Kahar Muzakkir yang dikenal anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK), Panitia 9 yang merumuskan dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 45 serta Piagam Jakarta, adalah diplomat ulung dan ikut memperjuangkan kemerdekaan Palestina sejak muda
Hidayatullah.com | DALAM majalah Suara Muhammadiyah (5/69/1989), H. Harun Aly menulis pengalaman nyatanya terkait perjuangan putra Indonesia untuk Palestina dengan judul “9 Putra Indonesia untuk Palestina.”
Ia mengawali tulisan terkait rakyat Palestina yang mengalami kezaliman Israel, “Selain mereka itu adalah saudara kita seagama, juga penulis ini pernah berada di sana, pernah menghirup udaranya, pernah mendapat bimbingan dengan baik dan penuh kasih-sayang oleh beberapa pemuka Palestina yang senang dengan bangsa Indonesia.”
Di penghujung tahun 1931, di lembah Syuna, tepi Laut Mati, H.Harun Aly telah mendengar pemuda Indonesia terkemuka (yang bernama Abdulkahar Muzakkir, atau almarhum Prof. Abdul Kahar Muzakkir) yang bertemu dengan Amir Abdullah (Yordania).
Meski hanya dengar kabar, rupanya membuatnya penasaran. Tiga hari kemudian, di surat kabar Suriah bernama Alif-Ba, ada termuat gambar Ir. Soekarno, Mr. Iskak yang menghiasi tulisan dua lembar penuh yang rupanya ditulis oleh Abdulkahar Muzakkir dengan judul “Indonesia Yujahid” (Indonesia Berjuang).
Tulis H. Harun, “Mendengar berita di atas tergugahlah hatiku untuk melihat wajah orang besar dari bangsaku yang telah berkecimpung dan bersama sederajat dengan pembesar Islam sedunia itu.”
Perasaan haru, bangga sekaligus penasaran bercampur dibenaknya sehingga membuatnya ingin segera bertemu dengan Abdulkahar Muzakkir.
Sayangnya, saat Harun pergi ke Palestina, Kahar Muzakkir sudah kembali ke Mesir. Informasi ini didapat dari orang Partai Istiqlal Palestina yang saat itu diketuai oleh Awni Abdulhadi dan skretarisnya Ya’cub Al-Gassin.
Waktu itu Harun baru berusia 17 tahun, dan diberi pekerjaan menjaga dua buah gua di lubang gunung Palestina yang kabarnya ditata di masa Nabi Sulaiman. Setelah dua bulan kemudian, ia disarankan pergi ke panti asuhan Darul Aitam untuk diajari keterampilan.
Tapi, Harun lebih memilih bekerja di rumah makan Al-Alami dekat kantor Partai Istiqlal. Di sini, walau menjadi pekerja di rumah makan, Harun dapat banyak bimbingan terkait bahasa Arab, wawasan politik perjuangan.
Di tempat ini pula dari tokoh-tokoh Arab, Harun sering mendengar nama Indonesia berikut tokoh-tokohnya seperti HOS. Cokroaminoto, KH.Ahmad Dahlan, H. Samanhudi, KH. Hasyim Asy’ari dan lain-lain, yang sampai ditulis oleh Luthfi Jum’ah dalam buku “Hayaatusy Syarqi”.
Menarik untuk diungkap di sini, bahwa pada tahun-tahun itu (1930-an), tersiarnya nama Indonesia di kalangan pejuang di Timur Tengah dan di Afrika Utara berkat tulisan-tulisan dan pidato Abdulkahar Muzakkir yang punya hubungan erat dengan para pejuang misalnya dalam organisasi Syubbanul Muslimin (Mesir-Palestina).
Atas anjuran H. Farid Makruf, akhirnya Harun dan kawan-kawan pergi dari Palestina menuju Mesir, kemudian bisa bertemu dengan Abdulkahar Muzakkir pada 30 Desember 1933. Demikian gambaran Harun, “Di Mesir saya bertemu dengan orang yang kucari dan ingin kulihat dahulu, yaitu Abdukahar Muzakkir, yang alu menggembleng aku di kantor Jam’iyyah Khairiyah yang kemudian berganti nama Parpindom. Seterusnya ia lalu memanggil aku adik dan aku memanggilnya kakang.”
