Hidayatullah.com | HARUM dan masyhurnya para pahlawan, sedikit-banyaknya, tak bisa dilepaskan dari peranan brilian sang istri. Dalam jenak-jenak perjuangan, kontribusi mereka bukan saja sebagai pelipur lara, penyirna gulana atau penenang jiwa bagi suami. Lebih dari itu, mereka juga ikut berkorban sesuai dengan kemampuan maksimal yang dimiliki, seperti: menjual barang berharga untuk membantu suami tercinta.
Pembaca mungkin sudah tidak asing dengan sosok H. Agus Salim. Di balik kepahlawanan beliau, ada figur istri bernama: Zainatun Nahar. Selama hidup dengan The Grand Old Man, perempuan ini telah menempuh banyak perjuangan. Penderitaan demi penderitaan sudah biasa dialaminya.
Untuk membantu perjuangan sang suami, Zainatun Nahar rela menjual barang berharganya. Dalam buku “100 Tahun Haji Agus Salim” (1996: 78). Pernah suatu saat Haji Agus Salim kehabisan uang untuk membayar karyawan pada surat kabar yang dipimpinnya. Karena memang tidak punya, akhirnya sang istri berinisiatif menjual beberapa perhiasannya untuk menutupi kebutuhan tersebut.
Figur Ir. Soekarno yang begitu fenomenal dan mensejarah itu juga tak lepas dari peran istri. Salah satunya adalah Inggit Garnasih. Dalam buku “Ku Antar Kau ke Gerbang” karya Ramadhan KH. Saat mereka dalam zaman prakemerdekaan, saat-saat susah, peran Inggit tak bisa dikecilkan.
Untuk membantu aktivitas sang suami, inggit sampai harus menjual perhiasan dan harta bendanya. Di samping itu, beliau juga membelikan buku-buku yang dibutuhkan oleh Soekarno. Sayangnya, kebersamaannya bersama Soekarno tidak berlangsung lama. Seperti judul buku yang ditulis Ramadhan KH. tadi, hanya sampai ke gerbang kemerdekaan Indonesia. Padahal, peran Inggit terhitung besar bagi sosok sekaliber Bung Karno.
Kemudian, siapa yang tak kenal sosok besar Jenderal Soedirman yang dengan satu paru-parunya masih tegar dalam melakukan perlawanan gerilya melawan Belanda? Di balik beliau, ada sosok yang bernama Siti Alfiah.
Solichin Salam dalam buku “Djendral Soedirman Pahlawan Kemerdekaan” (1963: 115, 116) mengisahkan bahwa saat beliau meninggalkan Yogyakarta untuk gerilya, beliau mengirim utusan untuk bertemu istri beliau. Intruksi beliau, “Mintalah barang perhiasan setjukupnja kepada ibumu serta beritahukan bahwa barang-barang tersebut akan dipakai bekal gerilja, jang lamanya tidak bisa dipastikan.”
Bayangkan! Siti Alfiah sebagai istri, bukan saja mengorbankan harta yang dimilikinya untuk perjuangan sang suami. Tapi dalam waktu yang sama dirinya harus siap dan rela kalau suami tercintanya itu bisa saja gugur di medan perjuangan. Suatu peran yang tidak bisa dipandang remeh.
Nurnahar, istri Pahlawan Nasional: Mohammad Natsir, juga besar jasanya bagi perjuangan suaminya. Dalam buku berjudul “Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan” (1978: 38), dikisahkan bahwa saat membangun sekolah Pendis (Pendidik Islam), Natsir sempat kehabisan dana. Nurnahar pun bertindak cepat. Akhirnya, gelang emasnya digadaikan untuk menutupi kebutuhan itu. Gelang itu baru bisa diambil setelah memiliki uang. Padahal, gelang emas itu –menurut cerita Natsir—bukan hasil pemberiannya, tapi sudah dimiliki sejak sebelum menikah dengan Natsir.
Tak hanya itu, rupanya Nurnahar pada tahun 1934 turut menjadi guru taman kanak-kanak di Pendis. Artinya, selain kontribusi harta, sang istri juga memperbantukan tenaganya untuk perjuangan Natsir dalam dunia pendidikan (Baca: Majalah Tempo “Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim.”)
Hamka pun demikian. Salah satu kesuksesan perjuangan beliau, tentunya setelah pertolongan Allah, tidak bisa dilepas dari sang istri: Sitti Raham. Hal itu bisa dibaca dalam buku anggitan Yusran Rusydi yang bertajuk “Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka” (1981). Pada zaman revolusi, kondisi begitu sulit. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti : makan, sang istri harus menjual harta benda simpanannya yang dibawa dari Medan. Tak tanggung-tanggung, kalung, gelang emas dan kain batik halus yang dibeli sewaktu Hamka jadi Redaktur Pedoman Masyarakat, dijual di bawah harga pasar agar anak bisa makan dan sekolah.
Sebagai tambahan, bukan bermaksud membatasi, adalah istri dari Pahlawanan Nasional Teuku Nyak Arif (Sang Gebernur Aceh Pertama), yaitu: Cut Nyak Jauhari. Dalam buku “Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif” (1992: 21) karya Mardanas Safwan dikisahkan secara jelas bagaimana peran sang istri dalam membantu perjuangan kemerdekaan.
“Pernah Teuku Nyak Arif,” tulis Safwan, “menyuruh istrinya menjual perhiasan untuk membiayai perjuangan kemerdekaan Indonesia.” Kisah-kisah semacam ini banyak sekali menghiasi perjuangan para pahlawan. Ini menunjukkan bahwa peranan istri memang amat besar. Dan tindakan mereka bisa disejajarkan dengan kerja-kerja kepahlawanan yang patut diapresiasi.
Akhirnya, kita sejenak melompat ke sosok manusia dan Rasul teragung: Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengetahui betapa besar peran istri dan sejauh apa beliau dalam mengapresiasinya. Kontribusi sang istri: Khadijah (yang dikenal kaya raya); dalam dakwah beliau sangatlah besar. Hampir seluruh hartanya habis untuk kepentingan perjuangan Islam.
Rasulullah ﷺ sangat mengapresiasi perjuangan sang istri. Sampai-sampai, meskipun sudah meninggal dunia, beliau tetap sering menyebutnya dan sering memberikan sesuatu kepada keluarganya.
Karena itulah, ketika ‘Aisyah cemburu lantas “mencemooh” Khadijah sebagai tua renta dan mengaku dirinya lebih baik dari istri pertama Nabi itu, perhatikan jawaban beliau yang sangat mengharukan dan penuh apresiasi, “Demi Allah! Allah belum menggantikan (posisi) yang lebih baik daripada Khadijah. Ia sudah beriman lebih awal kepadaku, saat orang lain ingkar kepadaku; ia membenarkan dan menolongku dengan hartanya; dan semua anakku (kecuali Ibrahim) lahir dari rahimnya.” (HR. Ahmad)/*Mahmud Budi Setiawan