Oleh: Andi Ryansyah
Lanjutan artikel PERTAMA
Islam dan Negara
Bagi Deliar Noer, Islam bukan hanya soal ibadah seperti shalat lima waktu, zikir, do’a, puasa, zakat, atau naik haji, tapi juga ajaran yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk politik. Pedoman politiknya adalah ajaran Islam. Deliar sering menekankan soal moral yang harus dibawa dalam politik.
“Politik Islam, “kata dia dalam buku Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia (1999), “menuntut penganutnya untuk mengikutsertakan akhlak, etika, dan moral dalam sikap dan tindakannya.” Kalau tidak, lanjutnya, maka yang lebih menonjol adalah sikap pragmatis. Hanya mengejar kursi dan harta dengan menghalalkan segala cara.
Ia mencontohkan etika dan moral yang perlu ditegakkan dalam kehidupan bernegara yakni amanah, jujur, adil, tidak serakah, egaliter atau tidak diskriminatif, menyejahterakan masyarakat, membela kaum lemah, tanggung jawab, satu kata satu perbuatan, memenuhi janji, dan rahmat bagi semua.
“… moral dan etika yang dibawa Islam …, bukan saja sejalan dengan aspirasi dan cita-cita kita berbangsa dan bernegara, malah memperkuatnya dengan melaksanakannya dengan lebih konsisten,” kata Deliar di buku 80 tahun Deliar Noer (2007). Berbeda dengan kehidupan sekular di Barat. Bukan tidak ada moral dan etika di sana, tapi ukuran baik buruk sebuah tindakan hanya didasarkan pada akal saja. Akibatnya bisa terjadi perbedaan penilaian. Juga bisa bertentangan dengan agama. Contohnya LGBT yang dilegalkan di Barat karena dianggap Hak Asasi Manusia (HAM). Ini jelas bertentangan dengan agama. Kalau moral dan etika macam ini yang dibawa ke dalam politik di Indonesia, maka tidak sejalan dengan dasar negara Pancasila.
Bila sekarang-sekarang ini kita melihat banyak pejabat negara yang korupsi di koran dan televisi, maka itu bukan karena politik kotor, melainkan lantaran terputusnya moral dan nilai agama dari politik. Moral dan nilai agamalah yang menjadikan politik bersih. Menjadi kewajiban bagi politisi sekarang ini untuk menegakkannya dalam berpolitik.
Partai Islam
Deliar adalah orang yang tidak menganggap remeh arti sebuah simbol. Meski substansi ajaran Islam menurutnya lebih penting. Simbol menurutnya sangat berperan terutama dalam memadatkan maksud yang disampaikan. Simbol bisa menggembirakan, menumbuhkan kebanggaan, dan memudahkan pemahaman. Kalau substansi lebih dipahami oleh kaum intelektual, tapi kalau orang awam biasanya lebih mengikuti saja. Dan simbol memudahkannya mengikuti itu (Deliar Noer, Republika 4/9/2000). Substansi Islam yang dipahaminya membuat Deliar menganggap perlunya ada sebuah Partai Islam.
Baca: Syamsuddin Arif: Politik Islam berbeda dengan Islam Politik
Ia berbeda pandangan dengan Nurcholish Madjid atau Cak Nur yang pernah menyuarakan Islam Yes, Partai Islam No. Bagi Deliar, Islam Yes, Partai Islam Yes. Setelah Gestapu terjadi, Deliar ikut membantu Bung Hatta merumuskan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Tapi sayang, maksud mendirikan PDII kandas di tengah jalan karena presiden Soeharto melarangnya. Ketika reformasi bergulir, Deliar mendirikan Partai Ummat Islam (PUI). Partainya ini adalah partai Islam pertama yang dibentuk pada masa itu. Tampaknya Deliar ingin memberi contoh kepada umat bahwa dalam demokrasi, kita tidak perlu minder dan takut-takut menunjukkan identitas keislaman dan menegakkan ajaran Islam dalam politik. Sebab itu dilindungi oleh Undang-Undang.
Orang seperti Deliar sering dianggap sebagai Islam politik. Tapi Deliar sendiri mempersoalkan pembagian Islam politik dan Islam kultural. Menurut dia selain bermasalah secara teori, tapi juga mengingatkan pada kebijakan yang dianjurkan oleh pakar Islam Belanda C. Snouck Hurgronje kepada pemerintah Hindia Belanda agar membiarkan “Islam ibadah” dan melarang “Islam politik” (Deliar Noer et al., 1999, Mengapa Partai Islam Kalah?).
Ada saran dari Deliar yang rasanya sangat penting untuk disimak oleh Ormas Islam dan Partai Islam. Yakni agar kedua tokoh menjalin hubungan yang intim sebagaimana dulu federasi Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang mencakup Ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah dan juga Partai PSII.
Tokoh-tokoh Ormas Islam jangan hanya membiarkan atau menonton partai Islam berlaga. Tapi juga ikut membantu dengan menyumbangkan pikiran dan amar ma’ruf nahi munkar. Seperti ketika dulu pada masa revolusi, tokoh-tokoh Ormas Islam (termasuk tokoh-tokoh pendidikan baik di pesantren maupun sekolah modern) membantu partai Masyumi dengan ide-ide.
Selain itu, Deliar juga menyarankan agar partai-partai Islam bekerjasama untuk menegakkan keadilan, kerukunan, dan kesejahteraan bersama. “… kalau bisa penyatuan partai-partai ini ke dalam aliansi, dan akhirnya fusi.” (Deliar Noer et.al., Mengapa Partai Islam Kalah? 1999) Semoga harapannya itu bisa diwujudkan oleh partai-partai Islam sekarang.*
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)