Oleh: Alwi Alatas
Hidayatullah.com | MELALUI keputusan pengadilan, Pemerintah Turki baru-baru ini mengubah status Museum Hagia Sophia atau Ayasofya (secara bahasa bermakna ‘Kebijaksanaan Suci’, Holy Wisdom) menjadi masjid kembali. Shalat Jum’at yang pertama diadakan di bagunan itu pada hari Jum’at lalu, 24 Juli 2020, diikuti oleh sejumlah besar masyarakat Turki.
Kebijakan pemerintah Turki itu disambut positif oleh banyak pihak, tetapi tidak sedikit juga yang mengkritik, khususnya masyarakat Yunani dan dunia Kristen pada umumnya. Sebagian melihat kebijakan tersebut sebagai bagian dari langkah politik Presiden Recep Tayyip Erdogan. Kebijakan pemimpin seperti Erdogan, yang dalam beberapa tahun terakhir banyak – mungkin terlalu banyak – terlibat dalam konflik regional, tentu sulit dipisahkan dari aspek politik. Bagaimanapun, kebijakan itu tentu tidak muncul tiba-tiba atau dipengaruhi oleh kepentingan sesaat jika memperhatikan latar belakang keagamaan dan pergerakan politik Erdogan.
Perubahan status Hagia Sophia sebagai masjid mengingatkan banyak orang pada penaklukkan Konstantinopel oleh Muhammad al-Fatih pada tahun 1453. Erdogan tentu saja tidak sama dengan al-Fatih dan Republik Turki juga bukan Kekhalifahan Utsmani, walaupun banyak yang berusaha mengaitkan di antara keduanya, baik sebagai pujian ataupun sebagai tuduhan.
Bagaimana sebetulnya sejarah Hagia Sophia, terutama peralihannya dari gereja menjadi masjid di era Muhammad al-Fatih? Tulisan ini akan mendiskusikan tentang hal ini secara ringkas.
Konstantinopel, Hagia Sophia, dan Islam
Hagia Sophia pada asalnya adalah gereja yang dibangun di Konstantinopel atas arahan Kaisar Konstantin I pada tahun 325 di atas landasan kuil pagan yang ada di lokasi yang sama sebelumnya (https://www.britannica.com/topic/Hagia-Sophia). Gereja yang tampaknya sejak awal telah diberi nama St. Sophia ini beberapa kali mengalami kerusakan karena gempa dan huru-hara. Pada tahun 537, Kaisar Byzantium, Justinianus, membangun kembali gereja tersebut dengan arsitektur yang sangat megah. Walaupun ada beberapa perbaikan dan perubahan di masa-masa berikutnya, bangunan Hagia Sophia yang eksis pada hari ini dapat dikatakan merupakan bangunan peninggalan era Justinianus.
Pada era Byzantium, Gereja St. Sophia atau The Great Church, merupakan gereja terbesar di Konstantinopel (kini Istanbul), sekaligus pusat bagi keorganisasian gereja Ortodoks. Kompleks gereja ini menjadi salah satu tempat penting bagi penyimpanan relik-relik yang dianggap suci dan karenanya menjadi salah satu pusat wisata religi Kristen yang utama pada masa lalu. Cerita tradisional setempat menggambarkan malaikat Mikail sebagai penjaga bagi Gereja Hagia Sophia dan kota Konstantinopel.
Pada pertengahan abad ke-15, kota Konstantinopel dan seluruh Kekaisaran Byzantium jatuh ke tangan Turki Utsmani. Sejak saat itu pula Gereja Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid dan bertahan dalam fungsinya itu selama lebih dari empat setengah abad. Pada tahun 1934, Mustafa Kamal Attaturk, yang sebelum itu telah menghapuskan kekhalifahan Turki Utsmani dan mendirikan Republik Turki yang sekular, mengubah status masjid itu menjadi museum (Majeska, 1984: 199-200).
