Sultan Al-Muzhaffar Saifuddin Quthuz, Sang Penakluk Mongol berhasil menghancurkan pasukan Bangsa Tartar kejam dan pernah membumingahuskan Baghdad pada 1258 M
Hidayatullah.com | SEJARAH mencatat tinta emas Saifuddin Quthuz bin Abdullah Al-Mua’zzi atau Sultan Saifuddin Quthuz, Sang Penaklok Mongol. Sebagian sejarah juga mencatat namanya adalah Muhammad bin Mamdud.
Quthuz berjuluk A-Muzhaffar (orang yang selalu menang) dan Saifuddin (Pedangnya Agama). Jika dibaca menjadi al-Malik al-Muẓaffar Sayf ad-Dīn Quṭuz.
Lahir di Khawarzim, dikenal memiliki warna kulitnya putih kemerah-merahan dan jenggotnya sangat tebal. Quthuz adalah saudara Jalaluddin Al-Khawarizmi, Raja Khawarizmi yang masyhur, yang pernah melawan pasukan Tartar.
Pada masa kecilnya, Quthuz pernah ditawan, tepatnya setelah kekalahan orang-orang Khawarzhim dari pasukan Tartar. Setelah itu dia dijual ke Damaskus dan dibeli oleh Sultan Abeik (Aybak) atau Al Malik Al Muizz Izuddin Aybak.
Setelah Sultan Aybak mengetahui akan ketaatan dan keikhlasan Quthuz, dia memasukkannya ke dalam keluarga besar kerajaan. Quthuz dikenal sebagai orang yang selalu menjaga shalat dan sekalipun dia tidak pernah mencicipi minuman keras.
Dia memiliki keberanian dan kecerdasan yang tinggi. Setelah pernikahan tuannya yaitu Aybak dengan Istrinya Syajarah Ad-Dur, dia bersama tuannya pindah ke Mesir, hingga Aybak menjadi raja di sana.
Di kalangan orang-orang Mesir, Quthuz terkenal dengan keshalehan, keberanian, dan keikhlasan. Dengan sifat-sifat yang ia miliki, ia dicintai oleh mereka.
Atabik mengangkatnya sebagai anggota pasukan. Setelah diketahui bahwa pasukan Tatar sudah mendekati Mesir, dia diangkat sebagai wakil kepolisian.
Quthuz berhasil mengamankan Mesir dari serangan Raja Louis IX yang beragama Kristen. Quthuz menawannya dan menempatkannya di rumah Ibn Lukman di Manshurah.
Qutuz ditunjuk sebagai Gubernur Mesir oleh Sultan Aybak. Dia tetap menjadi gubernur Mesir ketika Sultan Aybak dibunuh oleh istrinya sendiri dalam sebuah konspirasi, tahun 1257 dan digantikan anaknya Al-Mansur Ali.
Setelah kematian Aybak, puteranya yang baru berumur 15 tahun diangkat sebagai penggantinya. Namun putera Aybak mempercayakan kepada Quthuz untuk mengambil alih jabatannya dalam bidang administrasi dan militer.
Perang Ain Jalut
Para petinggi kerajaan berkumpul, masing-masing meyakinkan yang lain bahwa untuk berperang melawan Tatar sangat dibutuhkan seorang raja. Kalau kemenangan dapat diraih, mereka sepakat akan mengangkat seorang pemimpin dan nmereka pun akan membai’atinya.
Setelah Quthuz berhasil menguasai Damaskus, Raja Holako mengirimkan utusan kepadanya. Lewat utusan tersebut Holako mengancam Quthuz jika dia tidak mau menyerah.
Namun Quthuz langsung membunuh utusannya dan menggantung kepala-kepala mereka di pintung Gerbang Zuwailah (tempat untuk menggentarkan musuh dan untuk memotivasi pasukan Muslimin). Pada tahun 658 H, Quthuz dengan pasukannya berangkat untuk berperang melawan pasukan Tatar.
Quthuz memandang lebih baik segera menyerang Tartar sebelum mereka menggempur lebih dahulu. la juga berpendapat lebih baik bergerak lebih dahulu sebelum mereka menyerangnya.
Lalu Ia mempersiapkan balatentara dan menyiagakan pasukan militernya dan bertolak menuju Syam. Pasukan Tartar yang berada di bawah pimpinan Katbagha baru menyadarí keadaan saat mendengar ringkikan kuda pasukan Quthuz yang memenuhi dataran rendah tempatnya.
Quthuz menjumpai pasukan Tatar di tempat penggembalaan Baisan, suatu tempat yang dikenal dengan Ain Jalut. Pertempuran dengan Tatar berlangsung selama empat hari. Dia dan komandan pasukannya yaitu Bebris selalu mengejutkan pasukan Tatar dengan strategi yang baru dari waktu ke waktu.
