Ketiga, mendatangkan para ulama syiah dari luar Iran
Walaupun keyakinan awal pemimpin Safawi bersifat ghuluw dan cenderung menuhankan Ali, pada perkembangannya kebijakan keagamaan kerajaan ini diarahkan pada tradisi keagamaan yang lebih sejalan dengan teologi yang dianut oleh para ulama Syiah Itsna Asyari.
Ketika Kerajaan Safawi berdiri pada awal abad ke-16, Iran tidak memiliki ulama dan teolog Syiah yang representatif. Bahkan ketika Shah Ismail menguasai kota Tabriz dan menjadikannya sebagai ibukota pemerintahannya, ia hanya dapat menemukan sebuah manuskrip saja yang berkenaan dengan dasar-dasar ajaran Syiah Itsna Asyari (Keddie, 2003: 10). Demikian pula di kota Kashan yang terkenal sebagai tempat pendukung kuat Syiah, selama lebih dari sepuluh tahun pemerintahan Shah Ismail tidak ditemukan seorang ulama Syiah yang kompeten (Turner, 2000: 50).Kota Kashan diyakini oleh masyarakat Syiah setempat sebagai tempat pelarian orang yang telah membunuh Umar bin Khattab ra, yaitu Abu Lu’lu’ah (Fairuz Nahavandi), yang menurut sumber-sumber Sunni mati bunuh diri di tempat kejadian setelah membunuh Umar. Sebuah bangunan besar didirikan di tempat yang dipercayai sebagai makam Abu Lu’lu’ah di Kashan. Pemujaan dan penokohan Abu Lu’lu’ah antara lain dilakukan oleh Dinasti Safawi yang menyebutnya dengan nama Baba Shuja’ al-Din yang kurang lebih bermakna ‘seorang pemberani di jalan agama’ (http://www.cais-soas.com/News/2007/June2007/28-06.htm).
Ketiadaan ulama di Iran ditutupi dengan mengundang para ulama Syiah dari luar Iran, terutama dari wilayah Jabal Amil di Lebanon, yang pada masa itu berkembang sebagai salah satu pusat madrasah Itsna Asyari terpenting dan paling berpengaruh. Para ulama yang menguasai teologi Syiah dan Sunni ini digunakan oleh pemerintahan Safawi untuk mengokohkan Syiah sebagai keyakinan resmi negara (Voll, 1994: 80).Para ulama ini, khususnya para ulama Jabal Amil, berperan besar dalam menjadikan pemahaman Syiah di Iran pada masa ini lebih sejalan dengan ortodoksi teologi yang dipahami oleh para ulama Itsna Asyari. Pada saat yang sama, mereka juga ikut berperan dalam proses perubahan gradual masyarakat di wilayah itu dari mayoritas Sunni menjadi Syiah (Nasr, 1974: 274-6; Arjomand, 1985). Rula Jurdi Abisaab (2004) secara khusus menulis dalam bukunya, Converting Persia, tentang peranan para ulama dari Jabal Amil yang datang ke Iran dalam proses perubahan keagamaan masyarakat di wilayah itu. Bagaimanapun, semakin besarnya peranan ulama tidak bermakna unsur-unsur kekerasan dalam proses konversi Syiah di Kerajaan Safawi pada masa-masa yang belakangan sudah tidak ada lagi. Sebagian ulama Syiah di pemerintahan Safawi, seperti Muhammad Baqir Majlisi (w. 1699), ikut berperan aktif dalam penindasan masyarakat Sunni di beberapa tempat (Abisaab, 2004: 128).
Faktor ulama tampaknya merupakan faktor terpenting dalam proses konversi ini. Pada masa ini, tradisi keulamaan Syiah sedang berkembang, dan bertambah pesat dengan adanya pemerintahan Safawi.Tradisi keulamaan Syiah masih terus berkembang hingga ke abad-abad berikutnya.Sementara itu, tradisi keulamaan Sunni justru sedang mengalami kelesuan, walaupun ketika itu kesultanan Turki Utsmani sedang berada di puncak kejayaannya.Sejak masa ini, kita tidak mendengar lagi adanya ulama-ulama Ahlu Sunnah dengan kompetensi yang menyamai para ulama besar dari generasi-generasi sebelumnya.Jadi faktor internal di dunia Sunni sendiri ikut mempengaruhi terjadinya dinamika keagamaan yang terjadi pada kurun ini dan setelahnya.
