Baghdab jatuh kepada Mongol, Khalifah menyerahkan dirinya, 3000 orang ikut serta, termasuk para pembesar, imam, dan hakim
Hidayatullah.com | SELAMA lima abad, Kekhalifahan Bahgdad merupakan kekuatan besar pada masanya. Namun akhirnya kekuatan yang disegani dunia itu harus runtuh oleh serangan pasukan Mongol.
Namun Mongol tidak serta-merta menyerang. Sebelumnya telah ada upaya-upaya untuk melemahkan kekuatan Baghdad, terutama dilancarkan dari dalam istana.
Gerakan pelemahan tersebut rupanya berjalan dengan baik ketika khalifah Baghdad dalam kondisi lalai. Hingga akhirnya tanpa memperoleh perlawanan berarti, Mongol berhasil meluluh-lantakkan Baghdad.
Detik-detik Runtuhnya Baghdad
Bangsa Mongol pada awalnya merupakan kabilah-kabilah yang hidup secara nomaden. Di sela-sela perngembaraan, mereka menetap dengan tinggal di tenda-tenda dari kulit binatang yang diangkut di atas gerobak.
Jenghis Khan memimpin kekuasaan bangsa Mongol setelah berhasil menguasai beberapa kabilah sebangsa yang menentangnya. Kemudian ia pun menyusun perundang-undangan dalam memutar roda pemerintahan yang disebut sebagai Yasa. (al-Khithtah al-Maqrizi, 2/120-121).
Pasukan Mongol kemudian melakukan ekspansi militer ke negeri-negeri sekitarnya. Hingga akhirnya mereka memasuki wilayah kekuasaan umat Islam setelah berhasil mengalahkan Kesultanan al-Khawarizmiyah.
Yang mengejutkan, para ulama sejarah justru menyebutkan bahwa pasukan Mongol sebenarnya diundang oleh Khalifah an-Nashir li Dinillah (622H), penguasa Baghdad ketika itu. Tujuannya agar Mongol menyerang kesultanan besar yang sedang berseteru dengan Baghdad. (al-Kamil fi at-Tarikh, 12/362).
Kesultanan al-Khawarizmiyah akhirnya jatuh. Akibatnya, tidak ada lagi sekat antara kekuatan Mongol dengan Baghdad.
Penguasa Baghdad berikutnya, al-Mustanshir li Dinillah (623H), menyadari tentang ancaman kekuatan Mongol. Dia mulai berpikir bagaimana menyingkirkan bangsa ini.
Ketika itu Mongol hendak menguasai Azerbaijan yang berada di bawah kekuasaan al-Khawarizmiyah. Khalifah al-Mustanshir pun memberikan anggaran besar untuk militernya dan meminta kepada Malik al-Mudhaffar, penguasa Irbil (Iraq bagian utara), untuk mengirim bantuan.
Dikirimlah sekelompok pasukan dengan sejumlah pemimpin, di antaranya adalah Jamaluddin an-Nashiri, Syamsuddin Qairan, Alauddin Aldakaz, serta Falakuddin. Semua menuju Syahrazur, kawasan Kurdistan selatan. Setelah mengetahui akan hal itu, pihak Mongol akhirnya memilih untuk mundur. (Tarikh al-Islam li adz-Dzahabi, 45/46).
Kursi kekhalifahan Baghdad kemudian diduduki oleh al-Musta’shim (656 H). Di masa inilah terjadi bencana besar bagi umat Islam, yakni jatuhnya kekhalifahan Baghdad oleh kekuatan Mongol.
Mongol memutuskan untuk menyerang Baghdad, setelah mengetahui keadaan politik dan militer internal kekhalifahan yang lemah. Pemimpin pasukan Mongol, Hulagu Khan, mengirim surat peringatan agar Baghdad tunduk dan menyerah, serta berhenti untuk mempersiapkan pasukan dan menghancurkan benteng-benteng pertahanan.
Ternyata al-Musta’shim enggan menyerahkan Baghdad begitu saja. Hulagu Khan akhirnya memutuskan untuk menyerang.
Ternyata bukan hanya Bangsa Mongol saja yang menyerang Baghdad. Bergabung bersama mereka beberapa pemimpin Nasrani, salah satunya dari al-Kurj.