Upaya pertama penaklukkan Konstantinopel sebenarnya telah dilakukan pada tahun 49 atau 50H (669 atau 670M). Beberapa sahabat Nabi seperti Ibn Abbas, Ibn Umar, dan Abu Ayyub al-Ansari radhiallahu anhum ikut menyertai upaya penaklukkan ini. Abu Ayyub yang ketika itu sudah berusia lanjut meninggal dunia dan dikuburkan di tempat itu (Ibn Khayyat, 1985: 211; al-Tabari, 1987: 94). Setelah itu ada beberapa upaya lainnya untuk menaklukkan kota tersebut, baik di era Umayyah, Abbasiyyah, maupun Turki Utsmani, tetapi kota itu baru jatuh pada tahun 1453 oleh Sultan Muhammad al-Fatih (w. 1481).
Muhammad al-Fatih baru berusia sekitar 20 tahun saat ia melakukan penaklukkan Konstantinopel dan ketika itu ia baru saja memerintah sebagai Sultan Turki Utsmani menggantikan ayahnya, Murad II, yang wafat pada tahun 1451. Ia mengepung kota itu selama hampir dua bulan, dimulai sejak 6 April 1453. Pada tanggal 29 Mei 1453, setelah menghadapi beberapa kesulitan serta menjalankan sejumlah strategi, kota itu berhasil dikuasai oleh Turki Utsmani (Akgunduz, 2011: 92). Kaisar Byzantium mati terbunuh dalam proses penaklukkan itu.
Aturan perang yang dijalankan oleh kaum Muslimin sejak awal hingga ke masa itu adalah jika di dalam pertempuran sebuah kota menyerahkan diri secara damai, maka penduduknya tetap bebas menjalankan kehidupannya serta berhak mempertahankan kepemilikan tanah dan harta mereka. Namun jika kota itu jatuh melalui pertempuran, maka tanah dan harta di kota itu menjadi pampasan perang dan penduduknya menjadi tawanan dan kemungkinan besar menjadi budak jika tidak ada yang menebusnya. Konstantinopel jatuh dengan cara yang terakhir ini, sehingga tanah dan bangunannya otomatis menjadi hak milik penakluk, termasuk di dalamnya Hagia Sophia. Demikian pula penduduknya menjadi tawanan, kecuali jika ada pihak yang menebus dan membebaskannya.
Isidore, kardinal Katholik utusan Roma – kehadiran pemuka Katholik di kota itu merupakan keputusan politik yang tidak disukai oleh Gereja Ortodoks dan orang-orang Yunani – merupakan salah satu tokoh yang ikut mempertahankan kota itu dari serangan Muslim. Ia mendapat luka dan tertangkap di sekitar Hagia Sophia saat kota itu jatuh. Namun sebelum identitasnya dikenali, ada yang menebus dirinya sehingga ia dapat pergi meninggalkan kota itu dengan selamat (Philippides, 2011: 15).
Halil Inalcik (1978: 231-233), pakar sejarah Turki Utsmani yang meninggal dunia beberapa tahun lalu, menerangkan dengan cukup detail di dalam salah satu artikelnya betapa sejak awal Muhammad al-Fatih berkeinginan agar kota itu menyerah dan tidak jatuh lewat perang demi menghindari terjadinya kerusakan dan depopulasi. Hal ini dilakukan melalui beberapa kali perundingan. Lewat salah satu dutanya, ia mendorong Kaisar Byzantium untuk menyerah dan pergi membawa hartanya secara aman, membiarkan rakyatnya terbebas dari akibat peperangan. “Atau engkau menghendaki lewat perlawananmu … penduduk [Konstantinopel] menjadi budak orang-orang Turki dan terpencar ke penjuru dunia?” demikian pesannya kepada Kaisar.