Bersamaan dengan menguatnya peranan para ulama Syiah di Iran pada masa-masa ini, kita juga melihat sebuah fenomena lain yang menarik, yaitu proses marjinalisasi sufisme di Iran. Sebagaimana telah dibahas dalam artikel sebelumnya, Iran menjelang kemunculan Kerajaan Safawi merupakan tempat yang subur bagi kelompok-kelompok tasawuf. Gerakan Safawi sendiri pada awalnya merupakan sebuah tarekat sufi bermadzhab Syafi’i. Namun, seiring dengan menguatnya ortodoksi Syiah di pemerintahan Safawi, sufisme mulai dimusuhi. Sebenarnya, upaya penyatuan ide-ide tasawuf, filsafat, dan teologi Syiah oleh beberapa ilmuwan Syiah, seperti Sadr al-Din Shirazi atau lebih dikenal sebagai Mulla Sadra (w. 1640), justru mencapai puncaknya pada masa-masa ini.Namun pada perkembangannya, para ulama Syiah orthodoks yang tidak menyukai ide-ide ini mengeliminir perkembangan pemikiran ini di tengah masyarakat.
Tarekat-tarekat Sufi yang ada di Iran pada masa itu, seperti tarekat Nurbakhsi, Zahabi, Qadiri, Baktashi, dan Nikmatullahi, walaupun pada awal masa pemerintahan Safawi masih berkembang, tapi pada masa-masa berikutnya mulai mengalami kesulitan. Tarekat-tarekat sufi ini mengalami proses marjinalisasi dan banyak yang menghilang dari wilayah Iran pada akhir masa pemerintahan Dinasti Safawi. Mereka yang bertahan atau dapat kembali ke kantong-kantong keilmuwan Syiah pada masa berikutnya terpaksa menggunakan nama-nama lain yang lebih dapat diterima oleh para ulama Syiah di wilayah ini.Walaupun pada masa pra-Safawi ada klaim “sufisme syiah sebagai sufi sejati”, sebagaimana yang diucapkan oleh seorang ulama Syiah, Sayyid Haydar al-Amuli, pada kenyataannya marjinalisasi terhadap sufisme tetap terjadi di Iran(Nasr, 1974: 277-80).
Gerakan untuk mereduksi pengaruh sufisme oleh para ulama orthodoks syiah ini terutama berlaku pada paruh kedua abad ke-17 dan setelahnya ketika pengaruh orthodoksi Syiah semakin kuat di pemerintahan Safawi.Permusuhan terhadap tasawuf antara lain dilakukan oleh Mullah Muhammad Taqi Qumi, Muhammad Baqir Majlisi (w. 1699), Syaikh Muhammad al-Amili (w. 1691/2), serta al-Hurr al-Amili, Syaikh al-Islam untuk wilayah Mashhad, yang mengemukakan 1000 hadits yang menentang tasawuf (Arjomand, 1985: 207). Gerakan ini menyebabkanperkataan sufi menjadi sebuah ungkapan yang buruk di Iran pada akhir masa Dinasti Safawi dan tarekat dianggap sebagai musuh negara (Keddie, 2003: 11).
Sementara pada saat yang sama, berbagai ciri khas kaum sufi, seperti kemampuan supranatural (karamah) dan kesempurnaan spiritual, diambil alih dan diklaim sebagai milik para ulama Syiah orthodoks (Abisaab, 2004: 5). Kalaupun pada sistem administrasi kerajaan Safawi masih digunakan kata Sufi, seperti yang disebutkan oleh Minorsky (1980: 33-4) dalam kata pengantarnya terhadap terjemahan kitab Tadhkirat al-Muluk yang berisi sistem administrasi pemerintahan Safawi, maka maknanya sama sekali berbeda dengan pengertian umum yang diwakili oleh kata ini, walaupun asal-usulnya mungkin dapat dilacak pada masa-masa perkembangan dinasti Safawi sebagai sebuah tarekat sebelum berdirinya Kerajaan Safawi. Sufi yang terdapat di dalam administrasi pemerintahan Safawi ini adalah pengawal khusus Shah (Raja) yang jumlahnya 200 orang, dengan menggunakan peci khusus dan dipersenjatai sebilah pedang, belati, dan kapak, serta dikenali dengan kumisnya yang khas, dan bukannya kumpulan orang yang sibuk dengan ibadah serta menjauhkan diri dari dunia.
