Oleh: Alwi Alatas
DALAM Perang Salib, khususnya berkenaan dengan jatuh dan direbutnya kembali kota al-Quds (Yerusalem), mungkin tidak ada orang yang hidupnya lebih mewakili episode sejarah ini dibandingkan Usamah bin Munqidh. Ia merupakan seorang bangsawan Arab di Suriah yang memiliki umur panjang dan menyaksikan banyak hal penting terkait dengan Perang Salib.
Bukan hanya berumur panjang, rentang waktu hidupnya nyaris bertepatan dengan tahun-tahun paling bersejarah dalam pertarungan memperebutkan kota al-Quds. Meminjam kata-kata Stanley Lane-Poole dalam bukunya Saladin and the Fall of the Kingdom of Jerusalem (1979: 29), “He witnessed nearly the complete tide, the flow and ebb, of Crusading effort.”
Usamah dilahirkan pada tahun 1095, tahun yang sama ketika Paus Urbanus II menyerukan Perang Salib yang pertama. Ketika kota al-Quds jatuh ke tangan pasukan Salib pada tahun 1099, usia Usamah baru sekitar 4 tahun. Dan ia meninggal dunia pada tahun 1188, satu tahun setelah kota al-Quds berhasil direbut kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi.
Walaupun bukan tokoh terpenting dalam peristiwa-peristiwa yang ada pada masa itu, ia merupakan seorang saksi sejarah yang cukup penting. Ia merupakan seorang bangsawan dari Shayzar, sebuah kota di tepian Sungai Orontes di Suriah. Namun, perjalanan hidupnya tidak hanya berputar di sekitar kota itu. Ia mendatangi banyak tempat dan berinteraksi dengan berbagai tokoh, kawan dan lawan, pada masa-masa Perang Salib.
Selama beberapa tahun lamanya, Usamah berada di Kairo, Mesir, dan membantu pemerintahan Fatimiyah. Ia menyaksikan politik Mesir pada masa itu yang sangat tidak stabil. Kepemimpinan di Mesir pada masa itu, menurut Ibn al-Athir dalam The Chronicle of Ibn al-Athir (al-Kamil fi-l-Ta’rikh) (2007: 62), merupakan “hadiah bagi siapa saja yang paling kuat.” Khalifah tidak lebih daripada simbol. Ia hanya melantik orang terkuat yang berhasil muncul sebagai wazir Mesir. Itu adalah sebuah periode di mana “jarang seseorang berhasil naik ke tampuk kekuasaan kecuali dengan pertempuran, pembunuhan, dan cara-cara semisalnya.”
Usamah sendiri akhirnya terpaksa meninggalkan Mesir saat wazir yang melindunginya jatuh dari kekuasaan.
Selain di Mesir, Usamah juga pernah dua kali menetap di Damaskus, membantu emir yang memimpin kota itu. Kali pertama ia berada di kota itu adalah sebelum kepergiannya ke Mesir.
Ia menetap di kota itu selama kurang lebih delapan tahun hingga tahun 1144. Ketika itu yang menjadi emir kota itu adalah Mu’inuddin Unur, lawan terkuat Imaduddin Zanki, ayah Nuruddin Mahmud bin Zanki. Kali kedua Usamah berada di Damaskus adalah pada tahun 1154 ketika ia terpaksa meninggalkan Mesir. Ia diterima dengan baik di kota itu berkat hubungan baiknya dengan Nuruddin Zanki yang berhasil menguasai Damaskus pada tahun tersebut. Ia masih hidup cukup lama hingga selepas wafatnya Nuruddin Zanki. Usamah menyaksikan Shalahuddin al-Ayyubi menyatukan wilayah Suriah, Mesir, Mosul, hingga Yaman dan merebut kembali banyak wilayah Muslim dari tangan pasukan Salib, termasuk kota al-Quds.
Ia mengalami masa-masa perang dan damai dengan orang-orang Frank, pasukan Salib. Bukan hanya itu, ia bahkan mempunyai beberapa orang teman di kalangan orang-orang Templar (Knight Templar dan Knight of Saint John). Pada masa-masa damai, ia berkunjung ke kota al-Quds, mendatangi Masjid al-Aqsa yang ketika itu dijadikan sebagai markas Templar, dan menyempatkan diri shalat di tempat itu.
Ketika wilayah Suriah berkali-kali diguncang gempa bumi pada tahun 1150-an, ia juga yang paling merasakan dampaknya. Ketika untuk kesekian kalinya terjadi gempa bumi di Suriah, kota kelahiran Usamah, Shayzar, termasuk yang terkena dampak paling hebat. Saat terjadi gempa, anggota keluarga Usamah sedang merayakan salah satu putra mereka yang baru saja dikhitan. Gempa itu menyebabkan kastil tempat dilangsungkannya kegiatan runtuh. Bersama dengan runtuhnya kastil itu, seluruh anggota keluarga Usamah yang berada di tempat itu mati terkubur, kecuali Usamah yang sedang tidak berada di kota itu saat kejadian.
Salah satu sumbangan penting Usamah bin Munqidz adalah sebuah buku yang ditulisnya. Buku itu berjudul Kitab al-I’tibar dan masih bisa didapati hingga sekarang ini. Karya Usamah ini berisi perjalanan hidupnya serta kesaksiannya atas berbagai kejadian sejarah pada masa itu. Yang membuat karya ini menarik adalah karena ia tidak hanya berisi hal-hal yang bersifat formal seperti yang kebanyakan ditulis oleh para sejarawan resmi pada masa itu. Banyak pengalaman dan pengamatan pribadi Usamah dituangkan di dalam buku ini sehingga ia melengkapi gambaran tentang keadaan pada masa itu.
Kitab al-I’tibar bukan hanya berisi tentang keadaan pemerintahan di Suriah dan Mesir serta konflik dengan pasukan Salib. Buku ini juga berisi tentang seni berburu yang menjadi kegemaran Usamah dan juga para Emir pada masa itu. Salah satu bagian paling menarik yang ditulis Usamah (1987: 161) adalah pengamatannya atas orang-orang Frank (Prancis/ Eropa Barat) yang dilihatnya “seperti hewan-hewan yang memiliki keutamaan dalam hal keberanian dan kemampuan bertarung, tidak lebih dari itu.”
Ia melihat orang-orang Frank cenderung barbarik, khususnya mereka yang baru saja tiba dari Eropa. Sementara orang-orang Frank yang telah lama berada di Suriah-Palestina dan telah berinteraksi dengan Muslim, maka mereka ini menjadi lebih beradab dan berbeda dengan saudara-saudaranya yang baru dating dari Eropa.
Usamah merasa heran dengan minimnya rasa cemburu orang-orang Frank yang mengizinkan istrinya ditarik dan diajak berbincang berduaan dengan lelaki lain di tengah jalan dan tidak melakukan suatu tindakan berarti terhadap lelaki lain yang dijumpainya berada di tempat tidur yang sama dengan istrinya. Ia juga merasa sangat takjub dengan sistem pengobatan Eropa yang sangat terbelakang dan lebih sering membunuh pasien daripada menyembuhkannya.
Bukan hanya itu, Usamah juga menyoroti sistem hukum orang-orang Frank yang seringkali ganjil. Kadang keputusan hukum dibuat dengan cara mempersilahkan pihak penuduh dan tertuduh bertarung hingga mati dengan ditonton orang banyak. Yang menang dalam pertarungan itulah yang dianggap sebagai pihak yang benar. Pada kesempatan lain, seorang tertuduh diputuskan bersalah atau tidak dengan cara dilemparkan ke dalam sebuah kolam air dalam keadaan terikat. Jika ia tenggelam maka ia dianggap tidak bersalah, dan jika ia mengambang maka ia ditetapkan bersalah dan dikenai hukuman.
Usamah mungkin agak mendramatisir penjelasannya tentang orang-orang Frank. P.H. Newby dalam bukunya Saladin in His Time (1983: 41) menyebutkan bahwa sistem hukum Eropa pada masa itu sebenarnya bukan hanya seperti yang diceritakan oleh Usamah. Mereka juga memiliki lembaga peradilan yang normal, yang tentunya juga diketahui oleh Usamah.
Bagaimanapun, Newby mengakui bahwa mereka kurang memiliki kesetaraan di hadapan hukum seperti yang terdapat dalam masyarakat Islam pada masa itu. Walaupun secara teori seorang Frank dapat menuntut ke muka pengadilan seorang yang kedudukan sosialnya lebih tinggi darinya, tetapi pada prakteknya hal ini sulit untuk dilakukan.
“Kita tidak mendengar raja atau bangsawan Frank berkata, seperti yang dikatakan oleh Nuruddin [Zanki], ‘Saya tidak lain hanyalah seorang hamba hukum,’” terang Newby.
Mengajarkan keberanian dan keshalehan
Walaupun melalui tulisan Usamah kita membaca terjadinya banyak konflik serta kekacauan politik di dunia Islam, buku ini juga memperlihatkan tumbuhnya suasana keislaman yang kuat di Suriah pada masa itu. Usamah sendiri mendapatkan pendidikan Islam di dalam lingkungan keluarganya sejak masih belia, di samping pendidikan keterampilan yang standar dimiliki oleh para emir Muslim.
Ayah Usamah, di samping memiliki keberanian dan keterampilan bertempur, juga memiliki kebiasaan menulis. Namun yang ditulisnya sepanjang hidupnya hanyalah salinan al-Qur’an. Hingga suatu hari Usamah bertanya kepada ayahnya, “… berapa banyak salinan al-Qur’an yang telah ayah buat secara utuh?” Ayahnya menjawab, “Engkau akan mengetahuinya tidak lama lagi.”
Ketika ayahnya menjelang kematian, ia memanggil Usamah dan memberikan wasiat.
“Di dalam kotak itu ada beberapa salinan al-Qur’an,” katanya sambil memberi isyarat ke arah sebuah kotak, “masing-masing berisi salinan al-Qur’an yang utuh. Letakkanlah itu semua di bawah pipi saya di dalam kubur.”
Usamah dan anggota keluarganya kemudian membuka kotak itu dan menghitung salinan al-Qur’an yang ada di dalamnya. Semuanya ternyata berjumlah empat puluh tiga salinan al-Qur’an yang utuh dan semuanya merupakan tulisan tangan ayahnya. Satu di antaranya merupakan sebuah salinan yang sangat besar dan mengandung ilmu al-Qur’an yang lengkap, termasuk perbedaan bacaannya, asbabun nuzul, nasikh-mansukh, gaya bahasa Arab al-Qur’an, serta hukum-hukum syariah yang terdapat di dalamnya.
Ia tidak hanya menceritakan nilai-nilai keislaman di keluarganya, tetapi juga pada masyarakat Muslim di Suriah umumnya.
Kitab al-I’tibar cukup banyak menceritakan kisah orang-orang shaleh serta keutamaan atau pertolongan Allah atas mereka yang disaksikan langsung oleh Usamah atau didengarnya dari orang-orang yang dapat dipercaya.
Kitab al-I’tibar ditulis pada akhir-akhir usia Usamah yang mencapai sembilan puluh tiga tahun. Usia yang panjang itu tampaknya bukan merupakan sesuatu yang membanggakan bagi Usamah yang telah melewatkan usia mudanya di berbagai medan pertempuran. Tetapi usia yang panjang itu pula sebenarnya yang telah memberi peluang bagi Usamah untuk menuliskan pengalaman hidup serta pengamatannya yang kemudian memberikan manfaat bagi para sejarawan.
Pada bagian-bagian akhir bukunya ia mengingatkan pembaca tentang hakikat kematian dan umur manusia. Bahwa dekatnya ancaman dan besarnya resiko tidak membuat seorang lebih dekat dengan kematian.
“Karenanya janganlah sekali-kali seseorang berasumsi bahwa saat-saat kematian menjadi semakin cepat dengan tereksposnya seseorang pada bahaya,” katanya, “dan tidak juga ia melambat dengan adanya sikap kehati-hatian yang berlebih.”
Ia memberi contoh dirinya sendiri yang telah menghadapi berbagai bahaya di medan pertempuran, di lapangan politik, serta saat sedang berburu, yang semua itu kelihatannya sangat mendekatkan dirinya dengan kematian. Tapi kenyataannya ia tetap hidup lama dan meninggal dunia pada usia yang sangat lanjut yang telah merengut segala kekuatan dan kemampuannya.
Usamah mengajarkan banyak hal melalui bukunya: keberanian, keshalehan, kemampuan berkomunikasi dengan para pemimpin dan orang-orang biasa, dan yang tidak kalah pentingnya … keutamaan menuliskan kesaksian sejarah yang dapat dipetik pelajarannya oleh generasi mendatang.
Usamah dan orang-orang semisalnya telah berbuat dan menyampaikan pesan-pesannya yang bermanfaat. Semoga kita termasuk orang yang pandai mengambil i’tibar.*/Kuala Lumpur, 25 Maret 2013
Daftar Pustaka
Ibn al-Athir. The Chronicle of Ibn al-Athir for the Crusading Period from al-Kamil fi’l-Ta’rikh, part. 2, The Years 541 – 589/ 1146 – 1193: The Age of Nur al-Din and Saladin (diterjemahkan oleh D.S. Richards). Farnham: Ashgate. 2007.
Ibn Munqidh, Usamah. An Arab-Syrian Gentleman and Warrior in the Period of the Crusades: Memoirs of Usamah ibn-Munqidh (diterjemahkan dari Kitab al-I’tibar oleh Philip K. Hitti). London: I.B. Tauris. 1987.
Lane-Poole, Stanley. Saladin and the Fall of the Kingdom of Jerusalem. Lahore: Sind Sagar Academy. 1979.
Newby, P.H. Saladin in His Time. London: Faber and Faber. 1983.