Oleh: Beggy
Het Licht mampu terbit teratur sebulan sekali hingga tahun 1931. Dan berhasil bertahan terbit hingga JIB dibubarkan oleh Jepang pada 1942. Walaupun terbit dalam bahasa Belanda, namun pada 1928 mulai menyisipkan beberapa artikel dalam bahasa Indonesia.
Het Licht mengangkat berbagai isu yang berkenaan dengan Islam. Salah satunya adalah Isu Islam dan kebangsaan. Merebaknya semangat kebangsaan dan nasionalisme membuat JIB, sebuah organisasi yang berdasarkan Islam, dikritik sebagai anti nasionalis. Beberapa bahkan mengkritik dengan kasar, dan mencibir JIB sebagai Jong Idioten Bond. Sementara itu sikap JIB terhadap nasionalsime atau kebangsaan adalah;
“Kita pemuda intelek Islam berpandangan lebih luas terhadap kebangsaan. Di mana kita berasal dari daerah dimana bangsa itu berdiam…Sudah barang tentu perhatian utama kita adalah tanah air kita sendiri dimana Islam menjadi agama kebanyakan penduduk. Tetapi disamping tugas yang tertinggi itu , kita masih punya tugas lain, yaitu : berjuang untuk umat Islam di seluruh dunia. “
Bagi JIB memperjuangkan Indonesia untuk merdeka adalah cita-cita mereka jua. Namun JIB berpendapat bahwa Islam-lah yang paling tepat untuk dijadikan ideologi Indonesia. Komitmen JIB terhadap Indonesia, dibuktikan JIB dengan mengirim delegasinya, Johan Mahmud Caya dan Ma’mun Al Rasyid untuk menghadiri Kongres Pemuda kedua di tahun 1928. Sejarah kemudian mencatat peran pemuda Islam dalam kongres pemuda yang bersejarah itu. Tak hanya soal tanah air, JIB turut menggemakan soal perjuangan umat Islam di Palestina.
Dalam isu umat Islam, JIB, melalui terbitannya di bulan Juni 1930 mendukung perjuangan Palestina atas Israel. Dan menolak tembok ratapan di dekat Masjid Al Aqsha.
Dibalik prestasi JIB, banyak tanda tanya seputar pengaruh Ahmadiyah yang menggelayuti JIB. Pertanyaan ini muncul karena ada silang pendapat perihal Ahmadiyah yang tercatat dalam polemik di Het Licht dan terdapat anggota JIB yang kelak menjadi tokoh Ahmadiyah (Lahore) di Indonesia. Perlu diketahui, gerakan Ahmadiyah (Lahore) masuk ke Indonesia sejak tahun 1924. [Iskandar Zulkarnain, dalam “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia” , LKiS (2005)]
Saat itu, missionaries mereka, Mirza Wali Ahmad Baiq, adalah salah satu tokoh Ahmadiyah yang menonjol, sempat menetap di Yogyakarta, yang merupakan jantung Muhammadiyah. Awalnya diterima dengan tangan terbuka oleh pegiat Islam. Kecerdasan Ahmad Baiq juga menarik perhatian kalangan Muslim terpelajar, termasuk anggota-anggota JIB. Ahmad Baiq sempat memberikan kursus-kursus Islam di JIB. Patut diingat, topeng ajaran Ahmadiyah saat itu belum terkuak oleh masyarakat luas, sehingga Ahmad Baiq masih diterima dengan tangan terbuka. Ketika hakekat ajaran Ahmadiyah terbongkar, timbul reaksi keras dalam umat Islam. Muhammadiyah kemudian menentang Ahmadiyah. [Herman L. Beck, “The Rupture Between Muhammadiyah and Ahmadiyya. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde”, 2005].
Dua mantan pengurus Muhammadiyah, R. Ng. Djojosugito, dan Muhammad Husni, membentuk organisasi sendiri, yaitu Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore. Hal ini diikuti oleh salah seorang anggota JIB yang cukup menonjol, Muhammad Kusban. Ia mengakui sebagai pengikut mereka.
Reaksi JIB terhadap Ahmadiyah bercabang dua. Terhadap Ahmadiyah Lahore, umumnya tidak menentang secara organisasi, namun, mengkritik ajaran-ajaran Ahmadiyah Lahore. Namun terhadap Ahmadiyah Qadiani, JIB menganggap mereka sebagai serangan ajaran Islam. Polemik dimulai dalam Het Licht ketika Ahmad Sarida menulis ‘De Weredleraar (Guru Dunia) ‘, Mengabarkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Hal ini dibantah kembali oleh A. Kamil dalam Het Licht edisi Juli-September 1928 dengan tulisan ‘Stop!!! Hendak Kemana lagi?’ Berikutnya muncul tulisan Hashim yang membantah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, dengan mengutip hadis yang mengabarkan Rasulullah sebagai Nabi terakhir.
Artikel-artikel susulan pun terus bermunculan, namun pro dan kontra, ditutup oleh artikel terakhir oleh Soemitro di Het Licht April 1930, berjudul ‘Moehammad, de Laatste Profeet (Muhammad Nabi Terakhir)’.
Salah satu sebab lain tuduhan bahwa JIB dipengaruhi Ahmadiyah adalah maraknya tafsir The Holy Qur’an, karya Maulana Muhammad Ali yang menjadi bacaan anggota-anggota JIB. Kontroversi pemakaian tafsir ini sebenarnya tidak hanya menggelayuti anggota-anggota JIB saja. Bahkan H.O.S Tjokroaminoto sampai membuat terjemahan dari tafsir ini. Dan hal ini membuat polemik antara Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dengan Muhammadiyah. Dalam hal ini, H. Agus Salim pun turut membela Tjokroaminoto dan menunjukkan keunggulan tafsir Holy Quran ini.
Kabut kontroversi pemakaian tafsir Holy Quran ini bisa tersingkirkan, jika kita memahami keadaan saat itu.
Di masa itu, sangat sulit untuk mendapatkan tafsir yang dapat dipahami kalangan intelektual non santri, yang tak bisa memahami bahasa dan tulisan Arab. Ditambah lagi beberapa pembahasan Holy Quran yang dirasa dapat memuaskan dahaga kaum intelektual saat itu. Namun bukan berarti para pembaca tafsir tersebut setuju dengan ajaran Ahmadiyah. [Moch. Nur Ichwan, ”Differing Responses to an Ahmadi Translation and Exegesis. The Holy Qur’an in Egypt and Indonesia”, Archipel Vol 62 (2001)].*/bersambung Pesantrennya Kaum Intelektual Muda Didikan Barat
Penulis adalah pegiat komunitas Jejak Islam untuk Bangsa