Oleh: Ady C. Effendy
Penaklukan Konstantinopel: Motivasi dari Keimanan
Pengepungan dan penaklukan kota Konstantinopel Bizantium bukanlah rencana yang datang secara tiba-tiba pada masa Kekhilafahan Usmani sebagai ambisi militer untuk ekspansi.
Sesungguhnya inspirasi dan upaya untuk menaklukkan Konstantinopel sudah diungkapkan selama masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam . Dalam situasi terburuk Perang al Ahzab, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam telah menubuatkan penaklukan ini oleh para pengikutnya yang diriwayatkan dalam hadits masyhur: “Sesungguhnya engkau akan menaklukkan kota Konstantinopel, maka pemimpinnya adalah sebaik-baik pemimpin, dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara.” Hadits ini telah menginspirasi dan memotivasi para khalifah berikutnya dan tentara Islam setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam untuk memenangkan kehormatan dengan mewujudkan kabar gembira kenabian.
Sejarah mencatat beberapa upaya keras yang diupayakan oleh tentara Muslim awal untuk berbaris menuju kota Konstantinopel. Bani Umayyah memulai misi menuju ke kota Konstantinopel di awal-awal era Islam.
Pada tanggal 1 September 653 M, Busr b. Abi Artat memimpin armada lengkap di Tripolis menuju kota Konstantinopel dan berhasil mengalahkan pasukan Yunani di Phoenix (Finika) di pantai Lisia, tetapi armadanya tidak benar-benar berhasil tiba di Konstantinopel, sementara pada waktu yang sama, Muawiyah memulai invasi wilayah Bizantium melalui operasi militer darat. Upaya kedua diluncurkan oleh Abd al-rahman b. Khalid yang memimpin kampanye militer di tahun 44H/644M yang mencapai kota Pergamon, sedangkan Busr b. Abi Artat laksamana armada Umayyah berhasil mencapai Konstantinopel.
Tahun setelah itu, pada 1 September 666M, Fadala b. Ubayd mencapai Chalcedon dan kemudian diikuti oleh Yazid bin Muawiyah, yang dikirim setelahnya. Pada 672M, armada Arab yang kuat di bawah kepemimpinan Busr b. Abi Artat berhasil melemparkan jangkar dari sisi pesisir Eropa Laut Marmara di bawah dinding kota dan menyerang dari bulan April sampai September.
Setelah tujuh tahun pertempuran, armada tersebut pensiun dan kembali dengan banyak bagian yang terbakar oleh api Yunani. Tentara darat dilaporkan telah berbaris didepan Konstantinopel pada 47H/667 M dan memulai pengepungan kota.
Selama perang tersebut, seorang sahabat Nabi yang terkenal, Abu Ayyub al Anshari Khalid bin Ziyad dilaporkan telah meninggal selama pengepungan dan dikuburkan disamping dinding Konstantinopel. Tahun pasti kematian tidak diketahui. Upaya penaklukan akhirnya berakhir dengan gencatan senjata selama 40 tahun antara Bizantium dan Bani Umayyah.
Pada 97H/715-16M, Khalifah Sulaiman b. Abd al-Malik naik takhta dan melanjutkan ekspedisi. Dia mengirim saudaranya Maslama untuk memimpin tentara melalui Asia Kecil, menyeberangi Dardanella di Abydos dan memulai pengepungan atas kota Konstantinopel. Armada Arab Muslim juga sebagian berlabuh di dekat dinding di pantai Laut Marmara dan sebagian lagi di Bosporus, sedangkan tanduk emas dilindungi oleh rantai raksasa. Pengepungan dimulai 25 Agustus 716 M dan berlangsung sepanjang tahun, tetapi akhirnya berakhir karena persediaan yang terbatas dan adanya serangan lainnya oleh bangsa Bulgaria. Sebelum mengakhiri pengepungan dan membuat perjanjian damai, Maslama dilaporkan telah membangun masjid pertama di dalam kota Konstantinopel dan membuat bangunan rumah dekat Istana Kekaisaran Byzantium untuk tahanan perang dari pihak Muslim Arab. Hal ini telah disetujui sebagai syarat dari perjanjian damai.
Pada 165H/782M, di masa pemerintahan Abbasiyah, Harun, putra Khalifah al-Mahdi, dilaporkan telah bergerak melalui Asia Kecil dan kemudian mendirikan kemah-kemah mereka di Chrysopolis. Kekaisaran Bizantium di bawah Ratu Irene dengan cepat menawarkan kesepakatan damai dan setuju untuk membayar upeti. Al-Mahdi dan Harun telah meluncurkan tidak kurang dari empat pengepungan secara berkala terhadap Konstantinopel dan berhasil dalam upaya kedua untuk mendapatkan seperempat wilayah di kota tersebut.
