Oleh: Sholih Hasyim
GUA-GUA bersejarah di dunia ini pada dasarnya hanya sebuah lubang sempit berbatu. Gua Hira – tempat Rasulullah SAW menerima wahyu pertama – misalnya, malah begitu tandus, gersang, terik panas menyengat dan sama sekali tidak indah secara pisik. Tetapi itulah bukit, yang di dalam panas yang membakar kulit sekalipun selalu dibanjiri lautan manusia dari segenap penjuru. Tiap musim haji dikunjungi para jamaah haji dan umrah hampir tiga juta. Belum lagi yang melakukan ibadah umrah pada akhir Ramadhan.
Orang-orang itu pasti tidak mendaki dengan susah payah, membanting tulang, memeras keringat, cuma untuk melihat batu. Mereka mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, melawan lelah, kepenatan pisik, panas, dan rela antri, serta berdesak-desakan pasti karena rindu melihat nilai di balik batu. Nilai itu sekalipun berasal dari sumber yang sangat jauh, ia adalah sesuatu yang sangat dekat. Jauh dimata, tetapi dekat di dalam hati. Nilai itu mendekati kita bagaikan laju kecepatan cahaya.
Maka, siapapun yang menjadi sumber nilai, tak peduli dimana pun ia berada, di dasar laut, di kolong langit, akan selalu dekat, akrab, erat, di relung hati kita.
Sebaliknya, tak peduli seberapa mewah pembangunan dijalankan, jika ia tidak mendedikasikan diri untuk nilai immaterial dan sekedar untuk proyek, demi memperoleh bocoran anggaran, distribusi wewenang dan kue pembangunan, ia akan menjauh dari kita. Tidak ada rasa kita di dalamnya. Semakin dekat dengan kita, ia semakin jauh rasanya. Jelas, daya tarik itu tidak terletak semata-mata pada benda-benda, meski memang benda adalah bagian dari daya tarik. Tetapi, benda hanya sebatas besi. Untuk bermagnit (memiliki daya tarik) ia harus diisi.
Kini, kultur pengisian benda-benda itulah yang butuh menjadi gerakan besar-besaran. Sebab, pengosongan benda-benda dari nilai juga sedang terjadi secara masif. Ada banyak mandat diselewengkan. Ada banyak wewenang yang disalah gunakan. Ada banyak jabatan yang dikejar dan diperebutkan hanya untuk mempertahankan status quo. Ada banyak caleg yang identik dengan kependekan dengan cari-cari legitimasi dan menjual muka. Bukan caleg kependekan dari ical egoismenya, kata orang tua kita dahulu.
Kerapuhan nilai bisa menjalar menjadi bah tsunami. Karena, begitulah sejarah mengajarkan, setiap kehancuran, musibah, bencana, dimulai dari kerapuhan dan kemerosotan/degradasi nilai-nilai moralitas yang menggurita menjadi gelombang pasang.
وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيراً
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu – penguasa dan pemodal – (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al Isra (17) : 16)
Bangsa Saba yang dikenal memiliki negeri yang makmur, penuh dengan ampunan Tuhan Yang Maha Pengampun (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur), menjadi porak poranda karena warganya bermental tidak tahu terima kasih.
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُم بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَى أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِّن سِدْرٍ قَلِيلٍ
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar[meruntuhkan bendungan Ma’rib, pusaka nenek moyang] dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr [Atsl sejenis pohon cemara, Sidr sejenis pohon bidara].” (QS. Saba (34) : 15-16)
Kini, sudah mendesak kita susun daftarnya, siapakah pembangun nilai dan siapakah penghancur nilai. Kita ukur, kita standarisasi, kita bandingkan, kita timbang, dan kita lihat efek yang dihasilkannya dalam realitas kehidupan individu, keluarga, bangsa dan negara. Apakah nilai- nilai yang dibangun hari ini lebih banyak dari nilai yang dihancurkan !. Sudahkah perbaikan akhlak kepada Allah SWT, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta, serta kepada lingkungan sosial kita, kita jadikan program prioritas di negeri ini?
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah