Orang Kristen melihat penaklukkan Muslim sebagai invasi kerajaan baru ketimbang penyebaran agama, ini membuat umat Kristiani tak mudah memahami peradaban Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari agama Islam
Oleh: Dr. Alwi Alatas
Hidayatullah.com | ARTIKEL ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya (Ekspansi Awal Islam dan Masyarakat Kristen al-Syam dan Irak). Di bawah nanti akan didiskusikan tulisan S.P. Brock yang berjudul “Syriac Views of Emergent Islam.”
Bahasa Syriac yang merupakan kepakaran Brock adalah bahasa semitik – serumpun dengan Bahasa Arab – yang digunakan oleh para agamawan Kristen di al-Syam dan Irak pada era tersebut. Pada abad ketujuh, di Syam dan Irak ada beberapa aliran Kristen, antara lain Nestorian dan Monophysite.
Adapun keyakinan resmi yang dipegang oleh Kekaisaran Byzantium ketika itu adalah keyakinan Chalcedonian, yang menjadi akar bagi keyakinan Kristen Orthodoks, Katolik dan Protestan. Kelompok-kelompok keagamaan ini memiliki perbedaan keyakinan tentang sifat ketuhanan Yesus dan mereka saling membid’ahkan satu sama lainnya.
Kelompok Nestorian, yang banyak tersebar di kawasan Timur (Persia hingga China), berkeyakinan bahwa Yesus (Nabi Isa alaihis salam) terdiri dari dua persona – di sumber lain disebut dua esensi – yang terpisah. Yang pertama adalah Yesus sebagai manusia dan yang kedua Yesus sebagai anak Tuhan. Keduanya bukan merupakan satu kesatuan (“Nestorian Christianity,” n.d.).
Dalam konteks ini, Firman (the Word) berdiam di dalam manusia Yesus dan Maria (Maryam) adalah ibu bagi sang manusia, bukan ibu dari Tuhan (Farah, n.d.). Faham Nestorian ditolak oleh doktrin Kristen resmi (Chalcedonian) karena menggambarkan Yesus sebagai manusia yang terinspirasi oleh Tuhan (God-inspired man), bukan sebagai wujud inkarnasi Tuhan menjadi manusia (“Nestorianism,” n.d.).
Kumpulan Monophysite meyakini bahwa sifat alami Yesus selamanya bersifat ketuhanan dan bukan manusia, walaupun ia mengambil tubuh ragawi dan duniawi (“Monophysite Christianity,” n.d.). Sementara keyakinan Chalcedonian yang dipegang oleh Kekaisaran Byzantium meyakini bahwa Yesus sepenuhnya Tuhan dan sepenuhnya manusia dan kedua sifat ini merupakan satu kesatuan (Mathison, 2019).
Masuknya para penakluk Arab Muslim ke Syam dan Irak dipandang oleh masing-masing sekte sebagai bentuk hukuman Tuhan terhadap umat Kristiani, terutama karena tersebarnya faham bid’ah atau karena represi kelompok yang berkuasa. Kehadiran penguasa baru ini (Muslim) kadang dilihat sebagai pembebasan oleh kelompok keagamaan yang sebelumnya ditekan oleh kekuasaan.
Sebuah teks Monophysite misalnya menulis betapa Tuhan marah kepada penguasa Byzantium yang selama ini telah zalim kepada mereka:
“melihat banyaknya kejahatan orang Romawi [Byzantium/Chalcedonian]–bagaimana mereka menggunakan segala cara untuk menghancurkan orang-orang kita dan gereja kita, sehingga komunitas (agama) kita hampir dimusnahkan–(inilah sebabnya) dia [Tuhan] membangkitkan dan membawa orang-orang Ismail dari negeri Selatan–yang paling hina dan tidak penting dari bangsa-bangsa di bumi–untuk melakukan melalui mereka pembebasan kita.” (Brock, 1982: 11)
John Penek yang merupakan penganut sekte Nestorian, menulis pada akhir abad ke-7 dengan nada yang sama dengan di atas. Kemenangan orang-orang Arab itu baginya merupakan rencana Tuhan, yang lewat mereka agama Kristen (Nestorian) dihargai.
