Hidayatullah.com | KITA sering mengenal istilah kalimah tayyibah. Apakah itu kalimah tayyibah atau kalimat yang baik?
Kalimat yang baik – yang merupakan bagian dari ayat-ayat Al-Qur’an – ini ketika dibaca menambah iman orang-orang beriman. (Lihat QS. 8: 2).
Kalimat yang baik – yang mengandung nama Allah – ini ketika disebut membuat hati mereka gemetar. (Lihat QS. 8: 2). Kalimat yang baik – yang merupakan bacaan dzikir untuk mengingat Allah – ini menjadikan hati mereka tenang dan tenteram. (Lihat QS. 13: 28, 39: 23).
Sebaliknya, kalimat yang baik – yang mengandung nama Allah – ini ketika disebut dalam bentuk ucapan dan tulisan membuat kesal hati orang-orang yang tidak beriman. (Lihat QS: 39: 45).
Allah Ta’ala berfirman:
ﺃَﻟَﻢْ ﺗَﺮَ ﻛَﻴْﻒَ ﺿَﺮَﺏَ ٱﻟﻠَّﻪُ ﻣَﺜَﻼً ﻛَﻠِﻤَﺔً ﻃَﻴِّﺒَﺔً ﻛَﺸَﺠَﺮَﺓٍ ﻃَﻴِّﺒَﺔٍ ﺃَﺻْﻠُﻬَﺎ ﺛَﺎﺑِﺖٌ ﻭَﻓَﺮْﻋُﻬَﺎ ﻓِﻰ ٱﻟﺴَّﻤَﺎٓءِ
ﺗُﺆْﺗِﻰٓ ﺃُﻛُﻠَﻬَﺎ ﻛُﻞَّ ﺣِﻴﻦٍۭ ﺑِﺈِﺫْﻥِ ﺭَﺑِّﻬَﺎ ۗ ﻭَﻳَﻀْﺮِﺏُ ٱﻟﻠَّﻪُ ٱﻷْﻣْﺜَﺎﻝَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻟَﻌَﻠَّﻬُﻢْ ﻳَﺘَﺬَﻛَّﺮُﻭﻥَ
Artinya:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,” “pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim [14]: 24-25)
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
Artinya:
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim [14]: 27)
Yang dimaksud kalimah thoyyibah (kalimat yang baik) yang tertera dalam ayat di atas adalah dua kalimat syahadat. Kalimat yang baik ini mengandung lafdzu al-jalalah (lafadz keagungan) dan nama manusia yang paling agung. (Tafsir As-Sa’dy). Dengan demikian kalimat ini adalah kalimat yang agung dan salah satu syi’ar Islam.
Kalimat yang baik ini diperumpamakan oleh Allah Ta’ala bagaikan pohon yang baik, dalam hal ini adalah pohon kurma (HR. Bukhori), yang mana akarnya tertanam kokoh, cabangnya menjulang tinggi ke langit, dan berbuah di setiap musim.
Pohon iman akarnya tertanam kokoh di kalbu orang beriman baik berupa ilmu maupun keyakinan. Cabangnya berupa ucapan, amal, akhlaq dan adab yang baik. (Tafsir As-Sa’dy, Tafsir Ibnu Katsir).
Faedah Kalimah Thoyyibah
Berkat kalimat yang baik ini cabang pohon iman “menjulang tinggi ke langit”, yakni terus-menerus dinaikkan ke langit di setiap waktu. (Tafsir As-Sa’dy, Tafsir Ibnu Katsir). Pohon iman menghasilan buah berupa berkah dan pahala yang Allah Ta’ala berikan setiap waktu. (Tafsir Jalalayn).
Salah satu berkah ini adalah kehidupan yang baik (hayah thoyyibah) di dunia berupa rezeki yang cukup, halal dan baik. Juga berupa kemudahan dalam beribadah, sifat syukur dan qona’ah. (Lihat QS. 16: 97). Dengan demikian orang-orang beriman – sejak mukallaf atau sejak memeluk agama Islam bagi muallaf hingga menutup hidup dengan kalimat yang baik ini – mereka melakukan perbuatan baik (amal sholih). (Lihat antara lain QS. 2: 25, 82, 277).
