Hidayatullah.com | DI balik kehebatan Pahlawan Nasional, Mohammad Natsir, ada sosok wanita luar biasa yang setia menemani perjuangannya yaitu istri tercinta: Hajjah Putti Noernahar (1905-1991). Dalam majalah Media Da’wah (No. 206 Agustus 1991) perempuan hebat ini disebut sebagai “Istri Setia Pejuang Pendidikan”.
Noernahar, istri Pahlawan Nasional Mohammad Natsir, memang sangat besar jasanya bagi perjuangan suaminya dan dia sejak muda terjun dalam dunia pendidikan. Pada masa sekolah setaraf SMA zaman Belanda, Natsir muda berkenalan dengan Sitti Noernahar dalam organisasi pemuda Islam JIB Dames Afdeling (JIBDA, atau JIB bagian Putri) sedangkan Natsir aktif dalam JIB.
Bisa dikatakan sejak muda Sittin Noernahar sudah menjadi aktivis Islam. Pada tahun 1931-1932, saat Natsir mendirikan Pendis, beliau membutuhkan banyak guru.
Di antara yang cukup dicari adalah mencari guru HIS dan Taman Kanak-kanak. Di sinilah peran besar Sitti Noernahar dimulai.
Ia dengan ikhlas mau menyumbangkan tenaganya untuk berkontribusi mengajar.
Padahal, saat itu bisa dibilang karirnya cukup mapan sebagai pengajar di sekolah “Arjuna” yang mendapat subsidi Pemerintah, istilah sekarang menjadi guru negeri atau pegawai negeri. Waktu itu gajinya cukup besar yaitu: 70 Gulden perbulan.
Bayangkan! Pada waktu itu sekolah yang didirikan Natsir oleh umum disebut sebagai sekolh partikelir alias “sekolah liar” yang tak mendapat subsidi Pemerintah yang kebanyakan tak bertahan lama dan tak memiliki masa depan yang cerah. Maka, ketika Sitti Noernahar keluar dari tempat mengajar yang lama dan memilih mengajar di sekolah yang didirikan Natsir maka ini adalah pengorbanan yang luar biasa dalam ranah pendidikan.
Pada suasana seperti inilah, dalam proses membangun pendidikan Islam secara mandiri, Natsir dan Sitti Noernahar binti Marzuki menikah pada 30 Oktober 1934. Pernikahan ini diadakan secara sederhana. (Biografi Natsir, 48) Awalnya tinggalnya di rumah sewa di jalan Rana, kemudian pindah ke gedung Pendidikan Islam di jalan Lengkong Besar No. 74.
Persamaan kedua sejoli ini adalah sama-sama punya idealisme untuk berjuang di ranah pendidikan Islam. Untuk menggapai itu, Natsir sampai rela meninggal kesempatan beasiswa kuliah di luar negeri. Demikian juga Sitti Noernahar sampai meninggalkan pekerjaan mapannya sebagai guru negeri.
Setelah menikah dengan Natsir, Sitti Noernahar terus berjuang secara konsisten di medan pendidikan. Dalam buku berjudul “Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan” (1978: 38), dikisahkan bahwa saat membangun sekolah Pendis (Pendidik Islam), Natsir sempat kehabisan dana.
Noernahar pun bertindak cepat. Akhirnya, gelang emasnya digadaikan untuk menutupi kebutuhan itu. Gelang itu baru bisa ditebus setelah memiliki uang.
Padahal, gelang emas itu –menurut cerita Natsir—bukan hasil pemberiannya, tapi sudah dimiliki sejak sebelum menikah dengan Natsir.
Cerita itu menunjukkan bahwa selain kontribusi harta, Sitti Noernahar juga memperbantukan tenaganya untuk perjuangan Natsir dalam dunia pendidikan (Baca: Majalah Tempo “Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim.”)
Kesetian dalam menemani Buya Natsir dalam berjuang benar-benar nyata, bukan hanya kata-kata dan itu dilakukan hingga usia senja. Suatu hari pada tahun 1984, Mohammad Natsir, Sitti Noernahar dan H. Ramlan Mardjoened dijadwalkan meninjau proyek pembangunan Padepokan Budi Mulia, asramah mahasiswa Muslim berprestasi yang dimotori muslim Yogyakarta di jalan Kaliurang.
Mengingat lokasi yang kurang memungkinkan dan cuaca panas, maka tuan rumah menyarankan agar Sitti Noernahar tidak usah ikut. Ternyata, usul itu ditolak oleh Noernahar.
Ia merasa masih sehat dan kuat berjalan kaki. Ada lagi alasan yang menarik terkait hal historis.
“Bertahun-tahun saya ikut keluar masuk hutan bersama Aba (Pak Natsir), masuk meninjau proyek di dalam kota saja saya harus tidak ikut,” kata Noernahar.
Apa yang dikatakan Ummi Noernahar memang apa adanya tak ada rekayasa. Selama 57 tahun beliau telah menemani Natsir.
Ia selalu menemani perjuangan suami dalam suka dan dukanya. Itulah sebabnya, saat melepas jenazah sang istri, di antara komentar Natsir: “Ummi selain istri yang setia juga pejuang pendidikan yang gigih. Selain telah mendidi empat puteri, satu putera, dan 15 cucunya, Ummi pun telah menidik banyak anak-anak yang tidak dilahirkannya.”
Istilah sekarang banyak anak biologis dan ideoligis yang telah lahir dari pendidikan Sittin Noernahar.
Sementara itu. Dr. H. Anwar Haryono, tokoh DDII, juga memberi kesaksian, “Ummi seorang ibu rumah tangga yang setia kepada suami dan sangat menyadari tugas-tugas suami. Almarhumah banyak membantu suksesnya Pak Natsir, baik sebagai suami maupun sebagai pemimpin umat.” (Media Da’wah, No. 206 Agustus 1991).
Afif Amrullah, wartawan Panjimas, putera Buya Hamka, mewawancarai Natsir pada momen usia 80 tahun beliau. Di antara pertanyaannya: “Orang yang paling dekat mendampingi Bapak, agaknya, Ummi Natsir. Bisakah Bapak menceritakan sedikit kesan-kesan Bapak dengan beliau?”
Natsir menjawab; “Kami berdua cukup menghadapi pahit getirnya hidup. Manisnya juga ada. Kami sadar, itulah yang dinamakan hidup. Alhamdulillah.” (Majalah Panjimas No. 582, 1988).
Natsir menjelaskan awal pertemuan dan perjuangannya, hingga ditutup dengan ungkapan; “Jadi kami mula-mula bertemu dalam kegiatan perjuangan. Bukan waktu piknik…” pungkasnya sambil tertawa. (Majalah Panjimas No. 582, 1988).
Apa yang dikatakan Natsir sungguh menjadi cambuk bagi para wanita, khususnya yang masih muda. Perjuangan Ummi Sitti Noernahar sejak muda sungguh banyak mengandung keteladanan.
Bahkan ketika menjadi istri pun, idealismenya untuk menjadi pejuang di ranah pendidikan dan membantu perjuangan suami tidak pernah lekang oleh waktu. Beliau siap mempersembahkan harta, tenaga dan keahliannya demi terselenggaranya pendidikan Islam. Dalam suasana istiqamah seperti itu juga beliau meninggal dunia. Rahimahallahu rahmatan waasi’ah.*/Mahmud B Setiawan