Sambungan dari artikel PERTAMA
Oleh: Ady C. Effendy, MA
Saiful Allah al Maslul
Jendral perang terakhir yang hendak kita telaah dalam tulisan kali ini adalah seorang panglima yang bergelar Saiful Allah al Maslul (Pedang Allah yang terhunus) dialah Abu Sulaiman Khalid bin Al Walid bin Al Mughiroh Al Makhzumi atau yang dikenal singkatnya sebagai Khalid bin Al Walid dari keturunan bangsa Arab Quraish.
Sebelum masuk Islam, Khalid bin Walid adalah seorang panglima perang yang memimpin pasukan Quraisy yang berhasil mengalahkan kaum muslimin dalam Perang Uhud (625M/ 3H). Khalid tidak turut serta dalam Perang Badar dimana kaum kafir Quraisy mengalami kekalahan besar dan perang terakhir yang diikuti olehnya adalah Perang Khandaq sebelum ia masuk Islam.
Khalid sendiri mengikrarkan keislamannya selama masa-masa gencatan senjata yang disepakati dalam perjanjian Hudaibiyah. Keislamannya diikuti pula oleh Amr bin Al Ash dan Usman bin Talhah pada tahun ke 8 hijriyah.
Setelah masuk Islam, prestasi militer sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam ini semakin menakjubkan. Perang besar pertama bersama kaum Muslimin yang menunjukkan kualitas Khalid ra.
Adalah perang melawan suku Ghassan yang telah menghadang dan membunuh duta atau utusan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam kepada Raja Bushra, yakni sahabat Harits bin Umair ra. Ia dibunuh ketika sampai di Mu’tah (Timur Yordania) padahal aturan perang menyatakan tidak diperkenankan membunuh utusan kecuali bahwa itu adalah sebuah pernyataan perang. Hal ini menimbulkan kemarahan besar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam sehingga beliau mengutus 3000 pasukan kaum Muslimin dibawah tiga jendral perang langsung; Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhum.
Suku Ghassan sendiri bersekutu dengan Kerajaan Bizantium Kristen yang mengirimkan tidak kurang 200.000 pasukan untuk bertempur dengan kaum Muslimin. Di perang ini syahidlah satu persatu pemimpin kaum Muslimin, dimulai dari Zaid ra kemudian Ja’far ra dan Abdullah ra. Di saat-saat genting inilah Khalid mengambil alih kepemimpinan dan berhasil membalikkan kekalahan total dan kemusnahan pasukan untuk mundur secara jenius dan aman.
Selain itu, Khalid ra. juga memimpin pasukan Madinah di bawah Khalifah Abu Bakar ra untuk melawan kaum murtadin dalam perang Riddah, menaklukan Arab bagian tengah dan suku-suku Arab. Beliau ra. juga berhasil menaklukkan kerajaan Al-Hirah yang bersekutu dengan Kerajaan Persia Sasani serta mengalahkan pasukan Persia Sasani ini dalam penaklukan Iraq.
Khalifah kemudian menugaskannya untuk memimpin pasukan menaklukkan Kota Suriah di bawah Romawi waktu itu dan menghancurkan kembali Suku Ghassan.
Di bawah kepemimpinannya Damaskus jatuh ke tangan Muslimin dan juga berhasil mengalahkan pasukan Bizantium dalam Perang Yarmuk tahun ke 15H sehingga seluruh wilayah Syam jatuh ke tangan kaum Muslimin.
Meskipun Umar radhiallahu anhu menurunkannya dari posisi panglima utama akan tetapi Khalid ra tetap merupakan pemimpin pasukan di lapangan melawan Kerajaan Bizantium.
Sejarah menyaksikan bahwa Khalid ra telah terjun dalam lebih dari seratus perang, baik besar atau kecil, tanpa pernah mengalami kekalahan.
Khalid sendiri wafat di tempat tidur di usianya yang senja pada tahun 21H, di Kota Homs, bagian tengah Suriah. Meski mendapatkan luka-luka yang tak terhitung di tubuhnya, kegemilangannya dalam pertempuran dan juga takdir Allah atasnya yang menyandang gelar Pedang Allah menyebabkan ia tidak syahid dalam pertempuran melainkan diatas tempat tidur yang sungguh tidak diharapkan oleh sahabat pemberani ini ra.
Disisi lain, meskipun hubungan Sahabat Khalid ra dan Umar ra tidak terlalu hangat akan tetapi tampaknya tidak ada perselisihan sedikitpun diantara keduanya terbukti dengan fakta bahwa Khalid ra. menyerahkan harta kekayaan dan tanah miliknya kepada Umar ra untuk dibagi-bagikan dalam warisan.
