Secara ringkasnya, kedua kronik ini memaparkan bahwa beberapa figur Wali Songo adalah keturunan Tionghoa, memiliki nama asli Tionghoa, dan memiliki kaitan erat dengan Cheng Ho. Namun, kisah tentang dua kronik ini kontroversial dan problematik, setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, hingga saat ini tidak ada satu orang pun yang bisa menunjukkan keberadaan kedua kronik tersebut.
Kedua, narasi tersebut memiliki beberapa pertentangan yang penting dengan sumber-sumber lokal tentang asal-usul para wali di Jawa. Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang disebut oleh kronik Semarang sebagai seorang Tionghoa bernama Bong Swi Hoo, misalnya, di dalam beberapa sumber lain disebut berasal dari Arab atau dari Asia Tengah (al-Attas, 2011; Sasongko, 1995; Sunyoto, 2017).
Ketiga, Kronik Semarang dan Cirebon sama sekali tidak menjelaskan bagaimana dakwah di Jawa yang dimotori oleh orang-orang Tionghoa Muslim bermadzhab Hanafi lantas beralih menjadi madzhab Syafi’i. Peralihan semacam itu hanya mungkin terjadi jika ada pengaruh dakwah yang lebih menonjol dari para penyebar Islam bermadzhab Syafi’i, yang kecil kemungkinan memiliki asal-usul di Tiongkok.
Alexander Wain (2017) menulis satu artikel yang menjawab secara tuntas persoalan di seputar dua kronik di atas. Setelah memaparkan data-data sejarah yang ada secara detail, ia menyimpulkan bahwa Poortman yang disebut oleh Parlindungan adalah tokoh yang nyata dan kemungkinan Parlindungan telah bertemu dengannya.
Cornelis Poortman memang pernah bekerja sebagai pegawai Kolonial di Hindia Belanda. Tapi Poortman pensiun dari pekerjaannya dan kembali ke negeri Belanda pada bulan April 1925. Tidak ada data yang menyebutkan bahwa ia datang lagi setelah itu ke Hindia Belanda. Jadi tidak mungkin ia menemukan dua kronik di Kelenteng Semarang dan Cirebon pada tahun 1928 seperti yang diklaim oleh Parlindungan. Akhirnya, dua kronik yang diklaim itu tampaknya tidak pernah ada dan isi narasinya kemungkinan merupakan fabrikasi yang diambil dan dikembangkan dari beberapa sumber lokal (Wain, 2017).
Terlepas dari kontroversi dua kronik di atas, orang-orang Tionghoa memiliki peranan yang cukup penting di Jawa dan beberapa wilayah Nusantara lainnya, dan Islam bukan sesuatu yang terlalu asing bagi mereka. Banyak orang Tionghoa yang datang dan menetap di Jawa dan pulau-pulau lainnya di Nusantara sejak sebelum abad ke-15 dan tidak sedikit dari mereka yang memilih untuk berasimilasi dan menjadi Muslim.
Baca: Dunia Islam di Bawah Pengaruh China
Edmund Scott (1606), seorang Inggris yang berada di Jawa antara tahun 1602 dan 1605, menulis bahwa banyak orang-orang Tionghoa yang berasimilasi menjadi Jawa dan karenanya menjadi bagian dari masyarakat lokal yang berbeda karakteristik dengan orang-orang Tionghoa lainnya.
Pada penghujung abad ke-18, seorang perantau Tionghoa yang pergi ke Batavia menulis bahwa orang-orang Tionghoa yang menetap di kawasan itu selama beberapa generasi dan tidak pernah kembali ke Tiongkok menjadi terputus dari kebudayaan leluhurnya dan tidak merasa keberatan untuk masuk Islam. Mereka pun mengadopsi kebudayaan masyarakat pribumi dan tidak mau lagi makan daging babi. Jumlah mereka yang semakin berganda telah menyebabkan pemerintah kolonial menunjuk seorang kapten untuk mengepalai komunitas mereka (Ong Tae Hae, 1849: 33).