Setelah catatan sejarah upaya Arab Muslim untuk menangkap Konstantinopel ini, tidak ada lagi upaya-upaya militer signifikan yang dilakukan untuk menyerang kota itu sekali lagi. Salah satu alasan yang mungkin menjelaskan kevakuman dari kampanye militer terhadap kota ini adalah dikarenakan dinasti Abbasiyah mulai disibukkan oleh masalah-masalah dalam negeri mereka dan perebutan kekuasaan di dalam istana. Ini praktis membuat dinasti kekhliafahan tidak mampu mempertahankan beberapa wilayahnya yang diambil alih oleh pemberontak. Dengan demikian, tampaknya mustahil bagi Abbasiyah untuk memulai serangan baru.
Wilayah dibawah kekuasaan khilafah Usmaniyah
Setelah runtuhnya Abbasiyah, Kekhilafahan Islam yang kuat Turki Usmani, yang dinamai sesuai pendirinya, Usman, menjadi semakin kuat. Memulai kerajaannya dari sepetak kecil tanah di barat Konya, dekat perbatasan dengan Byzantium, Osman dan rakyatnya bertambah kuat dan mulai menjelajah ke arah barat menuju tanah Byzantium Kristen. Sultan-sultan baru dari kerajaan ini sejak dini telah memulai kampanye mereka untuk mengambil alih kota Bizantium. Kampanye militer yang nyata terhadap dinding Konstantinopel, dimulai oleh Sultan Usmani bernama Bayezid I pada 1390, juga disebut sebagai Yildirim (sang petir). Ia berencana untuk menghancurkan dinding besar Konstantinopel atau membuat kelaparan penduduk kota itu sampai mereka menyerah. Kaisar Byzantium Manuel II Palaeologus meminta bantuan dari penguasa Kristen.
Dua Paus Romawi di Roma dan Avignon, Prancis yang berseteru sama-sama menyerukan perang Salib melawan Kerajaan Usmani. Sekitar seratus ribu orang di bawah kepemimpinan raja Hungaria meluncurkan perang Salib. Ketika mereka sampai di Nikopolis, salah satu kota Bulgaria, tahun 1396M, Bayezid berbaris dengan pasukannya di sana dan mengalahkan tentara Salib.
Pada 1397M, upaya Bayezid untuk menaklukkan Konstantinopel ditandai dengan pembangunan sebuah kastil yang disebut Anadolu Hisar (berarti “benteng Anatolia “) di sisi pantai Asia dari Selat Bosporus. Pengepungan berlangsung sampai September 1402M, namun akhirnya ditarik oleh Bayezid untuk mengkonsentrasikan pasukannya untuk mempertahankan Anatolia dan wilayah kekuasaannya lainnya dari invasi Tatar. Dia akhirnya ditangkap oleh Tatar dan meninggal di penjara. Pengepungan Konstantinopel untuk sementara terhenti karena kelemahan pemerintahan Usmani setelah kekalahan yang telah menguras wilayah mereka dan meninggalkan bagi mereka hanya sebagian kecil dari tanah di barat laut Anatolia, wilayah asli mereka. Setelah Raja Mongolia Timur meninggal tahun 1405, Usmani berjuang untuk mendapatkan kekuatannya kembali dan mereka berhasil dalam upaya ini.
Musa, putra Bayezid itu, kembali menguasai Thrace dan Serbia, dan memulai pengepungan Konstantinopel tahun 1410M, namun ia dibunuh tahun 1413M. Saudaranya Muhammad menggantikannya. Pada 1421M, Muhammad meninggal dan putranya Murad II naik takhta.
Kenaikan tahta Sultan Murad II membuat khawatir kaisar Bizantium Manuel II yang berjuang untuk mendapatkan bantuan guna melindungi kota. Meski demikian, Kaisar Manuel II menolak untuk menciptakan persatuan antara Gereja Roma dan Gereja Ortodoks karena khawatir bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan timbulnya dampak politik yang membuat Turki Usmani untuk melihatnya sebagai kerja sama militer bersama untuk menyerang wilayah Muslim. Putranya, John VIII Palaeologus datang sebagai kaisar berikutnya, melakukan hal yang berlawanan. Dia bernegosiasi dengan Paus Eugenius IV, yang memintanya untuk mengirim delegasi Uskup Ortodoks ke sinode (dewan) dari pemimpin agama Romawi. Delegasi setuju dengan persekutuan agama yang diusulkan dengan Roma, meskipun adanya penolakan dari para uskup gereja timur.
Paus menyerukan perang Salib melawan Turki Usmani Muslim. Orang-orang Turki Muslim, pada waktu itu, sedang memperluas wilayah mereka dan berhasil mengambil kota Tesalonika pada tahun 1430M serta menaklukkan benteng di Sungai Danube yang mengancam bangsa Hungaria. Namun, mereka mampu memukul mundur pasukan Turki Usmani. Pada bulan Juni 1444M, kedua belah pihak menyepakati gencatan senjata selama sepuluh tahun yang melarang kedua belah pihak untuk menyeberangi Sungai Danube.*
Penulis sedang menempuh S2 di Qatar