Sebagai penutup, fenomena marjinalisasi tasawuf pada akhir masa pemerintahan Safawi digambarkan dengan baik oleh Hossein Nasr (1974: 278-9) dengan kata-kata berikut:
“Menjadi ciri-ciri dari kehidupan keagamaan Safawi Persia bahwa sebuah dinasti yang bermula dari sebuah tarekat sufi bergerak begitu jauh ke arah esoterisisme dalam hal mana Mulla Muhammad Baqir Majlisi, ulama paling berpengaruh yang telah menulis al-Anwar (Bihar al-Anwar), meninggalkan Sufisme (yang dianut) ayahnya sendiri Mulla Muhammad Taqi dan memaksa seorang hakim (teosofer atau pakar metafisika, pen.) terakhir yang besar pada masa Safawi di Isfahan, Mulla Sadiq-i Ardistani yang suci, pergi ke pengasingan. Sufisme dan hikmat-i ilahi, yang keduanya memiliki karakter esoteris, pada akhirnya dipaksa menjalani bentuk eksistensi yang marjinal pada akhir masa pemerintahan sebuah dinasti yang memiliki akar kesufian.”*/Jakarta, 30 Shawwal 1434 H/ 6 September 2013
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Daftar Pustaka
Abisaab, Rula Jurdi. Converting Persia: Religion and Power in the Safavid Empire. London: I.B. Tauris. 2004.
Amanat, Abbas. Apocalyptic Islam and Iranian Shi’ism. London: IB Tauris. 2009.
Arjomand, Said Amir. “The Clerical Estate and the Emergence of a Shi’ite Hierocracy in Safavid Iran: A Study in Historical Sociology” dalam Jurnal of the Economic and Social History of the Orient, vol. 28, No. 2. 1985. Hlm. 169-219.
Gibb, H.A.R. et.al.The Encyclopaedia of Islam, vol. 1. Leiden: Brill. 1986.
Jackson, Peter dan Laurence Lockhart.The Cambridge History of Iran, vol. 6, The Timurid and Safavid Period. London: Cambridge University Press. 1986.
Johnson, Rosemary Stanfield. “Sunni Survival in Safavid Iran: Anti-Sunni Activities during the Reign of Tahmasp I” dalam Iranian Studies, vol. 27, No. 1/4, Religion and Society in Islamic Iran during the Pre-Modern Era. 1994. Hlm. 123- 133.
Keddie, Nikki R. Modern Iran: Roots and Results of Revolution. New Haven: Yale University Press. 2003.
Minorsky, V. & Shah Ismail I. “The Poetry of Shah Ismail I” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies (SOAS).University of London.Vol. 10.No. 4.1942, hlm.1006a-1053a.
Nasr, Hossein. “Religion in Safavid Persia” dalam Iranian Studies, vol. 7, No. 1/2, Studies on Isfahan: Proceedings of the Isfahan Coloquium, part I. 1974. Hlm. 271-286.
Sarwar, Ghulam. History of Shah Ismail Safawi. Aligarh: Muslim University. 1939.
Savory, Roger. Iran under the Safavids. Cambridge: Cambridge University Press. 1980.
Stanfield -Johnson, Rosemary.“The Tabarra’iyyan and the Early Safavids” dalam Iranian Studies, vol. 37, No. 1. 2004. Hlm. 47-71.
Tadhkirat al-Muluk: A Manual of Safavid Administration (diterjemahkan oleh V. Minorsky). Cambridge: B.J.W. Gibb Memorial. 1980.
Turner, Colin. Islam without Allah?The Rise of Religious Externalism in Safavid Iran. Richmond: Curzon. 2000.
Voll, John O. Islam: Continuity and Change in the Modern World. Syracuse University Press. 1994.