Oleh: Mahmud Budi Setiawan
Hidayatullah.com | SETELAH keluar dari penjara Orde Lama (Orla), buku yang pertama kali dianggit oleh KH. Isa Anshary berjudul “Tugas & Peranan Generasi Muda Islam dalam Pembinaan Orde Baru” (1967). Buku ini berisi sekilas tentang bagaimana kondisi yang dihadapi Isa Anshary dan kawan-kawan sehubungan dengan rezim Demokrasi Terpimpin atau Zaman Diktator 100 Menteri dan bagaimana peran pemuda Muslim pasca runtuhnya Orla dan diganti dengan Orba.
Lebih dari itu, menurut penulis, ada yang tak boleh dikesampingkan dari buku tersebut. Yaitu 10 bekal yang dinasihatkan oleh KH. Isa Anshary untuk para generasi pejuang Islam. Mutiara-mutiara mauidzah yang terkandung di dalamnya masih sangat relevan bila dijalankan oleh para pemuda Muslim zaman now.
Pertama, isi dirimu. Yang dimaksud di sini adalah mengisi dan membina diri keyakinan dan akidah yang kuat. Hati harus dibersihkan dari segala yang merusak akidah. Saat M. Natsir berada dalam tahanan politik di Wisma Keagungan, dikatakan kepada Isa Anshary bahwa pemuda perlu mengisi dadanya dengan akidah, hukum, dan ajaran Islam. Hal itu rupanya diamini oleh pejuang lain yaitu Buya Dusky Samad.
Menurut Isa, “Pemuda Islam wajib mengasah dan mengasuh dirinya dengan akidah islamiyah, hukum dan ajaran syariat agar tidak masuk dalam kategori golongan yang disebut al-Qur`an sebagai generasi yang menyia-nyiakan shalat dan menuruti hawa nafsu.”
Kedua, rapatkan barisanmu. Meminjam istilah surah Ash-Shaf ayat 4, generasi Islam menurut beliau harus memiliki barisan yang kokoh sebagaimana laiknya shaf orang sedang berperang. Selain itu, beliau meminjam istilah Muhammad Abduh yang intinya kebatilan yang terorganisir dengan baik akan mengalahkan kebenaran yang tak terorganisir. Di sinilah pentingnya merapatkan barisan.
Ketiga, tegakkan disiplin. Disiplin, tulis beliau, adalah tunduk kepada aturan dan keputusan organisasi walaupun bertentangan dengan kemauannya sendiri.
Artinya, setiap individu pejuang semestinya berjuang secara disiplin dengan meletakkan ego sendiri untuk maslahat yang lebih besar. Suatu disiplin yang benar-benar dipraktikkan, bukan sekadar formalitas yang diistilahkan oleh beliau sebagai disiplin bangkai atau cadaverdisiplin.
Keempat, pelihara mutu. Pemeliharaan mutu itu sangat penting. Dan hal itu sangat ditentukan oleh watak, karakter, dan shibghah (celupan, indentitas) si pejuang.
Orang yang bisa menjaga mutu seperti ini, pantang baginya menjilat ke atas dan meludah ke bawah. Ia tak akan sudi mendapat harta korupsi laksana anjing yang tergiur dengan daging. Ia memfanakan dirinya dalam perjuangan, tidak takut mati dan rela berkorban. Mutu dan nilai generasi yang seperti itu pernah di miliki angkatan mujahidin zaman Nabi yang jumlahnya sedikit kuat dan berkuasa dalam menghancurkan yang besar.
Kelima, pedomani teori. Yang dimaksud dengan teori di sini kata beliau adalah suluh dan pedoman dalam perjuangan atau pengetahuan dan pengertian perjuangan. Ia berfungsi sebagai jembatan antara idealisme dengan realisme. Makanya, tulis beliau, “Perjuangan tanpa teori buta, dan teori tanpa perjuangan mati.” Mungkin dalam bahasa sekarang adalah pedoman berorganisasi yang di dalamnya ada visi, misi dan aturan yang perlu dijalankan dengan disiplin. Maka jangan sampai dalam berjuang hanya bermodalkan semangat, sedangkan pengetahuan tetang teori perjuangan sangat terbelakang.
Lima nasihat lainnya yang tak kalah penting adalah : memiliki ketahanan berjuang, membela kaum yang lemah, mencanangkan kesatuan umat, mengamankan perjuangan dan memenangkan keyakinan. Sepuluh nasihat ini tentu saja masih relevan bila dijalankan oleh generasi muda zaman sekarang. Tinggal teknis dan aplikasinya saja yang kemudian perlu dielaborasi.
Akhirnya, kita simak kata beliau yang menggerakkan nurani pemuda berikut:
“Generasi Muda Islam! Isilah dadamu dengan kejakinan, laksana batu karang di tengah samudera lepas dan luas.
Tidak berkisar walau setapak karena amuknja badai; tidak bergeser walau sedjari karena bantingan lautan. Penuhilah hidupnja dengan djihad perdjuangan, pengorbanan, kesungguhnan dan ketekunan.”*