Hidayatullah.com | AIR bah baru saja surut. Kapal yang membawa Nabi Nuh Alaihissalam (AS) dan sedikit kaumnya baru saja berlabuh. Namun rasa pilu menyaksikan buah hatinya tenggelam bersama gelombang belum pupus. Sang anak tak mau mengikuti seruan ayahnya agar segera naik ke dalam perahu.
Nuh AS lalu berdoa kepada Allah Ta’ala, menagih apa yang dikiranya sebuah janji dari Tuhannya, bahwa Tuhannya akan menyelamatkan keluarganya. “Ya Tuhanku,” pinta Nuh AS. “Sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil,” (Hud [11]: 45).
Namun Allah Ta’ala menolak doa Nuh AS. Allah Ta’ala mengingatkan bahwa kekafiran telah memutus hubungan keluarga. Ikatan kasih sayang barangkali masih ada. Namun, ikatan yang lebih hakiki telah hilang karena mereka berbeda jalan, berbeda pula tujuan.
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik. Sebab itu janganlah engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakekatnya). Aku menasehatimu agar engkau tidak termasuk orangyang bodoh,” (Hud [11]:46).
Inilah pelajaran penting buat kita. Perbedaan jalan bisa terjadi pada siapa saja bila Allah Ta’ala menghendaki.
Nuh AS adalah seorang Nabi. Ia tentu amat paham soal bagaimana seharusnya berdakwah. Ia juga memiliki kesabaran yang luar biasa. Allah Ta’ala telah mengujinya selama 950 tahun. Selama itu pula ia tak pernah berhenti berdakwah meskipun tak banyak dari kaumnya yang mengikuti jalannya.
Logikanya, dengan kesabaran dan pengetahuan yang luas seperti itu, serta panduan wahyu dari Allah Ta’ala, Nuh AS akan mampu melunakkan hati putranya sendiri. Tapi nyatanya Allah Ta’ala berkehendak lain. Nuh AS tak bisa mengajak Kan’an mengikut jalan yang tiap hari ia dakwahkan kepada kaumnya.
Jika perbedaan jalan seperti ini dialami oleh orang kebanyakan, tentu itu bukanlah kejadian luar biasa. Namun, bila keadaan ini dialami seorang Nabi, maka itu jelas luar biasa. Ada hikmah besar yang ingin Allah Ta’ala tunjukkan kepada umat manusia setelahnya agar bisa mengambil pelajaran berharga.
Seringkali kita menyangka, anak akan ikut ke mana ayahnya pergi. Padahal belum tentu. Kita hanya bisa berikhtiar agar kelak anak keturunan kita bakal meneruskan perjuangan kita.
Namun, Allah-lah yang berkehendak atas apa akan terjadi nanti. Boleh jadi anak keturunan kita kelak justru tak sejalan dengan kita. Bahkan bukan sekadar tak sejalan, namun juga tak satu tujuan, sebagaimana Nabi Nuh AS dan putranya. Dan, yang lebih mengenaskan, mereka akan berbenturan dengan kita. Na’udzubillahi mindzalik!
Karena itu, jangan pernah berhenti mendoakan mereka. Berharaplah sepenuh jiwa kepada Allah Ta’ala. Namun, jika kehendak Allah Ta’ala tak sama dengan apa yang kita inginkan, maka bertawakallah kepada Allah Ta’ala.
Manusia seperti Nabi Nuh AS saja –yang tak pernah terputus doa, ikhtiar, dan kesabarannya– bisa Allah Ta’ala takdirkan berseberangan jalan dengan putranya sendiri. Apalagi kita manusia biasa. Wallahu a’lam.*