Sambungan artikel PERTAMA
Di Granada, Sultan Muhammad V membangun rumah sakit pada tahun 1367 bagi kaum Muslimin yang tidak mampu. Sultan dari Dinasti Hafsid, Abū Fāris, membangun sebuah rumah sakit di Tunis pada tahun 1420 yang diperuntukkan bagi Muslim yang kurang mampu dan bagi orang-orang asing (Colin, 1986, I/1224-1225).
Di kawasan Asia Minor atau Anatolia (kini wilayah Turki) pada tahun 1206, sebuah rumah sakit dibangun oleh emir Bani Saljuk di kota Kayseri, yang disusul oleh pembangunan beberapa rumah sakit di kota-kota lainnya di kawasan itu. Hanya saja nama umum yang digunakan bagi rumah sakit di Anatolia bukan melulu bīmāristān atau māristān, tetapi juga dār al-shifā’ dan dār al-ᶜāfiyah.
Pada era Turki Utsmani, tepatnya pada tahun 1399 di kota Bursa, rumah sakit yang pertama dibangun oleh kesultanan tersebutdan dikenal dengan nama Dār al-Shifā’ Yildirim. Sejak saat itu, banyak rumah sakit lainnya dibangun oleh Turki Utsmani di berbagai wilayahnya, termasuk sebuah dār al-shifā’ yang dibangun oleh Muhammad al-Fatih pada tahun 1470 (Sehsuvaroglu, 1986, I/1225).
Para sultan dan emir – di samping juga individu-individu Muslim yang kaya – memiliki peranan penting dalam mendukung pendirian dan perkembangan rumah sakit di dunia Islam. Demikian pula jejaring ilmu perobatan terentang dari satu kawasan ke kawasan Muslim yang lain.
Seorang pakar bedah bernama Serefeddin Sabuncuoglu (w. 1468) yang bekerja di sebuah dār al-shifā’ di Amasya, misalnya, menulis sebuah buku kedokteran pada tahun 1460, ketika ia sudah berusia 80 tahun. Buku yang ia persembahkan kepada Sultan Muhammad al-Fatih itu sebenarnya merupakan terjemahan kasar dari Kitab al-Tasrif yang ditulis oleh Abū al-Qāsim al-Zahrāwī (w. 1013) dari Andalusia beberapa abad sebelumnya, tetapi Sabuncuoglu menambahkan beberapa pengalamannya sendiri ke dalam buku yang ditulisnya itu (Shaikh, 22 Desember 2001).
Berbagai rumah sakit yang disebutkan di atas memiliki beberapa karakteristik yang banyak di antaranya juga menjadi ciri-ciri rumah sakit yang ada di era sekarang ini, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.
Beberapa Karakteristik Bīmāristān
Pada abad ke-10, seorang pemuda Perancis datang ke Cordova untuk menjalani rawat inap di sebuah rumah sakit yang ada di kota itu. Dari tempat itu, ia menulis surat kepada ayahnya di kampung halaman:
“Ayahku tersayang, ayah menyebutkan di dalam surat sebelum ini bahwa ayah akan mengirimi saya uang untuk saya gunakan buat biaya pengobatan. Saya katakan, saya tak memerlukannya sama sekali karena perawatan di rumah sakit Islam ini gratis. Begitu pula ada beberapa hal lainnya berkenaan dengan rumah sakit ini. Rumah sakit ini memberikan pakaian baru dan uang lima dinar untuk setiap pasien yang baru sembuh, supaya ia tak terpaksa bekerja selama masa istirahat dan pemulihan.
Ayah tersayang, jika ayah hendak mengunjungi saya, ayah akan menjumpai saya di bagian pembedahan dan persendian. Ketika ayah memasuki pintu utama, pergilah ke aula selatan di mana ayah akan menjumpai bagian pertolongan pertama dan bagian diagnosa penyakit, kemudian ayah akan menemukan bagian radang sendi (penyakit persendian). Di sebelah ruangan saya, ayah akan menjumpai sebuah perpustakaan dan sebuah aula di mana para dokter berkumpul untuk mendengarkan kuliah-kuliah yang diberikan oleh para profesor; aula ini juga digunakan untuk membaca. Bagian kebidanan (ginekologi) ada di sisi lain rumah sakit. Lelaki tidak diizinkan untuk masuk ke sana. Di bagian kanan halaman rumah sakit ada sebuah aula besar untuk mereka yang dalam proses pemulihan. Di tempat ini, mereka menghabiskan waktu untuk istirahat dan pemulihan selama beberapa hari. Aula ini memiliki satu perpustakaan khusus dan beberapa alat-alat musik.