Ketika tetap tidak tercapai kesepakatan, maka yang berlaku kemudian adalah hukum jatuhnya kota secara militer. Al-Fatih mengizinkan pasukannya untuk melakukan perampasan selama tiga hari saat kota itu jatuh, tetapi “tampak jelas bahwa Sultan merasa enggan” dan “ia mengakhiri penjarahan pada malam hari yang pertama”. Setelah penaklukkan, al-Fatih bertanya kepada salah satu petinggi Byzantium, Lucas Notaras, mengapa ia tidak membujuk Kaisar untuk menyerahkan kota secara damai. Notaras menjelaskan bahwa ketika pada akhirnya mereka setuju untuk menyerah, mereka tak mampu melakukannya karena ditentang keras oleh orang-orang Italia yang ikut mempertahankan kota itu (Inalcik, 1978: 231-233).
Muhammad al-Fatih kemudian menjadikan Konstantinopel, kini Istanbul, sebagai ibukota pemerintahannya yang baru. Walaupun Hagia Sophia diambil alih dan dikonversi menjadi masjid – begitu pula dengan beberapa gereja lainnya di kota itu pada masa-masa berikutnya – al-Fatih tidak menghapuskan institusi gereja Ortodoks dan juga tidak melarang non-Muslim untuk tinggal di kota itu. Ini sangat berbeda dengan apa yang berlaku, misalnya, di Andalusia pasca jatuhnya Granada ke tangan pemimpin-pemimpin Katolik di wilayah itu.
Di antara kebijakan awal al-Fatih di Istanbul adalah menarik penduduk dari wilayah lain, termasuk yang non-Muslim, untuk datang dan menetap secara permanen di Istanbul. Pada masa akhir pemerintahan Byzantium, kota itu mengalami banyak kemerosotan, termasuk dalam hal populasi. Sekarang kota itu menjadi ibu kota baru bagi Kesultanan Utsmani yang besar, pembangunan kembali kota itu menjadi sangat penting. Kebesaran tempat itu sebagai ibukota ikut terefleksikan lewat populasinya. Karena itu dorongan serta kemudahan bagi mereka yang ingin menetap di Istanbul menjadi bagian dari kebijakan al-Fatih bagi menambah jumlah penduduk di kota itu. Pada tahun 1477, masih pada masa pemerintahan al-Fatih, jumlah rumah tangga Muslim di Istanbul adalah 8.951 dan jumlah rumah tangga Ortodoks Yunani adalah 3.151 (Inalcik, 1978: 247).
Syeikh Aq Syamsuddin dan Khutbah Jum’at pertama di Hagia Sophia
Kisah penaklukkan Konstantinopel dan perubahan Hagia Sophia menjadi masjid membawa kita kepada tokoh lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu Syeikh Aq Syamsuddin, salah satu guru dan penasihat spiritual Muhammad al-Fatih. Nama asli beliau adalah Muhammad bin Hamzah al-Dimasyqi al-Rumi.
Syeikh Aq Syamsuddin lahir di Damaskus, hafal al-Qur’an sejak usia tujuh tahun, mendalami ilmu-ilmu agama di usia mudanya dan nantinya wafat pada tahun 1459, enam tahun setelah penaklukkan Konstantinopel (ash-Shalabi, 2002: 139). Syeikh Aq Syamsuddin juga memiliki kepandaian dalam ilmu pengobatan dan menulis beberapa buku tentang persoalan ini, yang salah satunya memberikan gambaran yang awal tentang kuman sebagai penyebab penyakit (ash-Shalabi, 2002: 144-145).
Bagaimanapun, beliau juga merupakan seorang ahli dalam pengobatan jiwa. Beliau adalah salah seorang Syeikh sufi dari tarekat Bayrami yang “mengubah ajaran-ajaran Ibn Arabi menjadi standar perilaku dengan tingkat kejelasan buku teks pegangan bagi para pengikut darwis mereka”. Nilai-nilai tasawuf ini meresap semakin dalam di Kesultanan Utsmani sejak masa pemerintahan Murad II (w. 1451), ayah Muhammad al-Fatih (Yilmaz, 2018: 132-133).
Syeikh Aq Syamsuddin memberikan pengaruh yang besar atas diri al-Fatih dalam proses penaklukkan Konstantinopel. Ia juga yang diminta oleh al-Fatih untuk mencari makam Abu Ayyub al-Ansari setelah jatuhnya kota itu dan menemukannya di tempat yang sekarang menjadi kompleks masjid dan makam yang ramai dikunjungi para peziarah di Istanbul. Pada masa Utsmani yang belakangan, Syeikh Aq Syamsuddin dikenang sebagai penakluk spiritual Konstantinopel (Yilmaz, 2018: 134).
