Mahmud Budi Setiawan
Hidayatullah.com – Tahukah pembaca yang budiman, ulama kondang yang dikenal dengan panggilan Buya Hamka dulunya adalah anak nakal. Kemudian beliau segera insaf dan berusaha menjadi lebih baik. Kisah ini beliau ceritakan dalam tafsir Al-Azhar ketika menafsirkan ayat berikut:
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaaf [46]: 15)
Mari kita simak penuturan beliau secara langsung sebagaimana yang penulis nukil berikut ini:
Al-Hamdulillah, Tuhan memberikan agak cepat keinsafan kasih ibu-bapak itu kepadaku. Aku di waktu kecil terhitung anak nakal, bengal, kurang patuh kepada ayahku, sehingga aku dikatakan orang anak yang sukar dibentuk.
Perjalanan mengerjakan haji yang pertama adalah kekerasan hatiku sendiri, yang maksud semula hendak menunjukkan kepada ayahku bahwa aku ini tidaklah seburuk yang beliau sangka.
Setelah aku pulang (1928), aku beliau carikan tunangan. Bapak kecilku Haji Yusuf Amrullah (meninggal 1l Ramadhan 1393 dalam usia 85 tahun) berkata kepadaku: “Terimalah jika engkau dipertunangkan oleh ayahmu, untuk mengobat hati beliau. Sebab perginya engkau ke Makkah dengan kehendakmu sendiri, tidak dengan perbelanjaannya sangat melukai hati beliau!”
Lalu aku jawab: “Baiklah!” Dan setahun di belakang itu (5 April 1929) dalam usiaku baru 21 tahun syamsiyah, aku telah kawin. Maka dalam usia 23 tahun, dua tahun setelah kawin aku diberi kurnia anak pertama, dan aku beri nama Hisyam. Dilahirkan di kampung halamanku di Sungaibatang Maninjau, dalam diri masih miskin dan masih banyak bantuan orang tua.
Di akhir tahun itu juga aku berangkat ke Makassar jadi Muballigh Islam atas prakarsa Perserikatan Muhammadiyah. Maka sejak waktu itulah beransur Allah menumbuhkan dalam hatiku rasa khidmat kepada orang tua. Mulailah aku memberikan hadiah ala kadarnya kepada ibuku.
Setelah ibuku mulai merasakan kasih-sayang anaknya ini, maka pada tahun 1934 beliau pun berpulang ke rahmatullah. Usiaku ketika itu baru 26 tahun. Maka pada tahun 1936 dalam usiaku 28 tahun barulah aku memulai pula menunjukkan hormat dan rasa cinta kepada ayahku.
Dari mana pun aku kembali dari perjalanan. selalulah teringat membawakan beliau hadiah ala kadarnya. Kadang-kadang sarung. Kadang-kadang songkok, kadang-kadang tongkat! Semuanya beliau sambut dengan gembira. Dan beransur pula tumbuh dalam hatinya rasa bangga, bahkan titik air matanya lantaran terharu melihat perkembanganku dalam masyarakat.
Tetapi dalam mulai tumbuhnya kasih mesra kami, kebanggaan beliau mempunyai anak yang beliau sebutkan “Si Malik”, atau menurut orang lain dengan di tambah “Si”, yaitu “Si Hamka”, di bulan Januari 1941 dia ditangkap Belanda dan diasingkan ke Sukabumi. Barulah aku sempat menemui beliau setelah aku datang melihatnya di Jakarta di zaman Jepang pada tahun 1943.
Usiaku ketika itu telah 34 tahun! Waktu telah bertemu dengan beliau itu. lebih mendalamlah pengaruh ayat 15 daripada Surat al-Ahqaaf ini ke dalam jiwaku sendiri bilamana selesai sembahyang lima waktu. Beliau sendiri pun membaca doa memakai ayat ini seketika kami akan berpisah, setelah datang waktunya (April 1943) saya akan kembali ke Medan. Setelah itu kami tidak bertemu lagi.
Pada bulan Juni tahun 1945, dua bulan sebelum Indonesia merdeka. beliau pun telah menghembuskan nafas yang penghabisan. Baru pada 19 Disember 1949 saya dapat ziarah ke kuburan beliau di Karet Tanah Abang. Doa itu masih diteruskan dalam ayat selanjutnya: “Doa supaya aku berbuat amal shalih yang Engkau ridhai.”
Maka setelah mensyukuri karena kita dilahirkan ke dunia oleh dua orang ibu-bapak yang baik-baik dan kita muliakan dan kita wajib berbuat baik kepada beliau dengan berkhidmat kepadanya di kala hidupnya dan mendoakannya setelah keduanya meninggal.
Kisah Hamka ini memberi pelajaran: Pertama, anak yang sebelumnya dianggap nakal, bisa jadi Allah memberi hidayah untuk berubah menjadi lebih baik. Jadi, kita tak boleh gampang menghukuminya. Yang bisa kita lakukan adalah mendoakannya.
Kedua, anak wajib berbakti atau berbuat baik kepada orang tuanya bagaimana pun sikap orang tua kepadanya. Bahkan dalam al-Qur`an, kalaupun orang tua kafir, tetap disuruh berbuat baik. Meski tak harus mengikuti kekafirannya.
Ketiga, jadilah anak yang membanggakan orang tua dan peduli kepada orang tua. Kadang-kadang, yang diinginkan orang tua tidak selalu hal mewah. Kadang cukup dengan silaturahim, memberi hadiah ala kadarnya, memperhatikannya dan semacamnya, dia sudah bangga kepada anak-anaknya. Semakin tua usia orang tua, biasanya semakin ingin dimengerti, maka ini kesempatan emas untuk berbakti, sebagaimana Buya Hamka tadi.