“Bagaimana, jika tidak demikian, tanpa bantuan Tuhan, orang telanjang, berkuda tanpa baju besi atau perisai, bisa menang: Tuhan memanggil mereka dari ujung bumi untuk menghancurkan, melalui mereka, kerajaan yang penuh dosa …, dan untuk mempermalukan, melalui mereka, semangat kebanggaan Persia.” (Brock, 1982: 16)
Sebagian penulis Kristen melihat penaklukkan itu sebagai fenomena apokaliptik (akhir zaman). John Penek, misalnya, menyebutkan bahwa “akhir dari dunia sudah tiba” dan hanya tinggal menunggu munculnya Dajjal (Antichrist) saja. Penulis lainnya bahkan memprediksi peristiwa-peristiwa yang akan terjadi berikutnya disertai spekulasi perkiraan tahunnya (Brock, 1982: 17-18).
Secara umum S. P. Brock menyimpulkan bahwa orang-orang Kristen di kawasan itu lebih melihat fenomena penaklukkan Muslim di abad ketujuh sebagai sebuah invasi kerajaan baru ketimbang suatu penyebaran agama baru.
“Bagi Muhammad, gelar ‘nabi’ tidak terlalu umum, bahkan ‘rasul’ lebih tidak umum lagi. Biasanya ia hanya digambarkan sebagai raja Arab pertama, dan secara umum benar untuk mengatakan bahwa sumber-sumber Syriac pada periode ini melihat penaklukan terutama sebagai Arab, dan bukan Muslim.” (Brock, 1982: 14)
Kesimpuan ini menarik, tetapi memerlukan beberapa penjelasan. Pertama, Islam merupakan agama dan peradaban. Para penulis Kristen di era itu lebih melihat fenomena itu sebagai kemunculan kerajaan (peradaban) baru, karena peradaban Islam ketika itu memang tengah berekspansi secara militer, sehingga aspek peradaban (kerajaan) inilah yang lebih terlihat oleh mereka.
Sementara ekspansi peradaban itu merupakan sesuatu yang dilihat dan dialami secara langsung, Islam sebagai sebuah agama masih perlu waktu untuk dikenali oleh masyarakat Kristen di kawasan itu.
Kedua, kesimpulan itu tidak bermakna bahwa orang-orang Kristen di era itu sama sekali tidak melihat atau mengakui aspek keagamaan dari penaklukkan tersebut. Tulisan Brock sendiri pun memberikan contoh tentang ini.
Sumber-sumber Nestorian dan Monophysite, misalnya, ada menggunakan istilah mhaddyana bagi Nabi Muhammad. Kata Syriac ini bermakna “petunjuk” dan berkaitan dengan kata haddaya yang merupakan gelar keagamaan dalam tradisi awal masyarakat Kristen Syriac (Brock, 1982: 14).
Gelar ini rupanya digunakan juga di era modern. Tidak kurang Brock sendiri pada tahun 2003, dalam satu perhelatan di Oxford, menerima gelar “Haddaya of Syriac Studies” dari The Syriac Institute (Kiraz, 2004: 7).
Ketiga, kesimpulan itu tampaknya ikut dipengaruhi oleh perbedaan pandangan alam (worldview) Islam dan Kristen.
Dalam perkembangan sejarahnya, gereja Kristen memang terlibat juga dalam hal kekuasaan. Namun, agama Kristen sebenarnya tidak sejak awal ditubuhkan untuk mengatur hal-hal kenegaraan, tetapi lebih berkenaan dengan persoalan ritual dan etika, di samping perkara ukhrawi.