Sejarah bersaksi bahwa dengan kegemilangan yang luar biasa dan peranannya dalam membangun Khilafah Islamiyyah yang menjadi kekuatan adidaya pada Abad Pertengahan, Khalid ra tetap tidak pernah menjadi figur yang “disembah” oleh kaum Muslimin dan orang-orang yang datang sesudahnya. Suatu bentuk kesuksesan tarbiyah Islam dalam menjaga keesaan Allah Subhanahu Wata’ala dalam ibadah dan pengagungan.
Sejarah tiga panglima besar dalam sejarah tiga peradaban ini menyimpan pelajaran besar bagi kaum Muslimin. Benarlah firman Allah Subhanahu Wata’ala di dalam Ayat Al Quran:
وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ ۖ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (النساء: 104)
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisa: 104)
Ayat ini turun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi Wassallam mengutus beberapa orang untuk mengejar Abu Sufyan dan kawan-kawannya saat mereka pulang dari perang Uhud, lalu mereka mengeluhkan luka-luka mereka.
Tafsir Al Quran menjelaskan bahwa: “Orang-orang mukmin menderita kesakitan dan luka dalam peperangan, tetapi bukan mereka saja yang menderita seperti ini, musuh-musuh merekapun menderita luka dan kesakitan. Akan tetapi, antara kedua golongan ini terdapat perbedaan yang sangat jauh. Orang-orang mukmin menghadap kepada Allah dengan jihad mereka dan mereka menantikan balasan di-sisi-Nya, sedangkan kaum kafir akan hilang sia-sia. Mereka tidak menghadap dan menuju kepada Allah, dan mereka tidak menantikan sesuatu pun di sisi-Nya, baik dalam kehidupan kini maupun kehidupan nanti. “
Dari kilasan sejarah tiga jendral perang di tiga peradaban tersebut kita dapati bahwa tidak satupun diantara mereka yang tidak berkorban demi keyakinannya.
D’Artagnan berkorban demi orang yang dibelanya, begitupula Guan Yu yang tewas demi memenangkan saudara angkatnya Liu Bei dan membangun Kekaisaran Han kembali.
Kalau keduanya berkorban nyawa dan harta demi orang yang dicintainya dan majikannya, apakah tidak pantas jikalau kaum Muslimin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya berkorban harta dan bahkan kehidupan mereka bagi yang mereka cintai.
Dalam perbandingan kisah sejarah ini pula kita dapati bahwa agama Islam sangat berhasil dalam membangun sebuah tradisi dan peradaban yang tidak tunduk kepada sesama manusia betapapun agung dan besar prestasi manusia tersebut.
Ketakutan yang inheren dalam hati manusia akan kematian dan kehancuran serta penghormatan mereka akan seorang individu yang mampu menyebabkan kehancuran dan kematian kepada pihak musuh telah menyebabkan kebanyakan manusia jatuh pada penyembahan dan pengagungan berlebihan terhadap figur-figur sejarah sebagaimana halnya yang terjadi dalam peradaban Kristen Eropa dan China.
Peradaban Islam, sebaliknya, telah unggul di dalam membebaskan manusia dari perbudakan dan penghambaan manusia terhadap sesama manusia lainnya betapapun hebat dan kuatnya insan manusia tersebut.
Inilah hakikat kemerdekaan manusia yang tidak terbantahkan dibawa dan diteguhkan Allah Subhanahu Wata’ala melalui agamanya yang mulia al Islam.
Kebebasan dan kemerdekaan sejati oleh karenanya adalah kebebasan dan kemerdekaan insan manusia dari penghambaan terhadap makhluk dan kesadarannya untuk kembali pada pengagungan Dia Yang Maha Pencipta Al Khaliq.
Sebagaimana ungkapan terkenal Rib’i Ibnu Amir ra, seorang sahabat berkulit hitam yang diutus oleh Panglima kaum Muslimin Sa’ad bin Abi Waqqash untuk menjumpai Jendral Rustum, Panglima Persia;
“Kami datang kesini diutus untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan kepada Allah saja; dari kezhaliman segala agama-agama, menuju keadilan Islam; dari sempitnya kehidupan dunia menuju keluasannya.”
Inilah sebuah ibrah (pelajaran) yang ditinggalkan oleh para pendahulu kaum Muslimin, sudahkah para generasi Muslimin di masa kini mengikuti jejak langkah dan teladannya?
Penulis adalah sekretaris Umum Asosiasi Muslim Indonesia di Qatar. www.adyceffendy.net