ULAMA satu ini, oleh santri-santrinya dikenal dengan julukan ‘Singa Podium’. Bersikap tegas, teguh, konsekuen, istikamah, berilmu luas, dan berkarisma tinggi. Nama lengkapnya: Abdullah Sattar Madjid, anak dari KH. Madjid Iljas yang merupakan kiai kondang di zamannya.
Beliau lahir di Peneleh Surabaya 1 September 1937. Dibanding dengan saudara-saudaranya yang lain, ia paling menonjol. Kelak ketika ayahnya meninggal, yang menggantikan posisi pengasuh pengajian di Jama`ah Pengajian Surabaya adalah Abdullah Sattar Madjid. Melalui gemblengan yang luar biasa dari ayahnya, pada akhirnya ia menjadi ulama yang multi talenta dan mampu meneruskan estafeta kepemimpinan yang diwarisi dari ayahnya.
Riwayat pendidikan keagamaan beliau terbilang unik. Secara umum tidak pernah menyelesaikan studi keagamaan. Ia berkeliling berguru menyusuri pondok-pondok di Indonesia, namun ia tak bertahan lama karena mempunyai prinsip: “Selama kiai pondoknya tidak bisa menjawab pertanyaannya, maka dia akan pindah lagi berguru ke sekolah lain”.
Menurut penuturan kakaknya yang bernama Abdullah Faqih Madjid, KH. Abdullah Sattar pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Darus Salam Gontor. Ia juga pernah mengampu pendidikan di UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta. Ia pun pernah meneruskan studinya di Toronto Kanada. Selain itu pernah juga menimba ilmu di Mesir yang saat itu berjumpa dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan kawan-kawan.
Di antara guru agamanya ialah Kh. Madjid Ilyas, A. Hassan (dalam bidang mantiq), Abdul Qadir Hassan (dalam bidang Ilmu Hadits), Muhammad Natsir (dalam bidang politik) bahkan dalam suatu forum pengajian Ahad pagi dia pernah menyatakan pernah mendatangi orang-orang besar di masanya. Ia juga seperguruan dengan Soekarno dalam bidang tertentu. Masih banyak sebenarnya guru-guru besarnya yang tidak bisa disebutkan secara detail pada tulisan ini. Karena pengalaman studinya begitu luas dan belum pernah dibukukan.
Ada kisah menarik sewaktu dia belajar di Kanada. Ketika lulus dari sana, di hadapan teman-tamannya ia merobek ijazah yang didapatnya. Alasannya, beliau menganggap bukan untuk itu dia kuliah.
Setelah ayahnya meninggal, praktis yang menggantikannya adalah dirinya sendiri. Ia dikenal sebagai ahli Fiqh, Hadits, dan ilmu-ilmu lainnya. Kemampuannya bukan saja dalam bidang keagamaan, ia juga menguasai arsitektur, peternakan (yang kelak disalurkan dengan pendirian yayasan Astajati) dan ilmu-ilmu lain yang membuat muridnya heran dan berdecak kagum.
Layaknya kiai pada umumnya di masa klasik, beliau memiliki keahlian yang beranekaragam. Ini terbukti dari banyaknya santri yang berkonsultasi padanya dengan keperluan yang beragam. Ada tentang keagamaan, kesehatan, finansial dan lain sebagainya. Menurut penuturan murid-muridnya di antara hobi beliau adalah membaca dan memasak.
Untuk membaca beliau pernah cerita, sewaktu di perpustakaan pondok pesantren Bangil ia mengaku bahwa buku-buku yang ditandai merah adalah buku yang dibacanya. Beliau adalah ulama agung yang tidak silau kepada keduaniaan, serta konsisten dalam memurnikan akidah umat.
Salah satu karya yang ditinggalkan –selain kegiatan pengajian dan dakwah– adalah buku berbagai masalah agama yang berjudul “Siaran Berkala” (yang merupakan kelanjutan dari tulisan ayahnya). Selain itu, terjemahan Al-Qur`an berbahasa Madura adalah salah satu hasil tangan dinginnya dalam mendidik santrinya sehingga penerjemahan itu bisa sempurna dan sudah diterbitkan di Madura. Lebih dari itu, Masjid As-Sattar Surabaya, yang kabarnya bangunan indah itu arsitek utamanya adalah beliau rahimahullah.
Hal yang tidak kalah penting, sejak beliau masih hidup hingga sekarang diteruskan santri-santrinya, adalah konsistensi beliau dan para santri setiap hari Jum’at untuk mensosialisasikan bahwa hari agung ini –selain Idul Fitri dan Adha– adalah hari raya umat Islam. Yang pada intinya, menyarankan bahwa hari Jum’at semestinya adalah hari libur umat Islam.
Beliau meninggal di Surabaya pada tanggal 2 Oktober 2010. Semoga jejak keulamaan dan kiprahnya dalam mendakwahkan Islam bisa diteruskan oleh generasi selanjutnya. Untuk mengenang beliau, salah satu santrinya membuat puisi berjudul “Kesedihan Hati”:
Langit mendung di ufuk barat
Mengiringi kepergianmu
Seorang mujadid yang lurus
Yang turun tiap 100 tahun sekali
Kesedihan menyelimuti hati
Wajah-wajah sayu memendam
Tetesan air mata mengiringi
Dada terasa kosong hampa
Saat Pembaru berguguran
Tiada pengganti yang pantas
Generasi muda belum siap
Ilmu dan mental belum mantab
Apakah kamu akan kembali
Pada kebodohanmu yang dulu
Atau kamu tetap bertahan
Berjuang menegakkan tiang yang ada
Sungguh ilmumu tiada terbalas
Walau oleh seisi dunia ini
Moga Allah menempatkanmu
Di tempat yang terbaik lagi mulia.*/Mahmud Budi Setiawan