Bahkan ada juga kelompok Muslim yang bergabung dengan Mongol. Misalnya Sultan Juq, yang merupakan keturunan al-Khawarizmiyah. Ia memiliki peranan penting dalam kampanye kepada pasukan agar melakukan pembelotan dari militer Baghdad dan bergabung bersama Mongol. (Jami’ at-Tawarikh li Rasyiduddin al-Hamadani, 1/220, 271, 283, 284).
Pada bulan Dzulhijjah 255 H, Mongol mendirikan kamp militer di tepi sungai Hilwan. Sebagian dari mereka telah menyeberangi sungai Dajlah.
Saat itu, Baghdad pun mencoba untuk mencegah dengan mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Mujahiduddin ad-Duwaidar. Sayang, upaya itu tidak berhasil.
Mongol akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Baghdad. Mereka kemudian mengepung kawasan itu dari segala penjuru.
Dalam posisi terjepit, al-Musta’shim lalu melakukan upaya diplomasi. Diutuslah Ibnu al-Alqami, wazir Baghdad yang menganut ajaran Syiah, dan al-Jatsiluq, tetua keuskupan Timur.
Ibnu al-Alqami dianggap memiliki kedudukan penting di hadapan Hulagu Khan. Dia juga selalu menasihati agar khalifah tunduk kepada Mongol.
Sedangkan al-Jatsiluq adalah pribadi yang terpandang bagi Hulagu Khan, karena istrinya yang bernama Duquz Khatun adalah seorang penganut Nasrani.
Hulagu Khan mengetahui bahwasanya di Baghdad ada kelompok yang masih mengancamnya, yakni ad-Duwaidar. Pemimpin pasukan Mongol meminta agar Khalifah mengirim pemimpin pasukan itu, seraya menembakkan manjaniq –senjata pelontar batu untuk menjebol benteng– ke istana Baghdad. Akhirnya Khalifah mengirim ad-Duwaidar, dan setelah sampai ia pun langsung dibunuh. (Jami’ at-Tawarikh li Rasyiduddin al-Hamadani, 1/220, 262, 263, 290).
Kemudian Wazir al-Alqami meminta kepada Khalifah agar datang sendiri menemui Hulagu Khan. Disampaikan kabar bahwa pemimpin pasukan Mongol ingin menikahkan anaknya dengan putri Khalifah. Dengan demikian Khalifah tetap duduk di singgasana kekuasaan, namun kebijakan berada di tangan Hulagu Khan. (Tarikh al-Khulafa, hal 747).
Akhirnya Khalifah menyerahkan dirinya, sekaligus kota Baghdad, tanpa syarat pada 4 Shafar 656 H. Bersama al-Musta’shim ada 3000 orang yang ikut serta, termasuk para pembesar Baghdad, imam, dan hakim. (Jami’ at-Tawarikh li Rasyiduddin al-Hamadani, 1/290, 291).
Hulagu Khan juga memerintahkan kepada Khalifah al-Musta’shim agar penduduk Baghdad tidak melakukan perlawanan. Penduduk kemudian disuruh keluar dan meninggalkan seluruh senjata mereka. Para penduduk pun mentaati perintah Khalifah, hingga akhirnya pasukan Mongol dengan leluasa melakukan pembantaian. (Tarikh al-Khulafa, hal 748).
Penyerangan dan kekejaman pasukan Mongol pada tanggal 7 Shafar 656 H digambarkan oleh Ibnu Amid, “Selama 7 hari mereka tidak menyarungkan pedang, dan mereka membunuh sebagian besar dari penduduk Baghdad. Mereka menjarah ternak dan harta benda dengan jumlah tak terhingga dan tak terhitung.” (Akhbar al-Ayubiyin hal 166).
Hulagu Khan memasuki Baghdad pada tanggal 9 Shafar 606 H. Dia menguasai istana Baghdad yang di dalamnya tersimpan harta kekayaaan selama 5 abad. Pasukan Mongol pun menjarahnya.
Setelah itu pada 14 Shafar, Hulagu Khan membunuh Khalifah al-Musta’shim beserta kedua putranya, kecuali putra terkecil yang dibawa menuju Maragha dan diasuh oleh Nashirddin ath-Thusi. (Jami’ at-Tawarikh li Rasyiduddin al-Hamadani, 1/292, 294).
Dengan demikian, berakhirlah Kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Masa itu merupakan awal mula umat Islam tidak memiliki kekhalifahan. (Shubhu al-A’sya, 3/259, 260).*/Thoriq, Suara Hidayatullah