Mereka pun menjadi orang baik (sholih). (Lihat QS. 3: 114, 29: 9). Selain itu mereka menjadi agen perubahan ke arah kebaikan (muslih) bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. (Lihat QS. 2: 220, 182, 4: 114, 128, 7: 170, 11: 117, 49: 9-10).
Karena selama hidupnya memegang erat dan mengaplikasikan kalimat yang baik ini maka Allah Ta’ala meneguhkan kehidupan orang-orang beriman di dunia ketika menghadapi ujian syubhat dengan mendapatkan hidayah menuju keyakinan. Juga ketika menghadapi ujian syahwat mereka mampu mendahulukan apa-apa yang dicintai Allah Ta’ala dari pada hawa nafsu mereka. (Tafsir As-Sa’dy QS. 14: 27).
Adapun di akhir kehidupan mereka amal dan iman mereka dalam keadaan baik, sebelum meninggal mereka mengucapkan ucapan yang baik yakni kalimat yang baik ini, serta meninggal dengan cara dan proses yang baik, atau dengan kata lain meraih predikat husnul khatimah. (Tafsir As-Sa’dy QS. 14: 27).
Selain itu ketika didudukkan oleh malaikat di liang lahat Allah Ta’ala memberi mereka keteguhan sehingga bisa menjawab dengan baik dan benar pertanyaan yang diajukan dua malaikat tentang Rabb, agama dan nabi mereka, lalu selanjutnya selamat dari azab kubur. (Tafsir As-Sa’dy QS. 14: 27). Selanjutnya di akhirat mereka masuk ke dalam tempat kembali yang baik (husnul maab), yakni surga. (Lihat QS. 13: 29, 38: 49).
Ghirah Islamiyah vs Ghirah Syaithoniyah
Mengingat keagungan dan faedah kalimah thoyyibah ini maka orang-orang beriman yang mempunyai ghirah Islamiyah memuliakan syi’ar Islam ini. (Lihat QS. 22: 32). Sebaliknya, orang-orang kafir dan munafiq yang memiliki ghirah syaithoniyah mendiskreditkannya. (Lihat QS. 39: 67).
Upaya-upaya pendiskreditan ini bisa jadi termasuk “jihad” mereka di jalan thagut. (Lihat QS: 4: 76). Dalam menyikapi upaya-upaya tersebut orang-orang beriman yang mempunyai ghirah Islamiyah memberikan reaksi yang baik dan positif yang didasari oleh niat lillAllahi Ta’ala. Reaksi yang mereka berikan ini merupakan jihad di jalan Allah. (Lihat QS. 4: 76, 47: 7, 49: 15). Sebaliknya, dalam menyikapi jihad di jalan Allah ini orang-orang munafiq yang memiliki ghirah syaithoniyah memberikan reaksi negatif. (Lihat QS. 3: 167-168).
Urgensi Tarbiyah Aqidah
Melihat pentingnya aqidah dalam kehidupan maka penting untuk selalu mentarbiyah diri, keluarga dan masyarakat Muslim agar mau dan mampu beristiqomah dalam berIslam dan beriman hingga akhir hayat. Pentingnya tarbiyah aqidah demi meraih istiqomah ini sesuai dengan perintah Allah Ta’ala dalam surat Ar-Ruum ayat 30 dan 43.
Tarbiyah aqidah ini juga mesti dilakukan dalam bentuk menanamkan aqidah ke dalam jiwa-jiwa manusia, dan menjaga aqidah mereka supaya terpelihara dengan baik.
Dengan tarbiyah aqidah ini terwujudlah generasi gemilang yaitu generasi yang sholih, ber-akhlaqul hasanah, muslih, senang melakukan amal sholih, merasakan hayah thoyyibah, pembela kemuliaan kalimah thoyyibah, khusnul khotimah di akhir hidupnya, dan kelak masuk ke dalam husnul maab. Wallahu a’lam.*/ Abdullah al-Mustofa, Pelayan di Pusat Kajian Strategis Pendidikan Islam Indonesia (PKSPII) Kota Pendidikan Pare Kediri Jawa Timur