Sumber-sumber sejarah memang memperlihatkan posisi penting ulama sufi ini sebagai tempat bersandar dan meminta nasihat bagi al-Fatih dalam proses penaklukkan Konstantinopel. Saat terjadi krisis di tengah pengepungan kota itu disebabkan kegagalan angkatan laut Turki menahan kapal-kapal bantuan dari Italia masuk ke Konstantinopel dan karenanya sebagian pihak mulai mempertanyakan urgensi dan efektivitas pengepungan itu, al-Fatih mengirim salah satu menterinya kepada Syeikh Aq Syamsuddin untuk mendapatkan jalan keluar. Syeikh Aq Syamsuddin rupanya menjadi pihak yang ikut dipertanyakan oleh sebagian orang disebabkan prediksinya tentang penaklukkan kota itu oleh al-Fatih (ash-Shalabi, 2002: 140).
Dalam suratnya – yang tersimpan di Museum Topkapi – kepada Sultan pada tanggal 20 April 1453, Syeikh Aq Syamsuddin menekankan tentang dampak negatif dari kejadian itu dimana orang-orang Kristen bergembira karenanya dan otoritas Sultan menjadi berkurang di mata tentaranya. Ia antara lain menulis:
Dalam keadaan ini Anda harus membuat penyelidikan yang tepat tentang pertikaian dan penelantaran ini, dan menghukum berat mereka yang bertanggung jawab untuk itu, jangan sampai mereka melakukan sikap abai yang sama ketika saatnya tiba untuk menyerang dinding dan mengisi parit.
Peristiwa itu memang sempat membuat tentara Muslim kehilangan harapan dan menyebabkan mereka terpecah dalam beberapa kelompok (Inalcik, 1960: 411-412). Bagaimanapun, situasi itu dapat segera diatasi. Pimpinan angkatan laut segera diganti dan pada malam berikutnya al-Fatih dapat membalik keadaan, setidaknya secara psikologis. Pada malam itu ia berhasil menyeberangkan puluhan kapal lewat darat, memasuki perairan Golden Horn yang sebelumnya tak dapat dimasuki oleh kapal-kapal Turki disebabkan rantai besar yang menghalanginya.
Jatuhnya Konstantinopel masih perlu menunggu beberapa minggu setelah peristiwa itu. Bagaimanapun, kota itu pada akhirnya jatuh ke tangan al-Fatih. Hagia Sophia kemudian diubah menjadi masjid. Pada hari Jum’at yang pertama setelah dikuasainya kota itu, kaum Muslimin melakukan shalat Jum’at di Hagia Sophia. Itu adalah shalat Jum’at yang pertama yang dilakukan di dalam bangunan tersebut. Yang menjadi imam dan khatib di Masjid Hagia Sophia ketika itu tak lain adalah Syeikh Aq Syamsuddin (Yilmaz, 2018: 134; ash-Shalabi, 2002: 143).
Jika pada hari ini hagia Sophia kembali menjadi masjid, kekecewaan sebagian kalangan Kristen dapat dimaklumi. Namun tidak salah juga jika ada yang mengatakan bahwa selama beberapa abad terakhir orang-orang Turki-lah yang sebenarnya telah merawat dan memuliakan bangunan itu. Dan bahwa peralihannya menjadi masjid adalah lebih sesuai, di mana orang-orang Muslim datang dengan adab yang baik dan nama Tuhan diagungkan di dalamnya, ketimbang menjadikannya sebagai museum di mana para turis yang kadang berpakaian kurang sopan masuk ke dalam bangunan tersebut. Wallahu a’lam.*/Kuala Lumpur, 8 Dzulhijjah 1441/ 29 Juli 2020
Dosen Sejarah pada International Islamic University Malaysia (IIUM)