Orang-orang Tionghoa yang sudah menjadi Muslim tidak jarang menempati posisi yang penting di pemerintahan maupun militer setempat. Saat Giri diserang oleh Pangeran Pekik yang mewakili Kesultanan Mataram, yang memimpin pertahanan Giri adalah pasukan Tionghoa Muslim. Namun pasukan ini kalah, komandannya mati terbunuh, dan kota itu jatuh pada tahun 1636 (Pigeaud & de Graaf, 1976: 46).
Denys Lombard dan Claudine Salmon (1993) menyebut banyak contoh tentang orang-orang Tionghoa Muslim yang tercatat dalam beberapa abad sejarah Indonesia. Pada pertengahan abad ke-16, misalnya, sebuah catatan VOC menyebutkan tentang seorang Kapten Cina dan seorang syahbandar keturunan Tionghoa di Banten yang keduanya sudah memeluk Islam untuk waktu yang lama (117-118).
Seorang bernama Han Siong Kong yang lahir di Tiongkok dan wafat di Bojonegoro pada tahun 1744 memiliki keturunan yang seluruhnya menjadi Muslim dan berasimilasi dengan masyarakat Jawa. Dua anak lelakinya masing-masing masuk Islam dan menjadi Adipati di Bangil dan bupati di Tegal. Pada awal abad ke-19, peranakan Tionghoa di Semarang memiliki kampungnya sendiri. Mereka beragama Islam dan cara hidupnya lebih mirip penduduk lokal ketimbang orang-orang Tionghoa yang non-Muslim (119-120).
Baca: Mengenal Muslim Uighur
Salah satu pegawai yang melayani Sultan Sepuh di Curebon adalah Tumenggung Aria Wira Chulia atau Chen Sancai, yang makamnya dihiasi nisan bergaya Cina. Bupati Probolinggo antara tahun 1746 dan 1768 yang cakap dalam memimpin, Kyai Joyolelono, merupakan keturunan Tionghoa. Ayahnya, Kim Bun, merupakan penasihat Untung Surapati (124).
Persebaran Tionghoa Muslim bukan hanya berlaku di Jawa, tetapi juga di daerah-daerah lainnya. Komunitas Tionghoa yang sejak awal abad ke-18 aktif terlibat dalam pertambangan timah di Bangka didominasi oleh orang-orang Tionghoa Muslim, sebelum pemerintah kolonial mendatangkan orang-orang Tionghoa Hakka secara massal. Di Palembang, banyak orang-orang Tionghoa yang masuk Islam dan mengadopsi kebudayaan setempat (119). Catatan Lombard & Salmon terus berlanjut hingga abad ke-20.
Bagaimanapun, pada abad ke-19 tampaknya terjadi perubahan penting yang semakin merenggangkan hubungan antara orang-orang Tionghoa dan penduduk pribumi, terutama di Jawa. Penganakemasan komunitas Tionghoa (non-Muslim) oleh pemerintah kolonial serta perubahan sikap mereka terhadap masyarakat pribumi telah memunculkan rasa antipati penduduk pribumi terhadap orang-orang Tionghoa. Beberapa peristiwa penting di paruh pertama abad ke-19, termasuk Perang Diponegoro, telah menguatkan rasa antipati pribumi terhadap orang-orang Tionghoa.
Hubungan di antara kedua belah pihak pada abad tersebut tidak lagi sebaik masa-masa sebelumnya, dan karenanya menurunkan kecenderungan asimilasi dan konversi ke dalam agama Islam di kalangan orang-orang Tionghoa. Menjelang akhir abad ke-19, “kebanyakan orang-orang Tionghoa … merasa enggan untuk mengidentifikasi diri mereka dengan masyarakat pribumi karena mereka memilih untuk mengerahkan energi mereka dalam membangun hubungan baik dengan pemerintah kolonial” (Claver, 2014: 190-191).
