggunakan senjata tersebut dalam serangan terhadap warga sipil di Yaman. Perang saudara di sana, yang melibatkan UEA, dianggap sebagai salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia.
Ketika kesepakatan itu diumumkan, Amnesty International memperingatkan bahwa senjata itu akan digunakan untuk “serangan yang melanggar hukum kemanusiaan internasional dan membunuh, serta melukai, ribuan warga sipil Yaman.”*