Hidayatullah.com | DALAM buku “Ummat Islam Menghadapi: Konstituante” (1954: 21-24) ada ulasan menarik mengenai pidato Mohammad Natsir dalam Peringatan Nuzulul Qur`an dengan judul “Dalam Pangkuan Al Qur`an Pantjasila Hidup Subur.”
Poin pertama, Islam sebagai agama, di mana al-Qur`an menjadi Kitab Sucinya, bila diibaratkan sebagai lahan, maka merupakan tanah yang subur untuk menyemai Pancasila. Kata beliau, “Di atas tanah dan di dalam iklim Islam. Pantjasila akan tumbuh subur.”
Selanjutnya, bila diamati semua sila (dari 1-5) tidak bertentangan dengan al-Qur`an. Justru, masing-masing sila ada penguat darinya. Sila pertama misalnya yang membahas tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, ini dikuatkan dengan ajaran al-Qur`an mengenai tauhid (pengesaan Allah).
Kemudian, tutur Natsir, “Bagaimana mungkin Al Qur`an yang menegakkan istilah bainannas sebagai dasar2 jang pokok jang harus ditegakkan oleh umat Islam dapat a priori bertentangan dengan apa jang disebut perikemanusiaan.” Artinya, sesuai dengan sila kedua. Bahkan, kata “adil” dan “beradab” pun berasal dari idiom Islam.
Dari sila ketiga pun, Al-Qur`an juga telah memberikan dasar-dasar nilai berupa pengakuan akan adanya bangsa-bangsa (syu’uuban wa qabaa`ila). Keberadaan bangsa bukan untuk mencipta konflik, tapi justru untuk saling mengenal masing-masing sehingga tercipta kerukunan dan perdamaian.
Hal lain yang tak kalah penting adalah Al-Qur`an memberantas sistem masyarakat feodal serta otoriter, bahkan meletakkan dasar musyawarah dalam pemerintahan. Ini cocok sekali dengan sila keempat. Selain itu, ajaran Islam mengenai penegakan keadilan sosial, sangat pas dengan sila selanjutnya: Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia.
Dilihat dari segi ini saja, Pancasila bukan saja tidak bertentangan dengan al-Qur`an, justru membuat narasi dan nilainya semakin subur dan makmur. Akan terasa aneh dan a-historis jika ada yang mencoba membenturkannya.
Lebih jauh dari itu beliau menandaskan bahwa sila pertama dari Pancasila menggambarkan bahwa untuk mendapatkan keutamaan dan tujuan mulia, kebutuhan manusia pertama kali yang harus dipenuhi adalah kebutuhan beragama.
Pancasila yang model demikian, tutur Natsir, “akan berjumpa dengan Qur`an sebagai Induk-Serba-Sila, sumber jang tidak akan kundjung kering.”
Kalau sila pertama hanya menjadi formalitas; indah dalam kata, namun tak ada bukti dalam kehidupan nyata, maka Pancasila akan lumpuh. Akan berpengaruh besar terhadap sila-sila selanjutnya. Malahan, kalau hanya sebatas kata-kata indah, maka mudah sekali dipergunakan untuk tindakan yang tak bersila atas nama Pancasila.
Hal lain yang diungkapkan Natsir adalah bagi Muslim yang berpedoman al-Qur`an, perumusan Pancasila bukanlah sebagai barang asing dan antagonistis. Ia merupakan bagian kebajikan dalam Islam. Tentu saja bukan berarti menggambarkan seluruh kebajikan, namun sisanya sudah terkandung dalam Islam.
Sebelum mengakhiri pembahasan, Pak Natsir mengingatkan agar jangan gampang memvonis umat Islam sebagai anti Pancasila atau berupaya menghapusnya serta tidak setia dengan proklamasi. Bagi beliau, setia pada Proklamasi bukan berarti menindas dan menahan cita-cita Islam dalam kehidupan bangsa dan negara.
Aneh jika atas nama Pancasila justru melarang upaya perjuangan cita-cita kenegaraan dangan jalan demokratis yang justru bisa menyuburkan Pancasila. Hal ini sah-sah saja ketika dilakukan secara konstitusional.
Bila dirangkum dalam satu paragraf, bagi Natsir, al-Qur`an dan Pancasila tidak bertentangan; bahkan bertumbuh subur dalam pangkuannya serta menjadi induk serba sila. Sila-sila yang ada adalah cerminan di antara kebajikan-kebajikan yang ada dalam Islam. Pancasila bukan sekadar kata Indah yang digunakan sebagai pembenar kepentingan, tapi nilainya perlu terbukti dalam realita. Jangan gampang menuduh umat Islam anti Pancasila. Terakhir, bila ada yang memperjuangkan negara Islam melalui jalur konstitusional, tak perlu dihadapi secara emosional.*/Mahmud Budi Setiawan