Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Alwi Alatas
Nusantara memang telah dikenal oleh para pedagang dan pelancong Muslim sejak lama. Abū Zayd al-Sīrāfī, seorang pedagang Muslim abad ke-10, yang menggabungkan ke dalam bukunya sebuah buku lain yang ditulis pada tahun 237H atau sekitar tahun 850 Masehi, bercerita tentang negeri-negeri di sepanjang Samudera Hindia yang telah dikunjungi oleh para pelaut dan pedagang Muslim.
Menurutnya pada pertengahan abad ke-9 itu arus informasi tentang Hindia dan China melalui jalur laut sangat lancar karena ada begitu banyak pedagang yang pergi dari dan kembali ke Iraq dari wilayah-wilayah tersebut (Al-Sīrāfī, 1999: 53). Di dalam buku itu diceritakan tentang negeri-negeri yang berada di wilayah Nusantara, antara lain Fanshūr dan Zābaj, keduanya berada di Sumatera.
Fanshūr terletak di bagian barat Sumatera Utara dan pantai utamanya disebut juga sebagai pelabuhan al-Kāfūr. Negeri itu memiliki bandar-bandar pelabuhan yang terkenal (Shihāb, 2010: 54). Menurut Tome Pires, seorang apoteker dan pelancong Portugis yang datang ke Nusantara pada awal abad ke-16, negeri ini dikenal juga sebagai Barus dan kedua nama itu, yaitu Fanshūr dan Barus, mengacu pada entitas yang sama. Negeri itu kadang disebut juga sebagai Pansur atau Panchur, yang boleh jadi mengacu pada kata Melayu ’pancur’ (Pires & Rodrigues, 1944: 161). Negeri ini memang telah dikenal sejak lama, terutama karena kapur barus yang dihasilkannya. Ibn Khurdadzbih (1889: 66), seorang ahli geografi Muslim di bawah pemerintahan Abbasiyah, telah menyebut tentang Bārūs dan Zābaj di dalam kitabnya al-Masālik wa-l-Mamālik kurang lebih pada pertengahan abad ke-9 Masehi. Menurutnya di negeri Bārūs terdapat kamper yang berkualitas tinggi, juga padi, tebu, kelapa, dan pisang, di samping masih ada sebagian penduduknya yang makan daging manusia.
Adapun Zābaj, atau Sribuza, dianggap oleh para peneliti sebagai sebutan Arab untuk Kerajaan Sriwijaya. Encyclopaedia of Islam dalam penjelasannya tentang Zābaj berpandangan bahwa kata ini mengacu pada Dinasti Sailendra yang pada awalnya berkuasa di Jawa tetapi sejak paruh kedua abad ke-9 pusat kekuasaannya mulai bergeser ke Sumatera (Bearman et.al., 2002: 367-368).
Kerajaan ini dipimpin oleh seorang yang disebut sebagai maharāja dan di wilayah kekuasaannya antara lain terdapat kamper (kāfūr), kayu cendana, dan gading (Al-Sīrāfī, 1999: 66). Negeri ini merupakan salah satu sentra perdagangan penting serta memiliki pasar-pasar yang besar.
Banyaknya pedagang asing yang datang ke tempat ini membuat industri penukaran uang tumbuh pesat sehingga negeri ini memiliki pasar khusus untuk penukaran uang, walaupun transaksi menukar uang dapat juga dilakukan di tempat-tempat yang lain (Ibn Syahriyār, 2000: 132). Menurut Ibn Khurdadzbih di negeri itu terdapat pohon kamper yang sangat besar sehingga bisa menaungi seratus orang dan darinya dihasilkan air dan getah kamper (Ibn Khurdadzbih, 1889: 65).
Buzurk ibn Syahriyār (2000: 146-147) di dalam ‘Ajā’ib al-Hind memberikan cerita yang menarik tentang cara duduk di kerajaan Zābaj. Dikatakan bahwa di negeri itu semua orang wajib duduk bersila saat menghadap pejabat negeri atau mereka yang melanggarnya akan dikenakan denda.
Hal ini berlaku juga bagi kaum Muslimin dan orang asing yang tinggal di sana. Namun aturan ini akhirnya dikecualikan secara khusus dari kaum Muslimin yang berasal dari negeri lain disebabkan pejabat di negeri itu menyadari bahwa terkadang di antara orang-orang Islam ini ada orang yang sudah berusia tua dan tidak kuat duduk bersila terlalu lama. Yang menarik adalah Buzurk mengutip kata Melayu ’bersila’ (al-barsīlā) di dalam kitabnya itu.
Bersila di Negeri Kāfūr: Kehadiran Pedagang Muslim di Nusantara sebelum Abad ke-10 Masehi [1]
Informasi-informasi di atas memperlihatkan betapa pada abad ke-9 wilayah Nusantara telah dikenal oleh para pedagang dan penulis Muslim dan para pedagang Muslim telah biasa bolak-balik ke wilayah ini. Sejak masa yang dini para pedagang Muslim telah bersila di negeri kāfūr. Mereka tampaknya diperlakukan dengan sangat baik, dihormati, dan karenanya berhak menerima satu pengecualian khusus dari adat setempat yang dipelihara kuat.
Lalu apakah benar salah satu raja Sriwijaya telah berkirim surat dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan menyatakan ketertarikannya pada Islam?
Kita hanya bisa melihat hal ini sebagai sebuah kemungkinan. Jika angin musim telah meniup layar-layar kapal Arab dan Muslim melintasi Samudera Hindia dan Selat Malaka sejak abad-abad yang awal, angin yang sama boleh jadi telah menerbangkan surat dari negeri Timur yang jauh ke pusat pemerintahan Islam di Damaskus, membawa serta aroma kāfūr di dalamnya. Wallahu a’lam.*
Penulis buku Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III