Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Beggy Rizkiyansyah
HAJI Abdullah Ahmad tidak sendirian dalam membesarkan Al Munir. Ia membesarkan bersama dua orang sahabatnya, Haji Abdul Karim Amrullah (ayah dari Buya Hamka) dan Syeikh Jamil Jambek. Mereka merupakan murid langsung dari Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawi. Sepulang dari Makkah, mereka kembali ke sumatera Barat untuk menggerakan paham pembaruan agama di sana. Maka tak heran jika Al Munir bertujuan untuk; memperoleh agama Islam yang sejati serta menegakkan syariat Nabi Muhammad yang benar dengan dorongan menghidupkan kembali tradisi Nabi dan mengutuk bid’ah dalam praktik ibadah umat Muslim (Al Munir 3, 2, 1913).
Seperti Al Imam, Al Munir juga memiliki hubungan yang erat dengan Al Manar dibawah kendali Rashid Ridha. Seringkali Al Munir merujuk pada fatwa-fatwa yang terdapat dalam Al Manar. Umpamanya mengenai pakaian barat, yang dahulu sering dilarang oleh ulama tradisional karena indentik dengan orang kafir. Pendapat Rashid Ridha yang menolak pendapat ini, dijadikan rujukan oleh Haji Abdullah Ahmad. [8]
Pada praktiknya, Al Munir tidak hanya bersuara keras terhadap praktik bid’ah, tetapi juga pada pemerintah kolonial Belanda. Kritik-kritik keras terhadap pemerintah kolonial membuat mereka mendapatkan tekanan dan pengawasan dari pemerintah kolonial saat itu. Al Munir pun kerap bersuara mengenai kemerdekaan bangsa di Hindia Belanda. Namun ketatnya pengawasan pemerintah kolonial, membuat mereka menyampaikannya secara hati-hati dan terselubung, misalnya dengan membahas kemerdekaan Turki, Mesir dan India dari jeratan penjajah. Bahkan ketika membahas suatu tulisan tentang ilmu pengetahuan-pun, ujungnya akan membahas bagaimana mencapai kemerdekaan.[ Sunarti, Sastri. 2013. Kajian Lintas Media, Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an). Jakarta : KPG]
Pada masa jayanya, Al Munir tidak hanya berpusat pada media massa, tetapi juga memiliki usaha percetakan. Penyebaran Al Munir tidak hanya di Sumatera barat, namun sampai ke Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Malaya. Dalam penerbitannya, Al Munir memuat tulisan mengenai persatuan umat Islam, pengetahuan agama, serta hukum agama yang berkaitan dengan adat. Keistimewaan Al Munir adalah ia menjadi majalah yang masih menggunakan huruf arab Melayu. Namun pemakaian huruf arab Melayu memang berada di tepi jurang. Membanjirnya mesin cetak yang memakai huruf latin membuat pencetakan dengan huruf arab Melayu sulit bersaing. Hal ini pula yang turut menerpa Al Munir. Namun terbakarnya kantor mereka menjadi pertanda lonceng kematiannya. Di Sumatera Barat tak hanya Al Munir, pers yang berlandaskan Islam. Hadir pula Al Itqan, Al Bayan dan Munirul Manar yang diterbitkan perguruan Sumatera Thawalib. Saat itu memang masa-masa keemasan pers di Sumatera Barat. Tetapi di pulau Jawa,tempat lahirnya Sarekat Islam, gaung pers Islam juga terdengar kencang. Melahirkan berbagai media massa yang menyokong perjuangan mereka.
Sarekat Islam, semenjak di bawah kemudi Hadji Omar Said Tjokroaminoto memainkan peran besar dalam pergerakan Islam di tanah air. Dengan karisma dan pidatonya yang memukau Tjokroaminoto memiliki banyak pengikut, bahkan tak sedikit yang menanggapnya sebagai Ratu Adil. Namun kepiawaian Raja Jawa tanpa mahkota ini tak hanya di mimbar rapat-rapat umum. Tetapi juga di media massa. Oetoesan Hindia adalah media massa pertama yang menjadi corong Sarekat Islam. Terbit tahun 1913, Oetoesan Hindia adalah harian yang di gawangi oleh Tjokroaminoto. Beberapa bulan kemudian Sarekat Islam (SI) cabang Bandung menerbitkan Hindia Serikat yang salah satunya dibidani oleh Abdul Muis. Di Batavia, SI menerbitkan Pantjaran Warta yang dikemudikan oleh Goenawan. Di Semarang, SI Semarang mulai menerbitkan Sinar Djawa.[Burhanuddin, Jajat. 2004. The Fragmentation of Religius Authority : Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia.Studia Islamika, 11]
Sarekat Islam semakin bergerak maju ketika pada tahun 1916, mereka menerbitkan Al Islam. Di kemudikan oleh Tjokroaminoto dan Haji Abdullah Ahmad (Al Munir), Al Islam bersuara lebih kencang dalam hal politik. Ia menjadi jembatan bagi gerakan politik Islam. Al Islam menyatakan dirinya sebagai, ‘ Tempat soeara anak Hindia yang tjinta igama dan tanah ajernjya.’
Dengan darah pembaruan agama yang dibawa Haji Abdullah Ahmad serta kecenderungan politik radikal Tjokroaminoto, Al Islam menggelorakan pembaruan agama dan politik. Al Islam semakin merangsek wacana di Hindia Belanda saat itu, dengan berani menyuarakan hak untuk memerintah bagi bangsa sendiri. Untuk menyuarakannya, Al Islam menggulirkan istilah Bangsa Islam tanah Hindia.
