BEBERAPA kali, saat saya tanya kepada teman mengenai figur tokoh Muhammadiyah kawakan bernama lengkap Abdul Kahar Mudzakkir (1907-1973), jawabannya rata-rata tidak tahu dan dikiranya yang dimaksud adalah : Abdul Kahar Mudzakkar.
Kalau angkatan 80-an saja tidak banyak tahu, bagaimana dengan generasi milenial dan sesudahnya? Padahal, dalam lanskap perjuangan Indonesia, sosok ini memiliki kiprah yang tidak kecil.
Dari buku bapak Lukman Hakim berjudul “Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI” (2018: 51-59), sederet kiprah dan peran teman sekaligus sahabat dekat Prof Rasjidi ini secara gamblang dan lugas bisa diketahui oleh para pembaca yang budiman.
Pertama, terlibat dalam penyusunan konstitusi. Dalam sejarah Indonesia, beliau tercatat sebagai tokoh Muslim yang termasuk panitia sembilan (Agus Salim, Abikusno, A. Kahar Mudzakkir, Wahid Hasyim, Sukarno, Moh. Hatta, A. Maramis, Ahmad Subarjo, dan Mohammad Yamin) penghasil rumusan resmi pertama rancangan Preambule UUD 1945 sebagaimana yang dirumuskan dalam Piagam Jakarta (22 Juni 1945).
Sayangnya, dan ini menimbulkan pertanyaan beberapa sejarawan, mengapa peran beliau tidak begitu dihiraukan dalam sejarah Indonesia. Terlebih, pidato beliau dengan tokoh-tokoh lain kurang mendapat perhatian yang memadai. Malah, yang dikenal publik justru pidato Soekarno, Yamin, dan semacamnya.
Apa ada kesengajaan dalam hal ini? Para sejarawan Indonesia memiliki PR besar untuk menjawab semua ini. Yang jelas, jika prinsip keadilan yang dipakai, siapapun yang berjasa dalam perjuangan Indonesia, patut untuk diangkat kiprah dan perannya.
Kedua, berpartisipasi dalam proses pembentukan Sekolah Tinggi Islam (STI). Bahkan, menjadi pemimpin pertama dari perguruan tinggi ini. Sekarang sekolah tinggi tersebut dikenal dengan sebutan Universitas Islam Indonesia yang berlokasi di Yogyakarta.
Mengenai hal ini, Ahmad Mansyur Suryanegara dalam buku “Api Sejarah I” (2015: 452) mencatat, “Pada 27 Rajab 1361 H (18 Juli 1945), pada masa pendudukan Balatentara Dai Nippon, Persjerikatan Moehammadijah mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta dengan rektor Kahar Moezakkir.”
Ketiga, berjuang melalui media tulisan untuk kepentingan kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah kehidupan beliau, salah satu masa yang bertalian erat dengan kiprah dan perannya untuk Indonesia adalah ketika menjadi mahasiswa di Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Selama 12 tahun studi negeri Kinanah, beliau menulis banyak hal tentang perjuangan Indonesia dalam koran-koran Mesir. Sebut saja misalnya: al-Ahraam, al-Balaagh dan al-Hayaat yang merupakan di antara sederet koran ternama di negeri para Nabi itu.
Tak hanya itu, di usianya yang masih terhitung muda, sudah menjadi staf redaksi Sayyid Mohammad Ali at-Tahir dalam surat kabar ats-Tsaurah. Bahkan di usianya yang 24 tahun, menjadi peserta Muktamar Islam Internasional di Palestina dan terpilih menjadi sekretaris mendampingi Mufti Besar Palestina.
Kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja. Beliau menginformasikan kondisi Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Akibat peran-peran signifikan ini, Indonesia mendapat banyak simpati. Bukan saja di Mesir, tapi juga di Timur Tengah.
Keempat, membentuk Perhimpunan Indonesia Raja (PIR). Organisasi ini adalah jaringan dari Perhimpoenan Indonesia di Belanda yang salah satunya digagas oleh Soekiman. Melalu ini, Kahar Mudzakkir mendirikan kantor berita Indonesia Raja. Berita-berita terkait dengan tuntutan kemerdekaan Indonesia, disiarkan melalui media ini.
Baca: PKS: Gelar Pahlawan Nasional KH Abdul Kahar Mudzakkir Tepat
Tak mengherankan jika usaha-usaha diplomasi yang dilakukan Agus Salim, A.R. Baswedan, dan kawan-kawan saat di Mesir, tidak mengalami halangan serius karena terlebih dahulu sudah dilapangkan jalannya oleh Abdul Kahar Mudzakkir.
Sebenarnya masih banyak yang belum dipublikasikan dalam sejarah Indonesia, seperti menjadi kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama: yang merupakan cikal bakal Departemen Agama) Yogyakarta pada masa Jepang, penyiar radio militer untuk luar negeri dalam bahasa Arab, anggota Misi Haji RI II (70 Tahun Prof. Rasjidi, 1985: 26, 104) dan lain sebagainya. Namun empat hal itu sedikit banyak menggambarkan kaliber tokoh ini.
Ketika pada 08 November 2019 kemarin, beliau mendapat gelar Pahlawanan Nasional, penulis sendiri tidak kaget karena memang beliau layak untuk mendapatkannya. Meski juga tak lupa apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Presiden RI yang telah memilih beliau bersama kandidat lainnya untuk menjadi Pahlawan.
Meski demikian, penulis meyakini bahwa Prof Kahar Mudzakkir bukanlah tipe yang haus gelar. Salah satu buktinya, Prof Rasjidi saat di Kairo, Mesir pernah mendapat nasihat dari beliau yang menggambarkan betapa ia tidak haus gelar:
“Kamu datang ke Kairo dengan dibiayai orang tua yang membanting tulang memeras keringat bukan untuk mencari ‘Diploma Indah, akan tetapi untuk mencari ilmu.” (Tashadi, Prof. K. H. Abdul Kahar Mudzakkir: Riwayat Hidup Dan Perjuangan, 1986: 48) Inti belajar adalah menuntut ilmu, bukan semata gelar. Demikian juga kalau kita kaitkan tentang kepahlawanan, inti pahlawan adalah jasa dan perjuangannya, bukan terbatas pada gelar yang terkadang tidak lepas dari subyektivitas pemilihnya. Ada tidaknya gelar, tidak mempengaruhi kepahlawanan mereka.
Oleh karena itu, sejauh mana bangsa dan negara ini bisa menghargai dan meneladani kiprah para pejuang, baik yang sudah terpilih menjadi pahlawan atau belum. Sebab, kalau ini hanya berhenti pada sisi seremonial simbolik, maka itu hanya akan menjadi kenangan indah, tapi tidak menimbulkan kesadaran dan perjuangan sejarah.
Penulis jadi ingat puisi Chairil Anwar berjudul “Karawang Bekasi” yang salah satu baitnya berbunyi:
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Ya. Mereka para pahlawan secara fisik sudah meninggal dunia. Tugas generasi yang masih hidup adalah meneruskan cita-cita luhur mereka memberikan arti perjuangan mereka dan terus berjaga menyatakan kebenaran dan jangan sampai kehilangan mimpi. Salah satunya, adalah KH Abdul Kahar Mudzakkir; salah satu tokoh yang nyaris dilupakan sejarah.* Mahmud Budi Setiawan