Ketika terjadi pemberontakan besar di Palestina tahun 1936 di bawah pimpinan Abdurrazik, ada beberapa pemuda Indonesia yang gugur. Di antaranya Jaka (Zakaria) yang gugur dalam pertempuran El-Ked. Ada juga Ahmad asal Lampung yang juga gugur di tempat yang sama sebagai anggota palang merah.
Sedangkan nama lain, Thahir bin ALi dari Serumbung, gugur di sekitar Jafa sebagai kurir. Adapun AHmad asal Bima gugur di daerah Karak.
Sementara Abdulwahab dan Abdullah Abu Yabis hilang di daerah Karak. Sedangkan Abdullah kecil dari Sumatera Selatan juga gugur di Tulkarom sebagai sopir mobil. Ada tiga lagi orang asal Indonesia yang tidak diketahui nama dan kelahirannya yang hilang di sekitar Khalilurrahman (Hibron), Gaza.
Mereka yang gugur ini, tulis Harun berjuang untuk Palestina bukan sekadar kata dan tulisan tapi juga sampai mempertaruhkan nyawa. “Kenangan saya seperti yang tertulis ini bahwa nama-nama yang tercantum di atas telah lebih dahulu mewakili kita bangsa Indonesia. Bukan saja menyatakan solidaritas dengan kata-kata dan tulisan di surat kabar tetapi telah dengan sukarela dan tanpa pamrih memberikan jiwa-raga demi Agama dan Keadilan.”
Sebagai tambahan catatan untuk putra Indonesia yang gugur dan berjuang secara konkret di Palestina, penulis jadi ingat apa yang dicatat oleh Ridwan Saidi dalam majalah Al-Mujtama’ (No.3/I/2008: 58-59) yang berjudul “M. Natsir dan Perlawanan terhadap Zionisme Israel.”
Dalam tulisan Ridwan ini ada data menarik, mengutip pemberitaan majalah Muhammadiyah Betawi yang memuat berita perang Palestina-Israel tahun 1931, bahwa ada tiga pelajar timur tengah dari Indonesia yang terlibat dalam pertempuran itu melawan penjajah ‘Israel’.
Tulis Babe Ridwan, “Tidak kurang dari tiga pelajar Indonesia yang tewas di medan tempur yaitu Ali, Ibhrahim dan Sapulete.” Menariknya, saat Ridwan Saidi pada tahun 1992 bertemu dengan seorang tokoh Palestine Liberation Organization (PLO) di Yordania, ia menceritakan, bahwa Ridwan terkejut dengan lancar ia (tokoh PLO) menyebut ketiga nama putra Indonsia yang syahid dalam melawan ‘Israel’ pada tahun 1930-an itu.
Kisah dari Ridwan semakin melengkapi apa yang diceritakan oleh Haji Harun bahwa sejak awal putra Indonesia sangat peduli Palestina. Mereka bukan sekadar menyuarakan soladiratis melalui lisan dan tulisan, tapi lebih konkret lagi hingga berjuang di medan jihad hingga titik darah penghabisan. Maka dari itu, kepedulian kepada Palestina, seharusnya tidaklagi sebatas himbauan dan kecaman, tapi butuh lebih kongkret lagi.
Setelah kembali ke Indonesia, Kahar Muzakir tercatat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK). Kemudian masuk dalam Panitia 9 yang merumuskan dasar negara Pancasila dalam Pembukaan UUD 45 dan Piagam Jakarta.
Meski namanya kurang menonjol dibandingkan KH Agus Salim, Ali Sastro Amijoyo, atau Soekarno ia tetap dikenal pejuang diplomat Indonesia yang memiliki, intelektualitas dan integritas tinggi.*/Mahmud Budi Setiawan