Hidayatullah.com | AKSI persekusi oleh oknum lembaga tertentu atau seorang yang tak seideologi atau berlainan paham, sangat meresahkan dan memprihatinkan. Pasalnya, Indonesia ini negara hukum, maka ketika ada hal-hal yang dirasa tidak sesuai bahkan bertentangan dengan ideologi dan hukum negara, maka perlu diserahkan kepada pihak berwenang, bukan mempersekusi.
Terlebih, jika itu menyangkut pemahaman keagamaan, maka terlalu berlebihan jika dihadapi dengan persekusi. Idealnya, ide dihadapi dengan ide; pikiran dengan pikiran; pendapat dengan pendapat; argumentasi dengan argumentasi bahkan buku pun dengan buku. Bila perlu, bisa melalui debat ilmiah dan semacamnya.
Kita perlu berkaca pada pengalaman Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Di akhir-akhir era Orde Lama di mana komunis memiliki peran dominan, beliau mendapatkan hujatan, pendeskriditan, pencemaran nama baik, hingga pada puncaknya dipenjara tanpa proses peradilan, bahkan kabarnya buku-buku beliau banyak dibakar.
Sastrawan Taufik Ismail mengisahkan, pada tahun 1969 Hamka diundang ceramah oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Di antara yang menarik dari acara itu adalah pada sesi Tanya-jawab. Waktu itu, yang terkait dengan tema bahasan ini, beliau ditanya dua hal.
Pertama, pendapat beliau mengenai pelarangan buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Kedua, mengenai sikap beliau kepada Pramoedya yang telah menghancuran citranya saat di Lentera atau Bintang Timur terkait kasus plagiasi hingga akhirnya beliau dipenjara akibat fitnah tentang percobaan pembunuhan Presiden Soekarno.
Apa jawaban Hamka? Ternyata di luar perkiraan. Orang yang pernah dizalimi, difitnah dan dicitrakan buruk, sah-sah saja membalas dengan yang setimpal. Tapi, tidak demikian dengan Buya Hamka. Beliau begitu berlapang dada dan luas hatinya.
Untuk pertanyaan pertama, Hamka menjawab dengan sangat tegas tidak setuju atas pelarangan buku Pram itu, meski pada masa sebelumnya buku-buku Hamka sempat dilarang di akhir Orde Lama (Orla). Menurut ulama karismatik ini, filsafat Pramoedya adalah cinta.
Lebih lanjut beliau mendandaskan, “Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku pula.” Dengan bahasa lain, ide mesti dihadapi dengan ide atau gagasan perlu dihadapi dengan gagasan, bukan tindakan-tindakan persekusi yang bertentangan dengan hukum.
Hebatnya, semua perlakuan zalim Orde Demokrasi Terpimpin, sudah dimaafkan oleh Hamka. Seakan-akan dengan sangat nyata apa yang dilakukan beliau adalah cerminan dari ayat berikut:
ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِي بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدَٰوَةٞ كَأَنَّهُۥ وَلِيٌّ حَمِيمٞ
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat [41]: 34).
Di kemudian hari –masih menurut cerita Taufiq yang mendengar langsung dari Dr. Hoedaifah Koeddah yang pernah mengobati Pram– saat puteri Pram (Titik) mau menikah dengan orang yang beda agama, ternyata Pram tak rela. Katanya, “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda.”
Akhirnya, putri dan calon menantunya itu dengan membawa surat dari Pram disuruh untuk belajar ilmu agama Islam kepada Hamka. Hamka pun menerima dengan hangat dan lapang dada. Mungkin –menurut Taufiq– ini adalah bentuk permintaan maaf Pram secara halus sebagaimana tradisi orang Jawa.
Ketika Pram ditanya oleh Dr. Hoedaifah mengenai alasannya mengirim calon menantunya kepada Hamka untuk belajar agama, salah satu jawabannya, “Masalah perbedaan pendapat dengan Hamka tetap. Tapi dalam hal ceramah agama di televisi, Buya Hamkalah yang paling mantap membahas soal tauhid.” Dari sini bisa dipahami, Pram mengakui otoritas Hamka di bidang ilmu agama.
Adapun mengenai pertanyaan kedua, Hamka menjawab bahwa untuk semua yang terlibat dalam penghancuran nama baik hingga penahanan atas tuduhan makar, beliau pun sudah memaafkannya. Begitu luar biasa sikap Hamka ini di hadapan orang-orang yang pernah menzaliminya.
Demikian kira-kira yang digambarkan oleh Taufiq Ismail mengenai hadirin di acara tersebut, “Hadirin di Teater Arena TIM terdiam hening, mendengar keikhlasan yang memancar dari ucapan sastrawan dan ulama besar ini. Banyak yang menitikkan air mata, termasuk novelis Iwan Simatupang.” (Mengenang 100 Tahun Hamka, 2008: 227, 228).
Kalau berkaca lebih jauh pada masa kehidupan Nabi Muhamamd ﷺ, hal-hal semacam ini sudah biasa terjadi. Ide-ide yang menyesatkan dari kalangan kafir Qurays dihadapi dengan ide-ide Islam yang cemerlang. Selalu ada alternatif-alternatif yang sepadan dengan apa yang dihadapi.
Bahkan, ketika para musuh memiliki penyair-penyair kawakan yang gencar menyerang Nabi dan sahabatnya, bahkan Islam, maka beliau hadapi pula dengan penyair-penyair andal dari kalangan sahabat seperti: Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah dan Ka’ab bin Malik.
Adapun perang secara fisik, itu adalah opsi terakhir ketika segala alternatif dakwah yang persuasif sudah buntu dan Islam diserang terlebih dahulu, itupun masih harus menjaga adab-adab berperang yang tidak ada tandingannya dalam agama mana pun. Kisah dari Hamka bahka sejak zaman Nabi, memberi pelajaran berharga bahwa gagasan perlu dihadapi dengan gagasan, tidap perlu sampai berujung pada tindak kekerasan. Di samping itu, perbedaan pendapat tak semestinya melahirkan persekusi.* /Mahmud Budi Setiawan