Ayah tersayang, setiap bagian rumah sakit ini teramat bersih; tempat-tempat tidur dan bantal-bantal dibalut dengan kain putih Damaskus yang bagus. Adapun spreinya dibuat dari bahan yang sangat lembut dan mahal. Seluruh ruangan di rumah sakit ini dipasok dengan air bersih. Air ini dibawa ke setiap ruangan melalui pipa-pipa yang terhubung dengan satu kolam air yang lebar; bukan hanya itu, setiap ruangan juga dilengkapi dengan tungku penghangat. Berkenaan dengan makanan, ayam dan sayuran selalu disediakan sampai-sampai sebagian pasien tidak mau meninggalkan rumah sakit karena mereka sangat suka dan menginginkan makanan yang sedap itu” (Tschanz, Maret-April 2017, 26).
Penuturan di atas memberikan gambaran yang ringkas dan lengkap tentang ciri-ciri rumah sakit di era peradaban Islam di masa lalu, ciri-ciri yang dapat dikatakan tidak ada di peradaban-peradaban sebelumnya maupun di peradaban yang sezaman dengannya.
Rumah sakit serta ilmu pengobatan yang dikembangkan oleh dunia Islam ketika itu menekankan pada aspek jasmaniah dan humoral (berkenaan dengan cairan tubuh, sistem imun, dan semisalnya) – bukan karena mereka meremehkan aspek spiritual, tetapi karena hal-hal yang jasmaniah juga mendapat perhatian di dalam Islam.
Ini sangat berbeda dengan sistem perobatan Eropa pada abad pertengahan, di mana penyakit dilihat sebagai sesuatu yang tak dapat diintervensi manusia karena bersifat supernatural. Rumah sakit yang ada di Eropa ketika itu biasanya ditangani oleh para pendeta untuk memastikan keselamatan jiwa pasien ketimbang kesembuhan badannya. Tidak jarang ruangan-ruangan rumah sakitnya lembab dan kekurangan cahaya (Tschanz, Maret-April 2017, 23).
Dapat difahami, sebagaimana tampak pada surat di atas, berbagai rumah sakit yang ada di dunia Islam sangat menekankan kebersihan dan lingkungan yang sehat. Sirkulasi udara dan air di rumah sakit biasanya sangat baik. Di sebagian rumah sakit, pasien yang datang menerima pakaian khusus selama dirawat, sementara pakaian mereka disimpan di rumah sakit untuk diambil kembali saat mereka sembuh dan meninggalkan tempat itu.
Makanan yang disediakan bukan hanya sehat, tetapi juga sedap. Semua itu membuat pasien merasa nyaman dan betah, sehingga membantu proses pemulihan kesehatan mereka.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Seorang pemuda Persia pernah datang ke Bīmāristān al-Nūrī dan pura-pura sakit karena tergoda dengan kenyamanan dan kelezatan makanan di rumah sakit itu. Dokter yang memeriksanya mengetahui bahwa ia sebenarnya tidak sakit, tetapi membiarkan pemuda itu “dirawat” di rumah sakit. Setelah tiga hari, dokter itu berkata pada si pemuda sambil tersenyum, “Tradisi keramahtamahan orang Arab berlangsung selama tiga hari, Anda bisa pulang sekarang!” (Tschanz, Maret-April 2017, 26-27).
Rumah sakit diorganisasikan dengan baik, dibagi dalam beberapa bagian sesuai dengan jenis penyakit dan kepakaran dokter. Rumah sakit besar biasanya menerima pasien lelaki dan perempuan, tetapi mereka ditempatkan pada bagian rumah sakit yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa kemungkinan ada juga dokter-dokter perempuan yang merawat pasien di berbagai rumah sakit tersebut.
Nama-nama dokter perempuan memang jarang disebutkan di dalam literatur yang ada, tetapi bukannya sama sekali tidak ada. Sebagai contoh, seorang dokter terkenal di Seville, Andalusia, yaitu Abū Marwān Ibn Zuhr (w. 1162), tidak hanya memiliki anak lelaki (al-Ḥafīd Abū Bakr) yang menjadi penerusnya di bidang kedokteran, tetapi juga memiliki seorang anak perempuan yang menjadi dokter.
Putri Ibn Zuhr yang dokter ini memiliki anak perempuan yang juga merupakan seorang dokter. Keduanya menguasai ilmu Slow Queries (1)kedokteran dan memiliki pengalaman yang panjang dalam mengobati pasien perempuan, di samping juga mendapat kepercayaan untuk mengobati kaum perempuan di istana al-Manṣūr (Ibn Abī Uṣaybiᶜah, t.t., 524). (Bersambung) halaman <<<ketiga<<<