Saat ditanya soal pembayaran pajak ke Roma, misalnya, Yesus dikatakan menjawab, “… berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Tuhan apa yang wajib kamu berikan kepada Tuhan!” (Lukas 20: 25). Menurut Lavendar (2002: 1), bagian kedua dari pernyataan itu, yaitu kewajiban pada Tuhan, merupakan perhatian Yesus yang sebenarnya. Bagi Yesus, pemerintahan duniawi hanyalah “lembaga yang diberdayakan oleh Tuhan untuk menjaga perdamaian.”
Nabi Isa dan Nabi Muhammad sama-sama Nabi dan Rasul (sebagaimana yang diyakini oleh umat Islam). Namun, sementara Yesus (Nabi Isa alaihi salam) tidak pernah memimpin negara, Nabi Muhammad telah memimpin dan mengatur negara, yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya. Hal ini memberi pemahaman dan pengalaman keagamaan yang berbeda di dalam tradisi Kristiani dan Islam.
Perbedaan itu juga terefleksikan dalam istilah “agama” yang ada pada masing-masing tradisi Kristen dan Islam. Kata Latin religio yang menjadi asal kata religion dalam tradisi Barat Kristen, misalnya, bermakna “hubungan antara manusia dan tuhan-tuhan.”
Pengertian ini menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas (1993: 49) “tidak menghasilkan banyak informasi tentang maknanya sebagai suatu aspek kehidupan manusia yang nyata dan mendasar.”
Hal ini berbeda dengan kata dīn (agama) di dalam Islam yang cakupannya lebih menyeluruh. Dari akar kata dīn muncul banyak kata lainnya yang menggambarkan keluasan maknanya: dāna (berhutang budi), dayn (kewajiban), madīnah (kota), dayyān (hakim, gubernur), tamaddun (peradaban) (al-Attas, 1993: 52-54).
Selain mengatur perkara yang bersifat ibadah atau hubungan personal antara manusia dengan Tuhan, konsep dīn juga berkaitan dengan gagasan tentang negara dan perekonomian (al-Attas, 1993: 67). Keseluruhan gagasan itu memang telah diatur dan dipraktekkan sejak awal keberadaan Islam, bahkan oleh Nabi Muhammad sendiri.
Karena itu, pengalaman dan pandangan Kristen sebagaimana telah dijelaskan di atas cenderung membuat umat Kristiani tidak mudah untuk memahami peradaban Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam.
Dengan begitu, kesimpulan S. P. Brock di atas sebenarnya tidak menggambarkan realitas masyarakat Arab Muslim. Tampaknya itu lebih merefleksikan cara pandang masyarakat Kristen, atau mungkin juga cara pandang si penulis artikel itu sendiri.*/Kuala Lumpur, 26 Dzul Hijjah 1443/ 26 Juli 2022
Penulis adalah staf pengajar di bidang Sejarah dan Peradaban pada International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
Brock, S. P. 1982. Syriac Views of Emergent Islam. Dalam G. H. A. Juynboll. Studies on the First Century of Islamic Society. Southern Illinois University.
Farah, Caesar E. N.d. Nestorians. https://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/nestorians
Kiraz, George A. 2004. Sebastian Paul Rock: Haddaya of Syriac Studies. Journal of Assyrian Academic Studies, Vol. 18, No. 1. https://www.academia.edu/2075697/Sebastian_Paul_Brock_Hadd%C4%81y%C4%81_of_Syriac_Studies
Lavendar, Earl. 2022, 1 Januari. The Early Church and Government. Leaven, Vol. 10, Issue 2. https://core.ac.uk/download/pdf/71931901.pdf
Mathison, Keith A. 2019, 11 November. The Basics of Chalcedonian Christology. Tabletalk. https://tabletalkmagazine.com/posts/the-basics-of-chalcedonian-christology-2019-11/
Monophysite Christianity. N.d. Britanica. https://www.britannica.com/topic/monophysite
Nestorian Christianity. N.d. New World Encyclopedia. https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Nestorian_Christianity#:~:text=Nestorianism%20is%20the%20Christian%20doctrine,451)%2C%20patriarch%20of%20Constantinople.
Nestorianism: Christian Sect. N.d. Britanica. https://www.britannica.com/topic/Nestorianism