Hidayatullah.com | DALAM Majalah Panjimas (No. 539, Thn. XXVIII/1987: 60-62), ada tajuk menarik terkait klarifikasi Cak Nur alias Dr. Nurcholish Madjid atas tersebarnya pamflet yang mengatasnamakan beliau setuju dengan pendapat Ibnu ‘Arabi. Judulnya “Dr. Nurcolish Madjid: Itu Pendapat Ibnu Arabi, Bukan Pendapat Saya.”
Pamflet itu cukup menggemparkan karena Cak Nur dianggap setuju dengan pandangan Ibnu ‘Arabi ynag menyatakan bahwa iblis akan masuk Surga, bahkan di tempat yang paling tertinggi. Sikap iblis yang tidak mau sujud kepada Adam, cuma mau sujud kepada Allah dikatakan sebagai tauhid paling murni. Pamflet ini menjadi buah bibir di wilayah Jakarta dan Jawa Barat.
Untuk mengklarifikasi masalah ini, Badri Yatim mewancarai langsung Cak Nur bagaimana duduk perkaranya. Kata beliau tema itu adalah kajian di Paramadina pada 23 Januari 1987. Judul besarnya “Iman dan Persoalan Makna Hidup”.
Acara omo dihadir Nur Cholish Madjid (menjadi pembicara) dan Goenawan Mohamad. Bahkan, dalam tanya jawab ada Pak Taufik Ismail dan Fachry Ali.
Dalam momen tanya jawab itu, ada peserta yang meragukan shalat. Ia tidak merasakan apa-apa selama shalat, sehingga ia tak shalat lagi.
Ia justru mengaku mendapat ketenangan saat ada orang mengajarkannya meditasi transcendental. Maka Cak Nur menjawab, “Anda ini bisa seperti Ibnu ‘Arabi, seorang sufi yang sangat terkenal, yang antara lain, sampai-sampai mengatakan bahwa iblis itu akan mendapakan Sorga yang paling tinggi.” Tauhidnya iblis menurut Ibnu ‘Arabi sangat murni dan tinggi dalam praktiknya.
Tujuan Cak Nur menjawab itu bukan mengafirmasi pendapat Ibnu ‘Arabi, tapi ingin mengingatkan kalau seperti itu, maka akan seperti Ibnu Arabi yang keluar dari ril ajaran Islam. Nah, karena pengajian ini direkam, maka termasuk orang yang membuat pamflet itu hanya dengar dari rekaman. Ini jelas tidak fair. Orang itu jelas salah karena: (1) Hanya mendengar dari kaset (2) Seharusnya ditulis dengan jelas bahwa itu bukan pendapat Cak Nur (3) Dan tidak minta izin terlebih dahulu kepada Cak Nur.
Penyebar pamflet mengaku dari Ma’had Dirasat Islamiyat, Pasar Rumput Jakarta. Pamflet itu dibagikan olehnya setelah kajian Paramadina pada bulan berikutnya. Itu dilakukan tanpa izin kepada penyelenggara alias liar. Pasca pulang, Cak Nur langsung menegur bahkan mengajak mubahalah. Ia pun menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Demikian juga Cak Nur meminta maaf karena telah berbuat kasar. Bahkan hubungannya jadi baik dan berjanji akan diundang ke kelompok pembuat pamflet untuk berdiskusi. Namun, pamflet sudah terlanjur menyebar.
Pada wawancara Badri Yatim itu juga dijelaskan bahwa kata Cak Nur pendapat Ibnu Arabi itu salah dan sangat liar. Kemudian Cak Nur menunjukkan contoh kemudian menyebutnya sebagai orang berpaham monisme ekstrim. Dan mengenai tersebarnya pamflet, beliau sangat menyesalkannya, karena jelas salah. Ada sekelompok yang diliputi prasangka dan rasa takut berasalah, sebagaimana pembuat pamflet itu, ini menunjukkan tanda kebangkrutan intelektual.
***
Apa semua klarifikasi yang disampaikan Cak Nun itu benar? Kita tak bisa hanya mendegar hanya dari satu sisi tentunya. Menariknya, jawaban dan klarifikasi terkait masalah ini terdapat di Majalah Al-Muslimun Bangil No. 208 (Thn. XVIII/1987: 4-9) dalam rubrik Surat Pembaca dengan tajuk Ma’had ad-Diraasah al Islamiyyah Catatan untuk: Dr. Nurcholish Madjid.
Ada beberapa catatan terhadap klarifikasi Cak Nun dalam Majalah Panjimas 539 itu.
Pertama, secara prinsip ada kesamaan pendapat mengenai kesesatan dan kesalahan Ibnu Arabi. Sayangnya, waktu menjawab pertanyaan pada kajian 23 Januari, tidak dijelaskan secara tegas tentang kesalahannya sehingga terkesan membenarkan pendapatnya. Andai, pada waktu itu dijawab tegas, maka tidak akan lahir pamflet atau brosur tersebut.
Kedua, apa yang disampaikan oleh Cak Nur dalam klarifikasinya di Panjimas itu tak sepenuhnya benar, sebab yang beliau katakan kepada penanya itu justru demikian “Pertanyaan Anda itu permulaan dari suatu tingkat iman yang sangat tinggi sekali.” Pernyataan ini bukan malah membuat orang sadar dari kesesatannya, justru terkesan malah mendukung. Jadi, sekali lagi, ada pernyataan berbeda antara jawaban Cak Nur waktu dalam Kajian Paramadina, dengan klarifikasi beliau di Panjimas. Pernyataan bahwa Ibnu Arabi itu salah dan liar, justru dalam klarifikasi di Panjimas.
