Peringatan Hari Bela Negara sepi diperingati. Bahkan kelompok yang sering berteriak ‘NKRI Harga Mati’ seolah hilang di telan bumi
Hidayatullah.com | PERINGATAN Hari Bela Negara memang tak segaung ramai peringatan hari nasional lainnya. Tak banyak yang memperingatinya, bahkan mungkin juga bangsa Indonesia melalaikannya, hatta, yang sering berterian “NKRI Harga Mati!”.
Padahal peristiwa Bela Negara itu sangatlah penting. Saat itu pemerintahan Republik Indonesia (RI) lumpuh di tangan penjajah Belanda.
Jalan salah satu yang harus ditempuh agar Negara yang merdeka seumur jagung itu tetap ada, maka pemerintah RI memberikan mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran saat itu untuk menjalankan roda pemerintahan dan diplomasi internasional. Sjafruddin pun bisa disebut sebagai pelaksana Presiden sekaligus Kepala Negara agar Indonesia yang telah merdeka terus mendaptkan pengakuan.
Menurut pengamat sejarah Hadi Nur Ramadhan, Soekarno-Hatta menguasakan kepada Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera. Ketika itu Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi:
“Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibu-Kota Jogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewadjibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra.”
Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi dikarenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu. Namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada.
Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatera TM Hasan menyetujui usul itu “demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai Negara.”
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki “Penyelamat Republik”. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta.
Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu “ketua”, namun kedudukannya sama dengan presiden.
Mr Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan penyerahan ini, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Mr Sjafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh.
Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.Dalam catatan sejarah Bank Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara adalah orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang menjadi Presiden De Javasche Bank (DJB) di masa-masa akhir (1951-1953).
Ia pula yang sekaligus menduduki jabatan Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama (1953-1958) sebagai hasil dari nasionalisasi DJB. Sebelumnya, posisi nomor satu di DJB (1828 – 1951) selalu dijabat oleh orang berkebangsaan Belanda. Salah satu yang menonjol di masa kepemimpinannya adalah keteguhannya dalam menjalankan fungsi utama bank sentral sebagai penjaga stabilitas nilai rupiah serta pengelolaan moneter.
Sjafruddin juga orang yang pertama kali menyampaikan usulan agar pemerintah RI segera menerbitkan mata uang sendiri sebagai atribut kemerdekaan Indonesia untuk mengganti beberapa mata uang asing yang masih beredar. Di lingkup pemerintahan, Syafruddin pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan pada 1946 dan Menteri Kemakmuran pada 1948.
Di saat menjabat Menteri Kemakmuran inilah ia ditugaskan membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ditangkap pada Agresi Militer II yang kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka.
Setelah penyerahan kembali kekuasaan PDRI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949, dan kemudian diangkat lagi menjadi Menteri Keuangan pada 1949-1950. Terobosan yang dilakukan Menteri Keuangan Syafruddin dalam upaya menghadapi krisis keuangan Indonesia pada dekade 1950-an adalah ‘Gunting Syafruddin’ dan ‘Sertifikat Devisa’.
Tanda tangannya yang pernah muncul di uang kertas masa republik (1945–1949).
Tokoh negeri yang unik dalam sejarah hidupnya
Dalam catatan sejarah negeri ini, Mr Sjafruddin juga dikenal sebagai tokoh peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), akibat ketidakpuasan terhadap Pemerintah Pusat karena ketimpangan- ketimpangan sosial yang terjadi dan juga pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semakin menguat, pada awal tahun 1958. Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya mendirikan PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah dan ia di tunjuk sebagai Ketuanya.
Sebagaimana dikutip Wikipedia, Sjafruddin pada tahun 1957 berkonflik dengan Presiden karena penentangannya terhadap nasionalisasi kepentingan ekonomi Belanda, dan penentangannya terhadap Demokrasi Terpimpin, yang berpuncak pada penulisan surat kepada Soekarno pada tanggal 15 Januari 1958, dari Palembang, Sumatera Selatan, di mana Sjafruddin sedang dalam pembicaraan dengan Kolonel Barlian yang memberontak, menyuruh Soekarno untuk kembali ke Konstitusi Indonesia.
Akibatnya, ia dipecat sebagai gubernur Bank Indonesia, karena Sjafruddin semakin terlibat dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Februari 1958, Sjafruddin menjadi Perdana Menteri PRRI;, dan sebagai Gubernur Bank Indonesia (1951–1958), muncul di catatan PRRI.
Sjafruddin menentang pembentukan negara Sumatera yang terpisah, malah melihat PRRI sebagai gerakan integritas Indonesia, menentang sentralisasi kekuasaan di Indonesia.
Pada 25 Agustus 1961, Sjafruddin menyerah kepada tentara. Dia dipenjara sampai 26 Juli 1966, meskipun dia diberikan amnesti resmi pada tahun 1961, berdasarkan Keputusan Presiden RI No.449/1961.
Dilarang Naik Mimbar
Pada akhir tahun 1967, setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Sjafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Namun hal ini ternyata tidak mudah.
Bekas tokoh Partai Masyumi ini berkali-kali dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta.
“Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah,” ujar Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.
Di tengah kesibukannya sebagai mubalig, mantan Gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, Direktur Utama Lembaga Keuangan Indonesia. Peran Sjafruddin menjaga Indonesia selama masa perjuangan tidak bisa diungkap karena begitu banyaknya, tapi sayangnya sejarah sedikit mengulasnya, menjadikan generasi zaman kini hampir melupakanya.*/ Akbar Muzakki)