Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Muhammad Pizaro
Selain di Madura, gelora perlawanan melawan Agresi Militer Belanda I juga meletus di Aceh. Jelang bulan suci Ramadhan, ulama Aceh menggelar rapat umum di pekarangan Masjid Raya Baiturrahman. Dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an, para ulama, menegaskan, puasa tidak boleh menghalangi seseorang untuk berjuang. Karena itu, sambil berpuasa berjuanglah, dan sambil berjuang berpuasalah! Demikian pesan para ulama yang memanfaatkan mimbar rapat umum tersebut untuk menyampaikan penerangan mengenai kewajiban berpuasa di tengah perjuangan kemerdekaan yang sedang memuncak.
Residen Aceh juga mengeluarkan seruan sama agar umat Islam di Aceh senantiasa siap-sedia menghadapi segala kemungkinan yang datang akibat keserakahan Belanda.
“Jadikanlah ibadah puasa sebagai jembatan untuk mempertebal iman dan perjuangan. Kita selalu digempur dengan cara besar-besaran oleh tentara Belanda. Jangan disangka kita akan lemah dalam menghadapi mereka karena kita sedang berpuasa. Kita kuat dan tetap kuat menghadapi mereka, kapan saja dan di mana saja,” demikian maklumat Residen Aceh dalam rapat umum yang ditutup lewat pembacaan do’a. Lihat: Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, Kronik revolusi Indonesia jilid III (1947), Jakarta: KPG, 1999]
Kisah heroisme ulama Aceh melawan penjajah Belanda memang bukanlah barang baru. Pada 2 abad silam (dimulai 1873 M), Aceh pernah terlibat perang hebat melawan Belanda. Perang antar rakyat Aceh dengan Belanda terjadi setelah Traktat Sumatera (1871) ditandatangani, antara Belanda dan Inggris untuk mengganti Traktat London (1824) yang menghormati kedaulatan Aceh.
Namun apa dikata, Traktat yang baru justru memberikan peluang besar bagi Belanda untuk kembali menguasai Aceh sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1: Inggris menghapus perhatiannya atas perluasan Belanda dimanapun di Pulau Sumatera. [Lihat: Imran T. Abdullah, Ulama dan Hikayat Perang Sabil dalam Perang Belanda di Aceh, dalam Jurnal Humaniora UGM, Volume XII, No3/2000]
Guna memompa semangat juang masyarakat Aceh, para ulama menulis sajak-sajak yang dikenal sebagai Hikayat Perang Sabil (HPS). HPS adalah syair yang berisi anjuran untuk berkontribusi dalam perang melawan penjajahan Belanda yang disampaikan kepada masyarakat luas. Umumnya, HPS disampaikan di lingkungan Meunasah, Dayah, rumah, atau tempat persembunyian para pejuang.
Baca: Ramadhan di Ayn Jalut
Kebanyakan HPS ditulis oleh ulama sebagai pemantapan dan perluasan dari khotbah-khotbah yang mereka sampaikan. Hal ini sengaja dilakukan untuk mempermudah masyarakat menghayati seruan ulama.
Tak sanggung-tanggung, Hikayat ini bahkan mengajak masyarakat untuk merenung apalah arti sholat dan puasa, jika tak turut melawan penjajah Belanda. Seruan ini kemudian dijawab oleh ribuan muslim Aceh yang turut berjihad mengusir penjajah Belanda. Berikut salah satu petikannya:
Waktu kafir menduduki negeri
Semua kita wajib berperang
Jangan diam bersunyi diri
Di dalam negeri bersenang-senang
Di waktu itu hukum fardhu ain
Harus yakin seperti sembahyang
Wajib kerjakan setiap waktu
Kalau tak begitu dosa hai abang
Tak sempurna sembahyang puasa
Jika tak mara ke medan perang
Fakir miskin, kecil dan besar
Tua, muda, pria dan wanita
Yang sanggup melawan kafir
Walaupun dia budaknya orang
Hukum fardhu ain di pundak kita
Meski tak sempat lunaskan hutang
Wajib harta disumbangkan
Kepada siapa yang mau berperang
[Lihat: Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987]
Dari sajak dan fakta-fakta di atas, kita dapat mengambil kesimpulan, para ulama Indonesia telah mengajarkan bahwa ibadah-ibadah mahdhoh haruslah berbanding lurus dengan semangat memperjuangkan agama Islam. Bulan puasa pun tidak menghalangi mereka untuk pergi berperang meski dalam kondisi lapar, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan kaum muslimin saat perang Badar. Semoga sejarah emas ini kembali diingat pemerintah dan masyarakat pada umumnya atas pengorbanan umat Islam dalam mempertahankan kemerdekaan.*
Wartawan dan penulis buku