Terlepas dari hal itu, proses konversi tidak sepenuhnya berhenti. Seorang Imam dari Jawa yang bernama Doelkadir, misalnya, berhasil mengislamkan sejumlah orang-orang Tionghoa di Semarang pada tahun 1876. Namun di sisi lain, upaya untuk mengokohkan budaya Tionghoa juga berlaku di tengah komunitas tersebut (Lombard & Salmon, 1993: 129).
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa orang-orang Tionghoa sebetulnya memiliki potensi yang cukup besar untuk berasimilasi dan menerima ajaran Islam. Mereka merupakan orang-orang yang handal dalam hal perekonomian dan banyak hal lainnya. Di antara mereka banyak orang-orang yang memiliki sikap dan kecenderungan yang baik. Semestinya mereka tidak dilihat sebagai musuh yang mengancam, tetapi sebagai jiran yang perlu dirangkul dan diajak bekerja sama.
Ada ungkapan yang menyebutkan bahwa setiap orang akan mengambil apa yang tidak dimilikinya. Dalam hal ini, masyarakat Muslim di Indonesia bisa mengambil (belajar) dari orang-orang Tionghoa apa-apa yang mereka kurang, yaitu keterampilan wirausaha dan yang semisalnya. Sebaliknya, mereka bisa menawarkan nilai-nilai agama serta keuntungan ukhrawi bagi rekan-rekan Tionghoa mereka. Mengambil atau tidak itu soal pilihan, tapi lebih terbukanya pintu komunikasi tentu akan memberi dampak positif kepada semua pihak. Wallahu a’lam. (Kuala Lumpur 6 Rajab 1442/18 Februari 2021)
Penulis adalah staf pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2011. Historical Fact or Fiction. Kuala Lumpur: UTM.
Broomhall, Marshall. 1910. Islam in China: A Neglected Problem. London: Morgan & Scott.
Claver, Alexander. 2014. Dutch Commerce and Cinese Merchants in Java. Leiden: Brill.
Clydesdale, Heather. T.t. “Exploring Islam in China.” https://asiasociety.org/china-learning-initiatives/exploring-islam-china
Frankel, James D. 2016. “Chinese-Islamic Connections: An Historical and Contemporary Overview.” Journal of Muslim Minority Affairs. http://dx.doi.org/10.1080/13602004.2016.1248175
Kong Yuanzhi. 2008. “On the Relationship between Cheng Ho and Islam in Southeast Asia.” https://kyotoreview.org/issue-10/on-the-relationship-between-cheng-ho-and-islam-in-southeast-asia/
Lombard, Denys & Claudine Salmon. 1993. “Islam and Chineseness.” Indonesia, No. 57, pp. 115-131.
Lunde, Paul. 1985, Juli-Agustus. “Muslim in China: The History.” https://archive.aramcoworld.com/issue/198504/muslims.in.china-the.history.htm
Ma Huan. 1970. Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of the Ocean’s Shores’. Cambridge: Cambridge University Press.
Muljana, Slamet.2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Bantul: LKiS.
Pigeaud, Theodore G. Th. & H.J. de Graaf. 1976. Islamic States in Java, 1500-1700. The Hague: Martinus Nijhoff,
Sasongko, Widji. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo. Bandung: Mizan.
Scott, Edmund. 1606. “An Exact Discovrse of the Subtilties, Fashi∣shions, Pollicies, Religion, and Cere∣monies of the East Indians, as well Chyneses as Iauans, there aby∣ding and dweling.” London. https://quod.lib.umich.edu/e/eebo/A11767.0001.001?rgn=main;view=fulltext
Stuart-Fox, Martin.2003. A Short History of China and Southeast Asia: Tribute, Trade and Influence. Crows Nest: Allen & Unwin.
Sunyoto, Agus. 2017. Atlas Walisongo. Pondok Cabe: Pustaka Iman.
Wade, Geoff. 2004, July. “Ming China and Southeast Asia in the 15th Century: A Reappraisal.” Asia Research Institute Working Paper Series No. 28, Asia Research Institute, National University Singapore.