Bung Karno, sebagai seorang pemimpin adalah pengagum Nabi Muhammad ﷺ, Tapi narasinya dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat” tentang Zainab, istri Nabi perlu diluruskan
Hidayatullah.com | DI MAJALAH Kiblat No. 5-6 (1966: 33-34), ada pembahasan artikel menarik berjudul “Sekitar Masalah Zainab dalam Buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”.
Artikel ini mencoba menganalisis dan meluruskan uraian tentang Zainab binti Jahsyi dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” karya Cindy Adams yang diterjemahkan oleh Abdul Bar Salim.
Buku ini, yang diterbitkan oleh Gunung Agung dan tersebar luas di masyarakat, memuat berbagai pandangan dan cerita tentang kehidupan pribadi Bung Karno, termasuk pandangannya terhadap Islam dan Nabi Muhammad ﷺ.
Namun, pada halaman 16, terdapat bagian yang menyinggung kisah Nabi Muhammad ﷺ dan Zainab binti Jahsyi yang perlu diperjelas agar tidak menimbulkan salah tafsir, khususnya terkait moralitas dan akhlak Nabi.
Dalam buku tersebut, Bung Karno menulis bahwa Nabi Muhammad ﷺ, ketika melihat Zainab binti Jahsyi, mengucapkan “Allahu Akbar” dan memuji keindahan ciptaan Allah.
Menurut Bung Karno, hal ini menunjukkan bahwa mengagumi keindahan wanita bukanlah sebuah dosa, tetapi merupakan bentuk pujian kepada Tuhan.
Kalimat ini, yang menurut penulis mungkin diambil dari beberapa sumber atau tradisi, perlu mendapatkan perhatian serius, khususnya dari para ulama dan cendekiawan Muslim, agar tidak disalahpahami.
Kisah Zainab binti Jahsyin dalam Sejarah Islam
Zainab binti Jahsyi adalah salah satu istri Nabi Muhammad ﷺ. Kisah pernikahan Nabi dengan Zainab sering kali menjadi sasaran kritik oleh para orientalis Barat yang mencoba meragukan integritas moral Nabi, dengan menggambarkan pernikahan tersebut sebagai tindakan yang didorong oleh hawa nafsu.
Kritik-kritik ini bahkan sering kali disebarkan dengan cerita yang tidak benar atau diputarbalikkan, seperti yang diungkapkan oleh orientalis seperti William Muir dan Emile Dermingham, yang mempopulerkan versi cerita bahwa Nabi melihat Zainab dalam keadaan tidak pantas, lalu jatuh cinta kepadanya.
Padahal, kisah yang sebenarnya berakar dari konteks yang sangat berbeda. Zainab adalah sepupu Nabi dan sebelumnya dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, anak angkat Nabi.
Namun, pernikahan mereka tidak berjalan baik, dan Zaid akhirnya menceraikan Zainab. Setelah perceraian ini, Nabi menikahi Zainab atas perintah Allah, yang ditegaskan dalam Al-Qur’an, surah Al-Ahzab ayat 37, sebagai bentuk penghapusan tradisi jahiliah yang melarang pernikahan dengan istri mantan anak angkat.
Pelurusan Pandangan Bung Karno
Bung Karno mungkin tidak bermaksud merendahkan Nabi Muhammad ﷺ dengan pernyataannya tentang Zainab. Sebagai seorang Muslim, Bung Karno mengagumi Nabi dan memahami ajaran Islam.
Namun, ungkapannya tentang Nabi yang mengagumi kecantikan Zainab dan mengucapkan “Allahu Akbar” bisa menimbulkan kesalahpahaman jika tidak diluruskan.
Ungkapan bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengucapkan “Allahu Akbar” saat melihat Zainab bisa diartikan bahwa Nabi terpesona oleh kecantikan fisik Zainab, seolah-olah beliau terdorong oleh nafsu. Hal ini sangat rentan digunakan oleh lawan-lawan Islam untuk menyerang karakter dan moralitas Nabi, seperti yang sering dilakukan oleh orientalis Barat.
Padahal, dalam pandangan Islam, Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia yang terjaga (ma’shum) dari dosa, termasuk dalam hal hawa nafsu.
Penting untuk menekankan bahwa pernikahan Nabi dengan Zainab adalah perintah langsung dari Allah yang memiliki hikmah besar dalam menghapuskan tradisi jahiliah.
Nabi Muhammad ﷺ tidak menikahi Zainab karena hawa nafsu atau ketertarikan fisik semata, tetapi karena ini adalah bagian dari hukum syariat yang Allah tetapkan untuk memberikan pelajaran kepada umat manusia.
Kritik Terhadap Narasi Orientalis
Kisah Nabi Muhammad ﷺ dan Zainab binti Jahsyin sering kali diputarbalikkan oleh para orientalis untuk menyerang Islam. Dr. Haikal dalam bukunya “Peri Hidup Muhammad Rasulullah” menjelaskan bagaimana orientalis Barat seperti Washington Irving dan William Muir menggambarkan kisah pernikahan Nabi dengan Zainab dengan cara yang tidak pantas, bahkan melibatkan cerita-cerita imajinatif yang merusak citra Nabi.
Mereka menggambarkan Zainab dalam keadaan yang tidak pantas dan menuduh Nabi jatuh cinta kepadanya karena hawa nafsu.
Padahal, Nabi Muhammad ﷺ selalu dijaga dari tindakan yang merendahkan moralitas. Pernikahannya dengan Zainab bukanlah karena ketertarikan fisik, tetapi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan sebagai simbol perubahan sosial yang penting di masyarakat Arab kala itu.
Para orientalis sering kali mengabaikan konteks ini dan hanya berfokus pada narasi yang dapat memojokkan Nabi Muhammad ﷺ.
Meluruskan Sejarah Nabi
Sebagai umat Islam, penting bagi kita untuk meluruskan kisah-kisah sejarah yang berkaitan dengan Nabi Muhammad ﷺ agar tidak disalahpahami.
Apa yang disampaikan oleh Bung Karno dalam bukunya mungkin bersumber dari beberapa bacaan atau literatur yang tidak diketahui kebenarannya. Oleh karena itu, ulama dan cendekiawan Muslim harus memberikan penjelasan yang benar dan berdasarkan sumber-sumber otentik, agar tidak ada kesalahpahaman yang berlanjut.
Bung Karno sendiri, sebagai seorang pemimpin dan pengagum Nabi Muhammad ﷺ, tentu tidak bermaksud merusak citra Nabi. Namun, narasi yang disampaikan dalam bukunya harus diluruskan agar sesuai dengan ajaran Islam yang benar dan tidak memberi ruang bagi kritik yang merusak.
Meluruskan kisah ini bukan berarti menyerang Bung Karno, tetapi justru untuk menjaga kemurnian sejarah Nabi Muhammad ﷺ yang seharusnya menjadi teladan bagi seluruh umat manusia.
Pernikahan Nabi Muhammad ﷺ dengan Zainab binti Jahsyi adalah peristiwa penting yang diatur oleh Allah untuk menghapus tradisi jahiliah. Kisah ini tidak boleh disalahtafsirkan sebagai dorongan hawa nafsu Nabi, melainkan harus dipahami dalam konteks syariat Islam yang lebih luas.
Apa yang disampaikan oleh Bung Karno dalam “Penyambung Lidah Rakyat” perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Umat Islam harus menjaga kemurnian sejarah Nabi dan waspada terhadap narasi-narasi yang dapat merusak citra Islam. Kita juga harus terus berusaha untuk memahami sejarah Nabi Muhammad ﷺ dari sumber-sumber yang otentik, sehingga kita bisa menghormati beliau dengan cara yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam.*/Mahmud Budi Setiawan