Ketiga, tidak benar kalau dikatakan pembuat pamflet hanya mendengar dari kaset. Sebab, yang hadir pun ternyata tak semua yang sepaham dengan Cak Nur. Kemudian, sebagai pelurusan, itu bukan pamflet yang dibuat, hanya brosur. Judulnya “Siapakah Ibnu Arabi?”
Menjadi catatan penting juga, dalam brosur itu tidak pernah mengatakan bahwa itu adalah pendapat Cak Nur. Rupanya, karena terlalu emosi saat membaca sehingga dia tidak memahami brosur tersebut. Di sini bisa dilihat Cak Nur kurang jeli, dan lebih mengedepankan emosi.
Karena itu, kata pemberi klarifikasi, “Mengemukakan pendapat yang menyesatkan, dengan tidak menerangkan lebih lanjut tentang sesatnya pendapat yang dia kemukakan tersebut, kemudian dia dituduh sesat adalah wajar-wajar saja. Tidak usah bingung serta emosi.”
Satu lagi yang tak kalah penting, brosur itu dibuat bukan bukan karena ada ada atau tidaknya dalam makalah Cak Nur tapi sebagai upaya pelurusan karena persoalan tersebut bisa menyesatkan umat kalau dibiarkan.
Keempat, ada beberapa kesalahan lagi dari klarifikasi Cak Nur yang terkesan memutar balikkan fakta. Mubahalah itu memang ada saking emosinya Cak Nur. Cuma anehnya, Ma’had yang menulis brosur, kenapa mahasiswanya yang diajak mubahalah.
Penyebaran pamflet yang dikatakan tanpa izin juga tidak benar karena mahasiswa membawa surat resmi dari Ma’had serta brosur sebanyak 100 esp. Brosus diterima langsung panitia. Surat pengantar itu ada tanda terimanya dari panitia penyelenggara (sudah ada foto copinya) dan brosur dibagikan di hadapan panitia penyelenggara. Jadi, brosur itu resmi dan tak liar.
Kelima, mahasiswa yang diceritakan oleh Cak Nur sebagai penyebar pamflet itu namanya Halim Bayan. Ketika Cak Nur melihatnya membagikan pamflet itu di parkiran, seketika Cak Nur turun dari mobil sembari naik pitam, “Ini fitnah, ini fitnah, ini fitnah.”
Tak hanya itu, beliau merampas brosur dan membantingnya hingga bertebaran di tempat parkit. Tidak puas dengan membanting, Cak Nur juga menjambak rambut salah seorang mahasiswa dengan mengatakan, “Kamu ya, yang menulis brosur” (berulang-ulang). Kemudian dijelaskanlah oleh mahasiswa yang dijambak bahwa yang menulis adalah perguruan tingginya, dan alamatnya tertera di brosur.
Saat dijambak rambutnya oleh Cak Nur, maka mahasiswa itu mencoba untuk merespon, “Bapak sebagai intelektual yang menguasai ilmu banyak, tidak pantas berbuat demikian, baru tantangan sebegini saja sudah emosi. Bapak minta maaf ngga sama saya..! Minta maaf ngga!”
Akhirnya Cak Nur mengaku salah dan minta maaf kepada mahasiswa yang dijambaknya. Lalu membacakan ayat tentang ishlah dalam Surah Al-Hujurat. Jadi, yang lebih dulu minta maaf bukan mahasiswa, tapi Cak Nur.
Ketika Cak Nur pada akhirnya juga berjanji akan menjelaskan masalah Ibnu Arabi dikajian bulan depan di Paramadina, ternyata tak jadi dijelaskan dengan alasan LUPA.
Mahasiswa yang diajak mubahalah, dijambak rambutnya di Parkiran Sarinah Jaya itu adalah mahasiswa yang baru enam bulan belajar di ma’had jadi sangat berlebihan kalau diajak mubahalah dan dan dianggap sebagai penulisnya.
Lebih lucu lagi, dalam brosur kan jelas yang menulis adalah lembaga, tapi kenapa tak diselesaiakan dengan lembaga bersangkutan. Malah dianggap selesai dan dikira penulisnya adalah mahasiswa penyebar brosur.
Sebagai penutup, isi jawaban Nurcholish Madjid saat menjawab penanya yang meragukan shalat tadi, memang mengesankan bahwa Nurcholish setuju dengan pandangan Ibnu Arabi karena beliau tidak menjelaskan keliaran dan kesesatannya.
Penjelasan itu justru datang ketika brosur sudah menyebar dan meresahkan masyarakat, baru kemudian ada klarifikasi yang terkesan untuk ‘membersihkan diri’.
Setelah selesai memberi klarifikasi, pihak Ma’had Diraasah al-Islamiyyah, Pasar Rumput, memungkasi klarifikasinya di Majalah Al-Muslimun dengan pernyataan, “Setelah para pembaca mengikutu penjelasan/jawaban kami dalam persoalan Ibnu Arabi ini dari dua belah pihak, silakan menilai: “Apakah ada obyektivitas serta kejuran intelektual dari Dr. Nurcholish Madjid, khususnya dalam persoalan Ibnu Arabi ini dan umumnyya terhadap soal-soal lain yang dia kemukakan….Bagi kami, berdasarkan hal-hal yang kami kemukakan di atas, jelas bahwa Dr. Nurcholish Madjid tidak jujur dalam masalah Ibnu Arabi ini dan baru menghadapi brosur Ibnu Arabi saja dia sudah bersifat plintat-plintut.” (Selesai Nukilan)
***
Inilah cuplikan sejarah. Silahkan para pembaca menikmati dua macam klarifikasi di atas sebagai kajian.*/Mahmud Budi Setiawan