Pertempuran berkobar dasyat, meski jumlah pasukan Muslim kalah besar dengan Tartar. Semangat juang Al-Muzaffar Quthus bergelora, membakar semangat pasukan Muslimin, meski kudanya terbunuh dalam perang.
Ia tetap berperangan dengan berjalan kaki sambil mengayunkan pedangnya. Walaupun salah seorang bawahannya menawarkan untuk menaiki kudanya, dia tetap menolak.
Sebuah kisah lain tentang Raja Quthuz menuturkan, bahwa pada saat terjadi Perang Ain Jalut, kudanya tewas terbunuh. Dan pada saat demikian, ia tidak menemukan tukang bawa kuda, sehingga ia pun terpaksa berjalan kaki dan tetap berdiri tegak di tengah pertempuran.
Di tengah perang yang berkecamuk, sementara tempat kekuasaan ada dalam hati. Tatkala seorang pangeran melihatnya, ia pun turun dari kudanya dan bersumpah kepada Quthuz agar menunggangi kudanya, namun Quthuz menolak seraya berkata kepada pangeran itu, “Aku tidak akan menghalangi kaum muslimin memperoleh manfaatmu,”
Di sumber lain redaksi perkatanya adalah, “Saya tidak menghalangimu untuk memberikan manfaat kepada orang Islam”. Dia mulai berperang dan memanggil orang-orang Islam, “Belalah Islam!”
Quthuz tetap dalam posisi demikian hingga datang pelayannya membawa kuda, lantas beliau mengendarainya. Kemudian seorang pangeran mencela sikapnya. “Wahai Khund, kenapa engkau tidak mengendarai kuda fulan? Seandainya musuh melihatmu, pasti akan membunuhmu sehingga Islam hancur gara-garamu.” Lalu ia menjawab, “Jika aku mati, aku masuk surga. Sedangkan Islam milik Allah, Dia tidak akan menyia-nyiakannya. Si fulan, si fulan, si fulan, sudah terbunuh.”
Kaum Muslimin mengalahkan Tartar
Pada bulan Ramadhan 658 H, Perang Ain Jalut berkobar antara dua belah pihak dan berakhir dengan kekalahan pasukan Tartar. Ppanglima dan sebagian besar keluarganya tewas terbunuh.
Selanjutnya Quthuz menginstruksikan Pangeran Baybars AI-Bandaqadari untuk membuntuti pasukan yang kalah sampai di Aleppo. Adapun pasukan Tartar yang masih berada di Damaskus, mereka melarikan diri, namun pasukan kaum Muslimin penduduk Damaskus mengejarnya dan membunuhnya serta menyelamatkan para tahanan dari tangan mereka.
Salah seorang amir pasukan berhasil mendekati panglima Tartar, Kitbuga, lalu dia berduel, tidak berlangsung lama, ia mampu memenggal kepala panglima tersebut dan menancapkannya di ujung tombak. Sesaaat pasukan Tartar kocar-kacir lalu berbalik arah padan melarikan diri tak tentu arah.
Pasukan Musmin mengejar mereka, menebas tengkuk-tengkuk mereka, mengusai yang mereka tinggalkan, seperti senjata dan harta sepanjang negeri Syam; Damaskus, Baalbek, Homs, hamah dan Aleppo. Almalik mendapat sanjungan seantero negeri atas jasanya membebas dari Bangsa Tartar.
Dalam perjalanan pulang menuju Mesir, Ruknuddin Baibars dan para pasukanya ternyata menaruh rencana jahat untuk membunuh Saiduddin Quthuz. Hal ini karena ia dinilai tidak menginginkan seorangpun di antara kaum budak (Mamalik) untuk memiliki jabatan penting, meski sudah berjuang mati-matian bersamanya.
Bersama Ruknuddin Baibars mereka bersepakat membunuh Saifuddin Quthuz. Suatu hari sepulang Saifuddin dari berburu dan kembali ke tenda, ia didatangi para pemuka kaum budak dipimpin Ruknuddin Baibars.
Mereka mengucap salam, lalu Ruknuddin minta untuk diberi sejumlah tawanan Tartar. Ruknuddin berpura-pura mencium tangan Sultan Quthuz, dengan secepat kilat ia menikamkan pedangnya ke Sultan Quthuz dan diikuti para amir lainnya. Maka syahidlah Sultan Saifuddin Quthuz pada hari Sabtu, 16 Dzuiqa’dahin 658 H Dzulga’dah.
Sultan Saifuddin Quthuz akhirnys dikuburkan di Qhashir, tetapi kemudian jenazahnya dipindahkan di Kairo. Kuburannya sering diziarahi oleh orang.
Setelah Bebris diangkat sebagai raja, dia menyamarkan kuburannya terhadap manusia dan setelah itu tidak diketahui lagi di mana lagi tempatnya.*