Al Islam tidak sendirian, tokoh SI lainnya, Haji Agus Salim, bersama Abdul Muis menerbitkan harian Neratja, yang juga berorientasi politik. Haji Agus Salim pun nantinya dikenal sebagai orang dibalik Hindia Baru (1925-1926), Bendera Islam (bersama Tjokroaminoto) dan Fajar Asia (Tjokroaminoto-H. Agus Salim kemudian Kartosuwirjo; 1927-1930 ).
Harian Fajar Asia, saat itu adalah kerikil tajam bagi pemerintah kolonial. Harian itu terkenal gigih membuka kebusukan praktek poenale sanctie (yang menggiring puluhan ribu anak bangsa bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan Sumatera), heerendienst (kerja rodi) dan erfpacht (yang mengeksploitasi tanah dengan system sewa kontrak), dimana buruh dihisap, tenaganya diperas habis-habisan serta berbagai kebiadaban yang mengiringinya. Tajamnya kritik H. Agus Salim melalui Fajar Asia (kemudian) Mustika, membuatnya dikenal sebagai pembela hak-hak buruh. [Busyairi, Badruzzaman. 1985. Catatan Perjuangan HM Yunan Nasution. Jakarta : Pustaka Panjimas]
Di Jogjakarta, muncullah nama tokoh Muhammadiyah, H. Fachrodin. Ia adalah diantara murid-murid langsung KH Ahmad Dahlan dan merupakan saudara kandung dari Ki Bagus Hadikusumo. Nama H. Fachrodin malang melintang di berbagai media massa saat itu. Ia pernah menjadi koresponden tetap dari Doenia Bergerak (terbit 1914), sebuah surat kabar berhaluan kiri. Selain itu H. Fachrodin pernah menjadi redaktur Medan Muslimin (1915), sebuah surat kabar radikal dibawah pimpinan, ‘Haji Merah’ Haji Misbach. Berikutnya H. Fachrodin menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi), Srie Diponegoro (1918), Soewara Moehammadijah, dan Bintang Islam. [Mu’arif. 2010. Benteng Muhammadiyah. Yogyakarta : Suara Muhammadiyah]
Di tengah Bintang Islam-lah, nama H. Fachrodin banyak meninggalkan kesan. Berdiri tahun 1922, Bintang Islam menjadi majalah dwi mingguan Islam yang dikelola secara professional. Tirasnya mencapai 1500 eksmeplar dan menjangkau hingga Singapura, Perak dan Johor. Bintang Islam memuat berita seputar Islam di tanah air dan luar negeri. Bahkan Bung Hatta pernah menjadi koresponden Bintang Islam, saat ia masih di Amsterdam. Sampai meninggalnya, H. Fachrodin menjabat selaku hoofdredacteur Bintang Islam.
Tulisan H. Fachrodin menyebar di berbagai media saat itu, merentang pembahasannya, mulai dari agama Islam, Kristen, hingga kepeduliannya terhadap nasib rakyat yang begitu menderita. Ia misalnya pernah menulis tentang ‘Christen dan Moehammadijah’ dan ‘Islam Njawa Kemadjoean’ (di Soewara Moehammadijah), Verslag saja selama bepergian ke Makkah (di Soewara Moehammadijah & Islam Bergerak), dan sebuah kritik yang tajam, dan mengantarkannya meringkuk dibalik terali besi oleh pemerintah kolonial. Penyebabnya karena kala itu Ia menulis nasib rakyat yang menderita;
“Kebon tebu jang ditanam diatas tanah kita dengan djalan jang koerang menjenangkan, sehingga menjebabkan kelaparannja anak-anak boemi…” (Srie Diponegoro).
Selepas wafatnya H. Fachrodin, Majalah Bintang Islam kemudian mengenang beliau dalam edisi khusus ‘Fachrodin Nummer.’
“Pandai beliau menoelis dan mengarang pada kemoediannja itoe, ialah dari kawan-kawannja jang selaloe bergaoelan dan bermain-main…, Begitoe joega, kerap sekali beliaoe membawa pertanjakan kepada orang jang lebih pandai, tentang apa sahadja, sehingga dimengertilah matjam-matjam pengetahoean.” (Bintang Islam no 14-15 th 1930).
Pers Islam pada masa itu memang menjadi pers yang ideologis dan tidak menjaga jarak dengan penderitaan rakyat. Terlebih jika berhubungan dengan kepentingan umat Islam, maka menjadi suara yang lantang. Suara-suara itu semakin lantang, jika Islam dinistakan. Dan salah satu yang dikenal sebagai benteng umat Islam adalah majalah Pembela Islam.
Pembela Islam adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh tokoh Persatuan Islam (Persis), Ustad A. Hassan tahun 1929. Bersama Fachrudin Al Kahiri dan M. Natsir, Pembela Islam menjadi pers Islam yang gigih membela Islam. Pembela Islam menjadi salah satu lawan dari tokoh-tokoh Nasionalis sekuler yang kerap menggelorakan ide sekularisme. Tulisan-tulisan seperti ‘Merdeka buat apa?’, dan ‘Kebangsaan jangan di Bawa-bawa’ menjadi beberapa contoh aktifnya Pembela Islam mengutuk ide nasionalisme dan sekularisme. Namun salah satu yang patut dikenang hingga kini adalah polemik antara Sukarno dan M. Natsir mengenai Islam melawan sekularisme.* (bersambung)
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa