Hidayatullah.com | Menggugah kembali sejarah kebangsaan Indonesia telah diupayakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam keputusan MUI tertanggal 18-18 Nopember 1998 di Jakarta memutuskan dan menetapkan untuk melengkapi Amanat Sejarah Umat Islam Indonesia dengan menugaskan kepada panitia Ad Hoc untuk menyusun sejarah umat Islam di Tanah Air.
Di dalam amanat tersebut dinyatakan bahwa dinamika ajaran Islam telah menanamkan dan menumbuhkan di dalam kalbu bangsa Indonesia sikap perlawanan terhadap penindasan, kedholiman dan penjajahan yang berkembang menjadi sikap cinta bangsa dan tanah air Indonesia, serta membangkitkan jiwa patriotisme dan semangat juang pantang menyerah.
MUI memandang perlu melestarikan perjuangan dan keutuhan bangsa, Pancasila perlu diamalkan secara individu maupun kelompok. Maka dari itu MUI melalui panitia ad hoc perlu menelusuri jejak sejarah dari awal hingga akhir.
1. Sejarah Masuknya Islam ke Nusantara
Sejak abad ke-7 besar kemungkinan musafir saudagar muslim telah memperkenalkan Islam di kepuluan Nusantara. Hal ini bisa dimengerti karena sejak abad ke-5 masehi lautan Hindia telah menjadi lautan yang berbahasa Arab sebagai jalan dagang Teluk Persia dan China yang terus berlanjut sampai beberapa abad kemudian.
Pada abad ke-11 Masehi dapat dipastikan terdapat pemukiman Islam di kota-kota pantai kepulauan Indonesia. Hal ini dibuktikaan dan ditemukannya nisan beratasnamakan Fatimah binti Maimun yang wafat tahu 475 hijriyah atau 1082 Masehi di Leran Gresik, Jawa timur.
Juga ditemukan makam Malikul Saleh pada abad ke-13 dan ditemukannya makam wanita Islam yang bernama Tuhar Amsuri di Barus pantai barat, Pulau Sumatera bertarikh 602 hijriyah.
Didahului beberapa kerajaan Islam, ketika Mirah Silu mengganti nama Malikul Saleh pada abad ke-3, maka kerajaan Islam dipastikan tercatat di Samudra Pasai yang dicatat oleh Ibnu Batutah pada tahun 1345 Masehi. Ia mengabarkan bahwa Sultan Malikuz Zahir adalah orang alim dan shaleh.
Bukti lain menegaskan hingga abad ke-17 fase berdirinya kerajaan dan pusat kekuasaan Islam dengan kemajuan perdagangan yang pesat bermunculan di Aceh, Demak, Giri, Ternate Tidore, Gowa Tallo di Makassar. Hal ini diikuti dan disertai dengan munculnya para wali, mubaligh, dan ulama dengan berdirinya pondok pesantren, dayah dan surau.
Tempat-tempat tersebut terbukti sebagai tempat penggodokan dan kaderisasi intelektual, media komunikasi, serta penyebaran pemukiman yang terdekat dan mendekati pesantren dan sejumlah surau atau masjid.
2. Perlawanan menghadapi penjajah Barat
Sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-20 Indonesia mengalami proses penjajahan yang panjang dengan berbagai cara tipu muslihatnya. Dalam fase ini umat Islam memberikan perlawanan terhadap kolonialisasi dan imperialism karena disebabkan oleh persaingan dagang.
Seperti tercatat dalam persaingan perdagangan Demak melawan Portugis di Malaka (1512), Kerajaan Ternate di bawah kepemimpinan Sultan Khairun dan Sultan Baabullah melawan Portugis. Kerajaan Tidore melawan Portugal, Kerajaan Aceh melawan Portugis dan Gowa Tallo melawan VOC Belanda.
Langkah berikutnya perlawanan kekuasaan juga terjadi seperti Sultan Agung Mataram menyerbu Batavia (1627 dan 1629), Sultan Ageng Titayasa melawan VOC di Banten (1680). Di Aceh pecah perang pada tahun 1873 menghadapi Belanda.
Sampai di sini umat Islam selalu berusaha untuk mempertahankan Nusantara ini agar tidak dieksploitasi sumber daya alamnya oleh penjajah. Tetapi umat Islam dan penguasanya berusaha untuk memakmurkan rakyatnya dan mempersatukannya menjadi bangsa yang utuh.* Akbar Muzakki