Hidayatullah.com | TATKALA kita menasehati seorang mukmin yang khilaf karena telah berbuat zalim kepada sesama manusia, seumpama berlaku curang, menyakiti perasaan orang lain, atau menyakiti fisik orang lain, maka tak terlalu sulit bagi kita untuk menyadarkannya.
Kita cukup mengingatkannya secara ma’ruf dengan petikan ayat-ayat al-Qur’an atau hadits Rasulullah ﷺ maka insya Allah dia akan segera tersadar dan berucap istighfar. Barangkali, kekhilafan tersebut disebabkan karena kondisi yang memaksa ia berbuat demikian. Boleh jadi ia sedang sangat membutuhkan biaya, atau ia punya beban hidup yang menyebabkan ia tertekan.
Namun, ketika kita menasehati seorang yang berlaku zalim kepada Sang Pencipta, akan sangat sulit bagi kita untuk menasehatinya. Kalau bukan karena Allah Ta’ala memberikan hidayah kepadanya, rasanya tak akan mampu kita menyadarkan bahwa ia telah berlaku zalim kepada Sang Pencipta. Terlebih bila itu ia lakukan dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan.
Misalnya, seseorang yang menyekutukan Allah Ta’ala dengan mahluk-Nya, atau menganggap bahwa ada Tuhan lain yang patut disembah selain Allah Ta’ala, atau menganggap bahwa Allah Ta’ala memiliki anak, maka orang seperti itu akan bersikukuh dengan pendapatnya jika disadarkan. Pendapat kita akan ditentangnya, bahkan boleh jadi ia akan meneror kita agar tak lagi mempengaruhinya.
Penentangan seperti itu telah dialami para Nabi dan Rasul pada zaman dahulu kala. Nabi Musa Alaihissalam (AS), misalnya. Ia pernah ditanya oleh Fir’aun sebagaimana diungkap dalam al-Qur’an surat Asy-Syu’ara [26] ayat 23 hingga 28.
“Siapakah Tuhan seluruh alam itu?” tanya Fir’aun.
“Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu), jika kamu memercayainya,” jawab Musa AS
Lantas Fir’aun berkata kepada orang-orang di sekelilingnya untuk memperolok-olok Musa AS. “Apakah kalian tidak mendengar (apa yang dikatakannya)?”
Namun Nabi Musa AS tetap melanjutkan dakwahnya, “(Dia) Tuhanmu dan juga Tuhan nenek moyangmu terdahulu.”
Fir’aun mulai murka dan berkata, “Sungguh, Rasul kalian yang diutus kepada kalian (ini) benar-benar orang gila.”
Nabi Musa AS tak peduli dengan caci maki Fir’aun. Ia tetap melanjutkan dakwahnya, “(Dialah) Tuhan (yang menguasai) timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu mengerti.”
Lagi-lagi Fir’aun tetap bersikukuh dengan pendapatnya meskipun telah berulang kali dijelaskan oleh Nabi Musa AS. Bahkan, Fir’aun tetap berlaku zalim kepada Sang Penciptaanya meskipun Nabi Musa AS telah memperlihatkan mukzizat atas izin Allah Ta’ala.
Demikian pula dengan Nabi Ibrahim AS. Beliau tak mampu mengingatkan ayahnya sendiri, Azhar, yang berlaku zalim kepada Sang Penciptanya. Padahal, Ibrahim AS telah berkata dengan lemah lembut kepada ayahnya, sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an surat Maryam [19] ayat 42 sampai 45.
“Wahai ayahku!” kata Ibrahim AS. “Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?”
“Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu. Maka, ikutilah aku, niscata aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”
“Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.”
“Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari TuhanYang Maha Pengasih, sehingga engkau akan menjadi teman bagi setan.”
Betapa santun nasehat Nabi Ibrahim AS ini. Namun Azhar, sang ayah, dengan congkak menolak ajakan anaknya. “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam. Maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama,” kata Azhar sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an surat Maryam [19] ayat 46.
Demikianlah kehendak Allah Ta’ala. Hanya Dia yang kuasa membolak-balikkan hati manusia. Meskipun perbuatan zalim kepada Allah Ta’ala sulit disadarkan, namun para penyeru kebenaran tetap harus mendakwahi mereka sebagaimana para Nabi dan Rasul dahulu. Apa pun hasilnya, serahkan pada Allah Ta’ala. Wallahu a’lam.* Mahladi Murni